Cerita Perubahan dari Desa: Pengasuhan Gotong Royong dari Tanoker
Andi Saputra
Wednesday, 16 Oct 2024 09:01 WIB
JEMBER, TADATODAYS.COM - Selama 15 tahun, Tanoker Ledokombo, Jember, konsisten mengembangkan gerakan pemberdayaan yang berfokus pada pengasuhan gotong royong. Dalam perjalanan panjang tersebut, banyak sumber daya manusia (SDM) lahir dan menjadi agen perubahan dari desa.
Bukti nyata dari perjalanan ini terangkum dalam buku berjudul “Ragam Pengasuhan Gotong Royong yang Melintas Batas”. Buku ini menyoroti bagaimana pengasuhan gotong royong dapat diterapkan secara bersama-sama di masyarakat. Buku yang diluncurkan pada 15 Oktober tersebut merupakan hasil kolaborasi Tanoker dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
SAMBUT: Farha Ciciek saat menyambut tamu undangan dan menjelaskan karya Tanoker.
Buku setebal 223 halaman ini ditulis oleh empat sosok penting: Direktur Tanoker Farha Ciciek, Pengurus Tanoker Sisillia Velayati, Pengasuh Pesantren Shafiyah Nurun Sariyah, serta Project Officer Tanoker Nurhadi. Mereka mendokumentasikan pengalaman pengasuhan gotong royong yang telah diterapkan di Ledokombo sejak 2009, termasuk dinamika sosial yang muncul dari fenomena migrasi terpaksa (forced migration) di kalangan pekerja migran. Salah satu dampaknya adalah lahirnya anak-anak yatim piatu sosial.
Farha Ciciek menjelaskan bahwa pengasuhan gotong royong merupakan aset penting untuk membangun generasi yang sehat dan berdaya. Dalam peluncuran buku tersebut, Ciciek mengajak masyarakat Jember untuk menerapkan model pengasuhan ini di desa atau dusun masing-masing.
“Anakmu anakku, anak kita semua,” ungkap Ciciek, menekankan pentingnya rasa kebersamaan dalam mendidik anak-anak.
Selain melalui buku yang bisa diakses publik di situs web Tanoker, cerita pengasuhan gotong royong ini juga diabadikan dalam bentuk video dokumenter. Video tersebut menampilkan berbagai elemen masyarakat, mulai dari anak-anak, orang tua, kakek-nenek, hingga para santri. Dokumenter ini menggambarkan pengasuhan kolektif sebagai alternatif solusi bagi anak-anak yang orang tuanya bekerja sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Model pengasuhan ini telah diterapkan secara adaptif di beberapa pesantren, seperti Pesantren At Tanwir di Jember, Nurussalam di Bondowoso, dan As-Shofiyah di Banyuwangi. Ciciek berharap agar model ini dapat direplikasikan di berbagai daerah. “Mari kita terus mengasah empati untuk melanjutkan aksi yang bermanfaat dan berlandaskan kearifan lokal,” tutur Ciciek.
Dalam kesempatan yang sama, Kalis Mardiasih, aktivis perempuan sekaligus penulis, turut membedah buku tersebut. Ia menyampaikan kegelisahannya mengenai dampak modernisasi dan teknologi terhadap budaya gotong royong. Menurut Kalis, kemajuan teknologi perlahan-lahan mengikis kebiasaan gotong royong, menyebabkan ruang-ruang sosial menjadi semakin sempit dan pola pengasuhan anak semakin individualistis.
BEDAH BUKU: Kalis Mardiasih saat menjadi pembicara bedah Buku.
“Ruang terbuka untuk anak-anak bermain semakin sulit ditemukan, baik di desa maupun di kota. Alam yang dulu menyediakan tempat bermain, kini tergantikan oleh gadget dan media sosial,” ujar Kalis.
Ia mengkritik maraknya industri permainan anak yang menawarkan solusi bermain dalam ruang komersial, seperti pusat hiburan berbayar, yang justru menjauhkan anak dari interaksi sosial alami.
Kalis juga menyoroti pentingnya mengembalikan ruang hidup yang manusiawi, di mana anak-anak bisa bermain dan berinteraksi tanpa terjebak dalam pola hidup mekanistik yang diatur oleh kemajuan teknologi. “Kita bekerja bukan untuk membayar permainan anak-anak, tapi untuk menciptakan kehidupan yang lebih manusiawi,” pungkas Kalis.
Dengan peluncuran buku ini, Tanoker berharap dapat memicu semangat untuk terus memperkuat pengasuhan gotong royong, tidak hanya di Jember, tetapi juga di seluruh Indonesia. (as/why)
Share to