Ada Celah dalam Transparansi Pelaporan Dana Kampanye Pilkada 2024
Alvi Warda
Monday, 07 Oct 2024 21:12 WIB
PROBOLINGGO, TADATODAYS.COM - Pasangan calon (paslon) dalam Pilkada Kota Probolinggo 2024 sudah menyampaikan laporan awal dana kampanye. Nominalnya beragam. Ada yang mencapai ratusan juta rupiah, ada pula yang hanya sejuta rupiah. Nah, dalam pelaporan dana kampanye, tetap dibutuhkan transparansi.
Sebelumnya, tadatodays.com memberitakan dana awal kampanye yang dilaporkan empat paslon. Paslon nomor urut satu Sri Setyo Pertiwi atau Ning Tiwi - Muhammad Rahman melaporkan dana kampanyenya sebesar Rp 11.800.000. Paslon nomor urut dua Fernanda Zulkarnain - Abdullah Zabut melaporkan dana kampanyenya sebesar Rp 2.000.000.
Kemudian, paslon nomor urut tiga Dokter Aminuddin - Ina Buchori melaporkan dana kampanyenya sebesar Rp 500.000.000. Sedangkan pasangan nomor urut empat Habib Hadi Zainal Abidin - Zainal Arifin melaporkan dana kampanyenya sebesar Rp 1.000.000.
Berkaitan laporan dana awal kampanye ini, tadatodays.com berkesempatan mewawancarai dosen sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP) Universitas Panca Marga (UPM) Probolinggo Verto Septiandika S.Sos.,M.AP.
Verto menyampaikan apabila merujuk buku Kajian Pengawasan Dana Kampanye oleh Bawaslu, ada peningkatan pengawasan dana kampanye, namun tetap ada celah. "Nah kaiatannya dengan sumberdaya maupun kapasitas lembaga pengawas itu sendiri," kata dosen yang membidangi Ilmu Kebijakan Publik dan Seminar Isu Pembangunan, Senin (7/10/2024) pagi.
Menurut Verto, lembaga pengawas masih terbatas dengan regulasi yang ada. Sehingga dalam pelaksanaannya tidak leluasa dalam mengawasi. "Itu salah satu celahnya. Berkaitan dengan sumber daya. Ada lagi berkaitan dengan teknis," ujarnya.
Selain itu, celah transparansi politik dapat ditemukan pada keterlambatan pelaporan, dan tidak lengkapnya laporan dana kampanye. "Nah kembali lagi, bahwasanya disini pelaksanannya itu manusia, yang kembali lagi manusia itu memang tempatnya luput," katanya.
Kemudian, celah pada regulasi terletak pada kata "tidak terbatas". Dana kampanye memang tidak dibatasi jika itu didapat dari dana pribadi dan partai pengusung. Sementara jika dana didapat dari sumbangan maka ada batasan. "Padahal kan jelas arti kata transparansi itu jelas dan terlihat. Jadi kalau transparansi tapi tidak jelas rinciannya itu kan sudah menjadi persoalan," tuturnya.
Celah-celah itu, lanjut Verto dapat ditangani dengan beberapa hal. Salah satunya adalah pendidikan politik. "Pemangku kebijakan seharusnya tidak hanya menyosialisasikan jadwal pencoblosan saja, masyarakat yang penting harus mencoblos. Ada banyak pendidikan politik yang harus diberikan. Salah satunya tentang transparansi ini," ucapnya.
Verto memandang, hampir tidak ada kegiatan yang membahas tentang pendidikan politik di Kota maupun Kabupaten Probolinggo. "Jadinya di luar sana masyarakat ya sudah hanya mendengar bahwa dana kampanyenya segini. Tidak sadar bahwa ada persoalan transparansi," tuturnya.
Pendidikan politik ini menjadi tanggung jawab KPU, sebagai penyelenggara Pilkada. "Kalau di berita itu kan, terkait dana kampanye ini KPU mengacu pada pasal 9 ayat 1 dan 2, KPU akhirnya tidak bisa apa-apa kan. Padahal, sebetulnya ada yang bisa mereka lakukan," ucapnya.
Salah satunya, seperti membuat seminar atau pendidikan politik akan kesadaran politik. "Perlu transparansi politik ini diketahui masyarakat. Jadi masyarakat tidak hanya membandingkan jumlah, namun masyarakat tau rinciannya. Atas dasar apa calon A danannya sekian," katanya.
Verto menekankan transparansi menjadi tugas seluruh pemangku kebijakan Pilkada 2024. "Kita harus mengedukasi masyarakat, rincian dana (kampanye, red) yang dilaporkan itu apa saja. Kenapa nominalnya sekian? Dana pribadi? Dana sumbangan?" ucapnya.
Jangan sampai, lanjut Verto, dana kampanye menjadi gunjingan antar pendukung. "Malah jadi sniper untuk menyerang paslon lainnya. Itu jangan sampai terjadi. Kenapa? Karena masyrakat tidak paham soal transparansi dana ini," ujarnya.
Kemudian, selain pendidikan politik, solusi yang dapat dilakukan adalah penajaman regulasi. "Jadi bukan lagi ‘tidak terbatas’ misalnya. Namun harus jelas nominalnya secara angka," katanya.
Kalau tidak ada penajaman, akan ada pertanyaan dan adanya anggapan tidak masuk akal. "Ya wajar, karena memang tidak terlalu tajam aturannya. Akhirnya isu berkembang, mungkin pemangku kebijakan bisa menajamkan regulasi serta menggencarkan pendidikan transparansi politik," tuturnya. (alv/why)
Share to