Angkutan Kota di Persimpangan Zaman

Mochammad Angga
Mochammad Angga

Thursday, 17 Jun 2021 11:41 WIB

Angkutan Kota di Persimpangan Zaman

BEBERAPA mobil bercat kuning dikenal sebagai angkutan kota (angkot) di Kota Probolinggo pada Rabu (9/6/21) siang itu tampak berjajar menunggu penumpang di kawasan Pasar Baru dan Persimpangan King. Angkot-angkot tersebut siap mengantar penumpang sesuai trayek.

Jarum jam menunjuk pukul 11.19 WIB. Terhitung sudah lebih dari 30 menit Tadatodays.com mengamati jajaran angkot itu menunggu penumpang di Persimpangan King di Jl Panglima Sudirman. Beberapa orang naik angkot dan duduk di dalamnya untuk waktu yang cukup lama. Ada yang memilih duduk di kursi depan. Ada pula yang duduk di bangku belakang.

Satu angkot memiliki kapasitas penumpang 10-12 orang. Dengan penumpang yang masih hanya satu-tiga orang begitu, angkot tidak segera berangkat. Sopir tentu ingin angkotnya terisi penuh. Tetapi sangat jarang terjadi angkot masa kini bisa penuh penumpang.

Ediyanto, 58, sopir angkot asal Desa Kedungdalem, Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo, siang itu berdiri di sisi angkotnya. Pandangannya gelisah. Sudah 45 menit penantian berlalu. Ia melongok ke arah penumpang dalam angkotnya sejenak, lalu beralih mengalihkan pandangan ke jalan raya.

Tangan Ediyanto melambai-lambai memanggil calon penumpang. Tetapi tetap saja tidak ada tambahan penumpang. Ediyanto akhirnya masuk kemudi angkotnya, injak pedal gas, berangkat! Angkot Ediyanto melaju dengan terisi hanya 3 orang penumpang.    

Apa yang terjadi pada Ediyanto terjadi pula pada sopir angkot lainnya. Situasi begitu tidak hanya terjadi hari itu, tetapi saban hari.

Inilah situasi pelik yang dihadapi para sopir angkot di Kota Probolinggo. Jasa transportasi umum semacam angkot, tidak hanya tergantikan oleh semakin maraknya kepemilikan kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat, tetapi juga jasa transportasi umum yang memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.

Pada saat jasa transportasi umum berbasis teknologi informasi meruyak, memberi kecepatan dan kenyamanan pelayanan kepada masyarakat, angkot hanya bergeming. Pola layanan yang diberikan angkot praktis tidak berubah.    

 “Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.” Sudah terpinggirkan oleh kemajuan zaman, angkot pun ikut terdampak pandemi Covid-19. Ratusan orang sopir kelimpungan untuk membayar setoran, pembayaran trayek, biaya uji kendaraan yang tidak murah, kebutuhan logistik pribadi, hingga menafkahi keluarga setiap harinya.

Sedangkan para pemilik angkot rela tidak mengoperasikan kendaraan. Sebab, biaya perawatan onderdil angkot tidak sebanding dengan pendapatan. Bisnis jasa tranportasi umum jenis angkot kini tidak lagi membuahkan hasil.

Pemilik angkot bahkan rela menerima setoran separo saja dari yang disepakati. Tetapi tidak sedikit pemilik angkot memilih “angkat tangan”. Karena bisnis angkot sudah tidak bisa diandalkan, mereka menjual angkotnya dengan harga murah. 

***

EDIYANTO, sopir asal Kedungdalem dan rekannya, Sudono, 63, sopir asal Kelurahan Kedungasem, Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo, melepas penat di sebuah warung kopi di tepi jalan Panglima Sudirman. Dalam percakapan dengan Tadatodays.com siang itu, mereka mengakui beratnya persaingan usaha transportasi bertrayek (angkot) dibandingkan non trayek. Keduanya mengakui bahwa angkot tersisihkan lantaran pelayanannya masih cenderung konvensional.

Ediyanto yang seorang ketua RW di desanya, menuturkan bahwa bisnis angkot mengalami masa jaya di tahun-tahun sebelum 2000. "Karena tahun 2000 ke bawah, harga-harga barang tidak mahal," tutur Ediyanto berteori.

Yang dia ingat, di tahun-tahun itu setiap hari angkot bisa 9-10 kali jalan. Total pendapatannya sekitar Rp 150-200 ribu. Sedangkan setorannya kepada pemilik angkot sebesar Rp 70 ribu sehari. Jadi seorang sopir bisa mendapatkan penghasilan sedikitnya Rp 75 ribu per hari. 

Memasuki tahun 2005, angkot mulai terpuruk. Jumlah penumpang terus merosot seiring semakin mudahnya orang bisa memiliki kendaraan bermotor. Setoran sopir angkot ke juragannya bahkan dikurangi jadi hanya Rp 30 ribu per hari. Tidak jarang, sopir hanya membayar separo dari nilai setoran. Bila sampai zonder (tanpa) penumpang, sopir tidak setor sama sekali.

Situasi macam itu menurut Ediyanto makin parah saat ini. Selain kendaraan pribadi, masyarakat memiliki makin banyak alternatif transportasi umum. Jumlah penumpang angkot setiap harinya semakin tidak bisa diharapkan.

Sopir angkot seperti Ediyanto hanya jalan satu rit sehari. Modalnya Rp 50 ribu untuk beli bahan bakar minyak (BBM) yang bisa digunakan untuk dua hari. Dalam sehari dengan satu kali rit, Ediyanto biasa mendapat hasil terbanyak Rp 30-50 ribu. Bila hasil mencukupi, Ediyanto bisa setor Rp 30 ribu kepada juragannya. Tetapi bila pendapatan harian tidak mencukupi, terpaksa dia tidak setor.

Padahal, menurut Ediyanto, ada banyak pengeluaran agar angkot laik jalan. Mulai dari uji kendaraan sebesar Rp 250 ribu. Pengeluaran berikutnya ialah biaya pajak setiap tahunnya dan logistik ke tempat tujuan yang dimaksud, serta biaya izin trayek.

Dengan air muka masam, Ediyanto mengatakan bahwa persaingan bisnis trayek dan non trayek sekarang ini sudah membuat angkot terpuruk. Penumpang semakin kurang meminati angkot, dan itu berdampak pada penghasilan yang jadi tidak menentu. "Pendapatan tidak bisa dipastikan," kata Ediyanto.

Menurutnya, makin banyak penduduk, tetapi angkot tak kunjung penuh. Rata-rata penumpang setiap harinya baru ada sekitar pukul 08.00-10.00. Itu karena selama pandemi anak sekolah hanya belajar di rumah.

Sebelum pandemi, sejumlah angkutan kota di Kota Probolinggo masih diuntungkan karena ada program angkutan pelajar. Tetapi begitu pandemi datang, sekolah hanya dilakukan secara daring (dalam jaringan), angkot jadi kehilangan penumpang pelajar.

Tetapi sebelum pandemi, kebijakan zonasi sekolah menurut Ediyanto juga berdampak pada penghasilan angkot. “Jarak sekolah semakin dekat dengan rumah, semakin sedikit yang naik angkot,” keluh Ediyanto.   

Di atas semua itu, Ediyanto mengakui pentingnya mengikuti kemajuan dan teknologi. Semuanya sangat mempengaruhi kondisi angkot saat ini. “Ada kendaraan bermotor, ojek online dan becak bermotor," tuturnya tentang kompetitornya. 

***

Angkot Dijual Rp 4 Juta

PRIA itu bernama Hendro, tinggal di sebuah rumah di RT 3 – RW 6 Kelurahan Jati, Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo. Meski berusia 70 tahun, tubuhnya masih tegak dan bicaranya lugas. Dia merupakan salah satu juragan pengusaha angkot.

Saat ditemui Tadatodays.com pada Rabu (9/6/21) siang, Hendro tidak langsung mempersilakan masuk. Ia lebih dulu menanyakan id card wartawan dan menanyakan tujuan wawancara. Setelah penulis menunjukkan id card jurnalis Tadatodays.com, barulah Hendro membuka pintu pagar rumahnya dan mempersilakan masuk.  

Hendro bercerita blak-blakan tentang usaha angkotnya. Ia memiliki 11 unit angkot. Tetapi 8 unit di antaranya sudah tidak beroperasi lagi karena kondisi yang tidak memungkinkan. Tinggal 3 angkot saja yang masih beroperasi. “Itupun setoran hanya separo,” katanya.

Menurut Hendro, ia tidak mengetahui secara pasti para karyawan atau sopir-sopirnya mendapatkan pendapatan berapa setiap harinya. Sebab, selama ini ia hanya bisa pasrah atas kondisi menurunnya eksistensi angkot di hadapan masyarakat.

Hendro mengungkapkan 8 unit angkot miliknya sudah tidak beroperasi dengan berbagai sebab. Ada yang rusak karena Hendro tidak mampu membiayai perawatannya. Ada pula yang tidak bisa beroperasi karena sopirnya berhenti kerja.

Dalam kondisi ini, Hendro menjual 2 unit angkot miliknya tanpa surat-surat. "Ada 2 mobil dijual. Itu harganya Rp 4 juta. Satu mobil lainnya Rp 5 juta. Kalau saya menjual pakai surat izin, rasanya malu. Ini mobil sudah tua, tahun 1990-1993-an. Sudah sering diperbaiki," ujarnya.

Nasib juragan angkot seperti Hendro juga dialami Budiono, warga Desa Kalisalam, Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo. Pria 68 tahun ini tidak hanya punya usaha angkot, tetapi juga bengkel mobil penumpang. 

Ditemui selesai sholat dzuhur pada Kamis (10/6/21) siang, Budiono mengaku dulu punya 5 unit angkot. Tetapi karena karyawannya meninggal dunia, 4 unit angkot miliknya dijual dengan harga Rp 14 juta. Saat ini tinggal satu angkot milik Budiono yang tetap jalan. Satu angkot itu dijalankan oleh Ediyanto.

Budiono sudah mempercayakan satu-satunya angkot miliknya itu kepada Ediyanto. Mulai dari perawatan, biaya logistik dan mengurus surat izin trayek. "Kalau sopir tidak punya uang, ya saya kasih,” kata pria dengan rambut memutih itu.

Soal setoran, Budiono tidak pernah memaksakan. Ia bahkan mengaku tidak peduli jika sopirnya tidak memberinya setoran. Budiono sangat tahu kondisi yang dialami angkot saat ini. Kondisi seperti ini menurut Budiono sudah dirasakan makin parah dalam 5 tahun terakhir. 

Budiono bercerita, pengeluaran untuk usaha angkot tidak sedikit. Ia merinci, untuk pengujian kendaraan biayanya Rp 150 ribu. “Itupun biasanya tidak lolos. Sebab, angkot ini kondisinya sudah tua,” katanya.

Berikutnya, tambah Budiono, biaya kir 6 bulan sekali, biaya trayek Rp 175 per tahun. “Hitung-hitung bisa impas saja itu ketawa, yang penting sopir bisa makan," selorohnya. Budiono berharap akan ada solusi dari pemerintah daerah untuk mengatasi kondisi ini.

Satu lagi juragan angkot yang masih bertahan adalah Slamet, 57, warga Kelurahan/Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo. Ketika ditemui di kediamannya Sabtu (12/6/2021) lalu, Slamet mengaku memiliki 2 unit angkot. Dulu ia membeli 2 mobil angkot itu melalui uang utangan bank. Jadi, ia harus melunasinya dengan cara mengangsur.

Slamet kini jadi banyak mengeluh. Sebab, di era pandemi ini penumpang semakin berkurang drastis. Bila angkot miliknya dijalankan oleh sopir, penumpang hanya 1 atau 2 orang saja. Angkot tak pernah terisi penuh.

Selama pandemi Covid-19 ini, Slamet mendapatkan setoran dari sopirnya rata-rata sebesar Rp 20 ribu. Padahal, besar setoran yang disepakati Rp 40 ribu. "Kadang sopir tidak mampu bayar setoran. Akhirnya mobil ditaruh. Saya mau jual Rp 20 juta, tapi tidak ada yang mau membeli," ucap Slamet, kali ini dengan nada berat.   

***

Solusi: Koperasi dan Digitalisasi

MEREDUPNYA transportasi angkot di Kota Probolinggo melahirkan beberapa gagasan pemecah kebuntuan. Salah satunya sedang banyak dibincang para sopir angkot, yaitu perihal badan hukum berbentuk koperasi. Namun, gagasan ini rupanya belum solid tersampaikan kepada para sopir, baik urgensi maupun teknisnya.  

Sejumlah sopir menganggap pembentukan badan hukum bagi sopir angkot hanya klaim bagi orang-orang tertentu dan menfaatkan sopir angkot ke arah tertentu. Bahkan pembentukan koperasi ini dikhawatirkan hanya akan mempersulit sopir angkot dan tidak akan memberikan solusi.

Ediyanto, 58, warga Kelurahan Kedungdalem, Kecamatan Dringu dan Sudono, 63, warga Kelurahan Kedungasem, Kecamatan Wonoasih, termasuk sopir angkot yang masih meragukan urgensi pembentukan koperasi. Tetapi sejumlah sopir lain yang enggan menyebutkan namanya kepada Tadatodays,com, juga mengaku belum bisa menerima ide pembentukan koperasi. 

Ediyanto misalnya, mempertanyakan mengapa sopir angkot harus masuk koperasi. Menurutnya, kondisi saat ini sudah sulit. Keharusan masuk koperasi hanya semakin mempersulit sopir angkot.

Ia mencontohkan, sopir kelak harus meminta rekomendasi dahulu dari koperasi ketika mengurus surat izin trayek, uji kendaraan dan menghidupkan pajak kendaraan. "Rekomendasi itu ada biayanya sebesar Rp 30 ribu. Juga BPKB kendaraan harus masuk koperasi. Kok bisa?" ujar Ediyanto.

Menurutnya, koperasi sebenarnya bagus. Lantaran masih bimbang, ia merasa membutuhkan penjelasan. Meskipun sebelumnya telah diberi sosialisasi oleh pemerintah daerah tentang pentingnya koperasi, Ediyanto tetap ragu.

“Katanya kan anak-anak mendirikan koperasi. Setelah saya diundang, saya tanya, koperasi itu milik siapa? Mereka menjawab milik anggota ASAP (Asosiasi Sopir Angkutan Probolinggo). Ternyata milik orang-orang tertentu," ucap Ediyanto. Ia jadi bingung akan adanya koperasi. Sebab, angkot ini milik perorangan.

Bagi Ediyanto dan Sudono, yang paling penting adalah tidak ada keruwetan dalam menjalan trayek angkot. Selain itu, ada dukungan dari pemerintah daerah untuk memulihkan pendapatan angkot.

Hendro, warga RT 3 - RW 6 Kelurahan Jati, Kecamatan Mayangan yang juga seorang juragan angkot, tidak mau berkomentar banyak kala ditanya soal pembentukan koperasi. Ia hanya mengajukan pertanyaan, mengapa angkot yang ranahnya daerah harus berkoperasi. "Kecuali bus dan truk itu wajib. Pendapatan (angkot) saja sulit," tuturnya.

Pria 70 tahun ini menyatakan, memikirkan perawatan mobil dan pendapatan saja sudah membingungkan, kok sekarang ditambah urusan pembentukan koperasi.  "Kalau saya ini tidak bisa berpikir soal koperasi. Pendapatan saja kecil," ujarnya.

Dalam kondisi terus merosot seperti ini, apakah para pemilik angkot tidak ada niatan untuk berinovasi mengikuti kondisi zaman. Misalnya ikut memanfaatkan teknologi informasi, membuat aplikasi demi memudahkan calon penumpang angkot. Pertanyaan itu dijawab singkat saja oleh Hendro. "Itu seharusnya tugas sopir," katanya.

Selebihnya, Hendro mengharapkan ada dukungan dari pemerintah daerah agar angkot tetap eksis dan diminati penumpang.

Suara senada dinyatakan oleh Budiono, seorang juragan angkot asal Desa Kalisalam, Kecamatan Dringu. Soal koperasi, ia tidak berkomentar. Budiono hanya mengharapkan ada beberapa fasilitas yang diberikan pemeritah kepada sopir angkot.

***

Koperasi Syarat Mengurus STNK

UNTUK mendapat kejelasan tentang ide pembentukan koperasi bagi angkot, Tadatodays.com mengajukan permintaan wawancara kepada Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Probolinggo Agus Effendi pada Rabu (9/6/21). Namun, hari itu Agus Effendi masih melakoni kunjungan kerja di Kabupaten Situbondo.

Baru pada keesokan harinya Agus Effendi meladeni wawancara dengan Tadatodays.com. Bertempat di ruang kerjanya di kantor Dishub Kota Probolinggo di Jalan Suroyo, Agus Effendi siang itu didampingi dua orang kepala bidang. Agus Effendi menegaskan bahwa pihaknya tetap bertanggung jawab dan membina pelaku transportasi. Khususnya ialah mengarahkan pelaku transportasi dalam proses badan hukum berbentuk koperasi.

Agus menjelaskan, hal itu telah diatur dalam UU 22 tahun 1999 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,   Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, dan Peraturan Menteri Perhubungan nomor 15 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Dalam Trayek.

Pada UU 22 / 1999 pasal 66 dinyatakan bahwa angkutan barang atau orang, wajib berbadan hukum. Oleh karena itu, pemkot mengusulkan agar angkot berbadan hukum koperasi. "Koperasi ini yang paling sederhana dibandingkan BUMN, BUMD, atau Perseroan Terbatas," jelasnya.

Lalu apa keuntungannya jika sopir dan pemilik angkot bergabung dalam koperasi? Agus menerangkan bahwa sesuai aturan yang berlaku, pembentukan koperasi ini untuk mewadahi sopir dan pemilik angkot jika terjadi persoalan dalam proses manajemen.

Kata Agus, kadang kala persoalan itu muncul. Misalnya permasalahan pesangon. Pemkot tidak dapat mewadahi dan menyelesaikan jika terjadi persoalan. Sebab, tidak ada payung hukum dalam organisasi angkot. “Sehingga ketika mengikuti koperasi, persoalan tersebut dapat dilindungi dengan hukum, mulai hak dan kewajiban. Ini langkah pemerintah untuk mengayomi," jelasnya.

Menurut Agus, saat ini sudah ada 2 koperasi angkot di Kota Probolinggo, yaitu Jasa Agkutan Mandiri (JAS) dan Mitra Angkutan Sejahtera (MAS).

Sebagai kelanjutan dari gagasan tentang koperasi ini, Agus menyatakan sudah berkoordinasi dengan  Satlantas Polres Probolinggo Kota. Kelak, untuk menguras surat tanda nomor kendaraan (STNK) harus menyertakan kartu keanggotaan koperasi.

Namun, untuk menyepakati gagasan tersebut, Dishub akan mengundang kembali para sopir angkot. Terutama agar para sopir memiliki gambaran yang jelas tentang manfaat mengikuti keanggotaan koperasi. "Selama ini, sopir kurang memahami itu. Ke depan, kita sampaikan dengan jelas bahwa untuk mengurus STNK harus menjadi anggota koperasi," terangnya.

Sampai pertengahan 2021 ini Agus menyebut ada 213 armada angkutan kota yang ada di Kota Probolinggo. Tetapi yang beroperasi tinggal sekitar 144 armada. Selebihnya tidak beroperasi karena faktor usia kendaraan sudah tua hingga tidak lulus uji kendaraan, dan faktor persaingan jasa transportasi publik. 

Dalam situasi ini, Agus Effendi menyebutkan bahwa Pemkot Probolinggo memiliki 3 rencana untuk mempertahankan keberadaan angkutan kota. Pertama, adanya pemutihan kendaraan angkutan umum dalam rangka meningkatkan semangat pelaku angkot.

Kedua, banyaknya pemukiman penduduk dan kondisi pendemi Covid-19, Dishub akan melaksanakan kajian soal pemetaan trayek yang tidak efisien, jalur angkot yang minim kini mulai dipadati, dan memunculkan digitalisasi angkot. Ketiga, mengadakan aplikasi khusus angkot dan calon penumpang.

Secara singkat, Agus menjelaskan bahwa aplikasi angkot nanti diperuntukkan sopir dan penumpang. Terutama untuk mengetahui di mana letak angkot, perjalanan ke mana, dan kapan calon penumpang akan naik. Informasi-informasi itu nanti bisa diakses secara efisien.

"Sehingga, kemudahan akan didapat. Misalnya, adakah potensi di jalur trayek, penumpang berada di Jalan  Mastrip dan angkot ada di Jalan Soekarno Hatta. Itu akan diketahui dengan aplikasi tersebut. Kita anggarkan kajian pada tahun 2021 sebesar lebih kurang Rp 100 juta," terang pejabat penghobi bola voli itu. 

***

Angkot Masih Punya Penggemar

SITI Hindun melangkahkan kaki menuju jajaran angkot di kawasan Persimpangan King di Jl Panglima Sudirman. Perempuan 61 tahun asal Kelurahan/Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo itu baru selesai mengemis di pasar. Langkah kaki Hindun pada Rabu (15/6/2021) siang itu disambut beberapa sopir yang berdiri di dekat angkot masing-masing.

Hindun kemudian memilih masuk di salah satu angkot. Hindun seorang diri saja dalam angkot itu. Ia memilih duduk di bangku tengah, menyandarkan punggung, lalu menyelonjorkan kedua kakinya. Sesekali pandangannya diarahkan ke jalan raya.

Saat didekati Tadatodays.com untuk berbincang sambil menunggu angkot jalan, Hindun tersenyum ramah. Ia mengaku lebih memilih naik angkot karena ongkosnya masih lebih terjangkau dibanding naik ojek konvensional. “Naik angkot ini murah. Dengan perjalanan yang jauh, ongkosnya sebesar Rp 10 ribu satu kali perjalanan,” tuturnya.

Selain murah, Hindun menyimpulkan bahwa naik angkot dirasa lebih enak. Terutama karena ia bisa turun langsung di dekat rumahnya. "Enak naik angkot," ujarnya. Saat ditanya apakah bisa mengoperasikan handphone, Hindun menggeleng.

Angkot yang ditumpangi Hindun akhirnya jalan. Tetapi penumpangnya tetap cuma satu orang: Hindun. 

Masih di tempat mangkal angkot di Persimpangan King, Rabu siang itu terlihat dua pelajar cewek duduk di sebuah angkot. Dua siswi itu anak kembar. Masing-masing bernama Anggun Dewi Septianti dan Anggun Dewicantika.

Keduanya masih berusia 16 tahun. Kembar asal Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo itu baru pulang sekolah. Siang itu mereka masih mengenakan seragam warna pink kebanggaan SMKN 1 Kota Probolinggo.

Dalam angkot tersebut ada tiga penumpang. Selain dua siswi kembar, ada seorang perempuan baya. Dewi Septianti mengatakan, naik angkot lebih murah dibandingkan ojek online. Untuk pelajar seperti dirinya, ongkos naik angkot cukup Rp 2 ribu.

Setiap berangkat dan pulang sekolah, Anggun Dewi Septianti dan Anggun Dewicantika naik angkot. “Naik angkot lebih seru, karena saat berangkat dan pulang bisa bergurau. Saya juga merasa aman kalau naik angkot,” kata Dewi Septianti.

***

SEBUAH mobil angkot bergerak melipir dari traffic light Jl Pahlawan masuk pangkal Jalan Panglima Sudirman. Angkot tersebut kemudian berhenti di seberang jalan depan Bank BTPN. Sopir menunggu penumpang yang diperkirakan akan naik angkotnya.

Seorang perempuan duduk di kursi depan samping sopir. Perempuan bernama Fitria, warga Kelurahan/Kecamatan Kademangan Kota Probolinggo itu mengaku sudah langganan naik angkot tersebut.

Fitria bekerja di sebuah toko di Leces. Setiap pulang, ia naik bus dari Leces dan turun di Jl Prof. Hamka. Dari Jl Prof Hamka ia lanjut pulang naik angkot. Fitria menyayangkan karena saat ini makin jarang ada angkot di siang hari. "Jadi kalau tidak ada angkot, naik ojek konvensional. Ongkosnya Rp 7 ribu. Kalau ongkos angkot Rp 5 ribu saja,” ujarnya.

Lalu mengapa hari itu Fitria naik angkot sampai di jantung kota? “Ini saya diajak keliling sama sopir," kata Fitria lalu tersenyum renyah. (ang/why)

 


Share to