“Alelopati” Buku Terbaru Penulis asal Kota Probolinggo Stebby Julionatan, Relate dengan Isu Gedung Kesenian

Alvi Warda
Wednesday, 17 Sep 2025 17:11 WIB

PENULIS: Stebby Julionatan, penulis dan pegiat literasi asal Kota Probolinggo.
PROBOLINGGO, TADATODAYS.COM - Penulis asal Kota Probolinggo yang sekarang mukim di Jakarta, Stebby Julionatan, merilis buku terbarunya berjudul “Alelopati”. Buku yang dirilis melalui Elex Media Komputindo pada 2025 sebagai penutup trilogi "Menolak Bekerja di Hari Rabu" ini relate dengan isu alihfungsi Gedung Kesenian Kota Probolinggo yang dikembalikan menjadi lapangan tenis.
Meskipun tidak secara eksplisit menyebut gedung kesenian Kota Probolunggo, "Alelopati" berbicara kuat tentang narasi pembangunan yang timpang. Terutama, bagaimana ruang-ruang kreatif mudah diabaikan dalam prioritas pembangunan daerah.
"Maka pembaca bisa mengaitkan tema-tema di buku ini dengan pengalaman lokal, termasuk persoalan ruang seni, identitas budaya, dan ketidakadilan ruang kreatif yang dialami di Kota Probolinggo," ungkap Stebby dalam perbincangan via pesan WhatsApp dengan tadatodays.com, Rabu (17/9/2025).
Stebby Julionatan tentu paham kondisi Kota Probolinggo, tanah tempat ia tumbuh. Selain pernah berkecimpung di komunitas Kang Yuk Kota Probolinggo, Stebby sebelumnya juga menjadi pengurus Dewan Kesenian Kota Probolinggo di komite sastra.
Stebby seorang pegiat literasi. Saat masih tinggal di Kota Probolinggo, Stebby sudah melahirkan beberapa karya buku. Ia juga aktif bergerak bersama Komunitas Menulis (Komunlis). Setelah itu, Stebby meneruskan kuliah di Jakarta, hingga kini menjadi pengajar.
.png)
TERBARU: Alelopati, karya terbaru Stebby Julionatan.
Ruang Budaya yang Terancam
Meski berada di Jakarta, Stebby tetap mengikuti perkembangan Kota Probolinggo. Mendengar alihfungsi Gedung Kesenian Kota Probolinggo balik menjadi lapangan tenis, Stebby mengaku prihatin.
Dalam pandangan Stebby, apa yang terjadi pada Gedung Kesenian Kota Probolinggo, merepresentasikan masalah yang lebih luas tentang bagaimana ruang publik kreatif dan budaya sangat mudah diabaikan atau dibelenggu oleh kondisi struktural.
Faktor-faktor seperti pertimbangan pendanaan yang mengutamakan Pendapatan Asli Daerah (PAD), kebijakan lokal yang tidak berpihak pada sektor budaya, atau kurangnya partisipasi masyarakat dalam mempertahankan ruang seni, menjadi ancaman nyata.

"Gedung kesenian bukan hanya bangunan fisik; ia adalah ruang simbolik bagi komunitas untuk bertemu, berekspresi, dan memelihara ingatan budaya. Jika ruang itu hilang atau dipinggirkan, masyarakat kehilangan kenangan kolektifnya, dan potensi kreatifnya dibungkam," tegas penulis yang telah menghasilkan buku-buku berjudul "LAN", "Rumah Ilalang", dan "Seperti Apa Bentuk Cinta?".
Menggunakan konsep biologis "alelopati" atau kemampuan satu tanaman memengaruhi pertumbuhan tanaman lain, Stebby membangun metafora tentang bagaimana manusia saling memengaruhi secara sosial dan emosional dengan cara yang tak selalu tampak. Dalam konteks ruang seni, hal ini tercermin pada bagaimana kebijakan dan prioritas pembangunan dapat secara tidak langsung "meracuni" ekosistem budaya lokal.
"Dari pengalaman Alelopati, saya percaya bahwa menjaga ruang seni seperti Gedung Kesenian Kota Probolinggo adalah bagian dari memperjuangkan keadilan sosial dan kultural. Karena ruang itu memungkinkan kita menyuarakan yang sering tak terdengar," jelasnya.
Buku ini menjadi kritik tajam terhadap narasi pembangunan yang hanya mementingkan aspek produktivitas ekonomi, maskulin, dan heteronormatif. Stebby menekankan pentingnya pembangunan inklusif yang memberikan ruang bagi keberagaman ekspresi dan identitas budaya.
Melalui kombinasi puisi, esai naratif, dan prosa, "Alelopati" mengeksplorasi tema-tema kerentanan, memori, dan identitas yang sering terpinggirkan dalam diskusi pembangunan konvensional. Karya ini menjadi bagian penutup trilogi cinta setelah "Biru Magenta" dan "Di Kota Tuhan, Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-pecah".
Isu yang diangkat Stebby tidak hanya relevan dengan kondisi di Kota Probolinggo, tetapi juga mencerminkan tantangan yang dihadapi ruang-ruang seni di berbagai daerah di Indonesia. Gedung kesenian dan pusat budaya di banyak kota, sering kali menjadi korban dari prioritas pembangunan yang lebih mengutamakan sektor ekonomi jangka pendek.
"Kita harus menyadari 'racun sosial' yang bisa muncul dari dalam komunitas kita sendiri. Merawat identitas dan ruang self-expression bukan hanya tentang melawan penindasan eksternal, tetapi juga introspeksi dan tanggung jawab bersama terhadap bagaimana kita memperlakukan satu sama lain," jelasnya.
Tersedia Fisik dan E-Book
Buku "Alelopati" telah tersedia dalam versi eBook melalui Google Play Books sejak 13 Agustus 2025, sementara versi fisik hard cover dapat diperoleh melalui platform Bukabuku dan toko buku Gramedia di seluruh Indonesia. Peluncuran resmi dijadwalkan pada 1 November 2025 di Festival Ubud Writers & Readers Festival.
"Karya ini diharapkan dapat membuka diskusi lebih luas tentang pentingnya mempertahankan dan merevitalisasi ruang-ruang seni sebagai bagian integral dari pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif, tidak hanya di Probolinggo tetapi di seluruh Indonesia," tutur Stebby. (alv/why)


Share to
 (lp).jpg)