Dari Kalisat Tempo Dulu Episode 7 Gelaran Sudut Kalisat

Iqbal Al Fardi
Iqbal Al Fardi

Monday, 14 Nov 2022 08:15 WIB

Dari Kalisat Tempo Dulu Episode 7 Gelaran Sudut Kalisat

SUDUT Kalisat kembali menggelar Kalisat Tempo Dulu. Gelaran Kalisat Tempo Dulu ke-7 (KTD 7) ini bertajuk “From Kassel to Kalisat” pada Jumat-Sabtu (28-29/10/2022) di satu gedung tua bergantung papan bertuliskan “Ruang Ingatan”.

Di dalamnya, dipampang berbagai arsip kenangan, berupa foto cetakan kertas dan benda lainnya. Kenangan beku itu terbagi menjadi empat kategori, yaitu warga Kalisat Kampung Lorstkal (Lor Stasiun Kalisat) dan kereta api, perjuangan warga Pakel Banyuwangi, dapur, serta kisah Apex dan Icen selama di Kassel, Jerman.

***

PERIHAL FOTO TERTUA

AKU lali nggak gowo kocomoto,” ujar perempuan paro baya itu. Dahinya mengerut, menegaskan bahwa ia mencoba untuk memperhatikan arsip atas sekumpulan orang berkegiatan di sebuah stasiun. Foto monokrom tua itu menjadi satu bagian dari pameran arsip di KTD 7, bersama ingatan yang terpatri dalam arsip-arsip lainnya pada Sabtu sore itu.

Terpampang puluhan kertas foto berbingkai  menggantikan cat putih pada ruangan gedung di mana kawan-kawan Sudut Kalisat biasa berkumpul. Sebagian kenangan beku berbungkus buku kolase itu terpajang di sebuah etalase berukuran sedang. Lainnya terselip di diding gedek dapur tua menghimpit sebuah lampu templek yang telah menghitam.

Tampak juga dua foto berbeda di tengah ruangan pameran itu di antara tiga plastik yang digantung. Plastik paling besar tertulis “KTD 7 From KASSEL to KALiSat” menggunakan cat merah dengan posisi di tengah  bagian belakang. Sedangkan dua plastik lainnya tampak sebagai pelengkap dengan gambar abstrak bercat hitam.

Foto tersebut seakan menjadi pusat. Bukan hanya tata letaknya, tetapi juga terdapat lampu sorot yang menembak arsip tersebut. Cahaya merah, biru dan hijau menjadi satu tersorot melewati plastik di tengah itu dan jatuh tepat ke foto tersebut. Ditambah juga selembar kain putih ditata sehingga membentuk setengah lingkaran yang berdampingan seakan menjadi atap foto tersebut.

“Kalau yang ini foto tertua yang kami temukan,” jelas Ahmad Hafid Hidayatur Rohman, kerap disapa Apek, sembari menunjukkan dua foto tadi. Pria berambut gondrong itu menjelaskan bahwa dua foto beralaskan kotak kayu persegi panjang dengan luas sekitar 3,75 meter itu merupakan yang tertua dari semua yang telah didapatnya. “Ini foto tahun 1916,” katanya kepada tadatodays.com.

Bukan Apek, justru Hakim, Roni dan Krisna yang menemukan arsip tersebut dari Khosim, salah seorang warga setempat. Terdapat setidaknya 30an orang dengan gaya masing-masing membeku terabadikan di foto monokrom usang itu. “Di dalam foto ini yang menarik adalah mereka ada di ruang tamu,” terang pria berambut ikal itu.

Selain orang, terdapat juga foto lainnya yang berada tepat di bawahnya. Pada arsip itu terdapat nama-nama yang diketik oleh mesin tik dan tulisan tangan bersambung. Menariknya, tulisan tersebut merupakan bagian belakang foto yang dipindai.

Citra buram dari hasil pemindai merupakan efek dari retakan kaca. Tak ingin foto itu lebih rusak nantinya, maka empunya itu dibalut isolasi sehingga menjadi paten. “Figuranya kacanya retak, jadi kita gak bisa scan dengan bagus. Jadi gak bisa dikeluarin fotonya,” jelas Apek dengan mimik wajah pemakluman. (*)

DAOP: Emak-emak saat memperhatikan foto daop 9 dan warga Lorstkal atau lor stasiun Kalisat.

KALA ITU... DAOP 9 DAN LORSTKAL

DI sela perbincangan dengan Apek, tak terasa pengunjung mulai berdatangan. Kebanyakan dari pengunjung hadir bergerombol mulai dari anak hingga usia senja. Tidak hanya warga sekitar, mereka juga berasal dari luar Kecamatan Kalisat.

Sekelompok perempuan paruh baya masuk ke ruang pameran. Dua orang mengenakan celana dan dua lainnya berpakaian daster motif bunga. Sesuatu di ruangan itu berhasil menarik perhatian keempat wanita yang berkerudung itu.

Kumpulan arsip foto warga Kalisat bersama Daerah Operasi IX Jember (Daop IX JR) PT. KAI lah biangnya. Keempat wanita tersebut langsung menuju pajangan foto yang tersorot lampu.

Kepala mereka seakaan dipenuhi ingatan lampau. Hal itu tampak di mimik wajah mengkerut mereka yang dihiasi keriput halus. Setiap foto kenangan masyarakat Kalisat dan Daop IX tak mereka lewatkan seakan eman untuk menyelesaikan reuni ingatan itu.

Seorang dari mereka tampak melihat sebuah foto itu dengan sangat dekat dan lekat. “Lali aku nggak gowo kocomoto (aku lupa tak membawa kacamata, red),” ujar sosok yang mengenakan daster hijau itu. Ia tampak berusaha mengingat kejadian beku yang dilihatnya.

“Nah, iki kan yo seng biyen awak dewe nang stasiun, enek awakmu pisan iki (ini kan kita dulu di stasiun, ada dirimu juga ini, red),” jelas wanita bermasker itu kepada temannya yang mengenakan kacamata memperlihatkan foto di pojok bawah deretan foto lainnya.

Kemudian, temannya menyusul untuk melihat juga apa sebenarnya yang foto tersebut tunjukkan. “Iyo seh iki lak aku (iya sih, ini kan aku, red),” respon sosok berkerudung setengah badan sembari menunjuk seorang wanita di foto itu.

Kumpulan arsip yang tersaji di KTD 7 itu menjadi momen silaturrahim mereka berempat dan pengunjung sekitar. Tawa pecah di tegah momen nostalgia itu. Mereka saling tunjuk bahwa dulunya pernah muda juga.

Dari sekian banyak foto kedekatan warga Lorstkal itu, ada dua foto otentik tanpa dipindai. “Mendengar bahwa akan ada pameran, bu Narto datang ke sini membawa dua foto itu,” ungkap Apek sembari menjunjukkan letak foto tersebut. Foto tersebut menunjukkan beberapa orang sedang mengenakan pakaian di zaman kolonial Belanda yang masih berhubungan dengan Daop 9 Jember.

Beberapa foto didapatkan dari Daop 9 dan ibu-ibu PKK Lorstkal yang dulunya dikenal dengan Lorban (Lor Ban). “Beberapa (foto, red) ada yang dari Daop 9 dan PKK,” terangnya.

Catatan Novia Suryandari menuliskan bahwa warga kampung Lorstkal sedekat nadi dengan Daop 9, tepatnya stasiun Kalisat. Ia menuturkan dalam tulisannya bahwa beberapa kegiatan warga sekitar dulunya begitu erat dengan Daop 9.

Pegiat Dharma Wanita biasa mengisi selang waktunya dengan agenda bersama Stasiun Kalisat dan Jember. “Arisan, lomba voli, kasti, merangkai bunga atau hanya sekadar kumpul bersama” terang Novia dalam catatannya.

Di atas dua foto pinjaman dari bu Narto itu, terdapat satu foto monokrom dengan sedikit bercak kecoklatan tentang aktivitas lomba voli pria. Terlihat pula satu orang  menerima bola lambung dari tim musuhnya. Dalam arsip itu, semua mata tertuju pada aksi satu pemain tersebut.

Sisa dari foto aktivitas warga kampung Lorstkal dan Daop 9 tidaklah monokrom, tetapi berwana meski tak se kontras hasil foto masa kini. Di foto-foto tersebut, kebanyakan bercerita tentang aktvitas lomba olahraga. Hampir di semua foto, para wanita mengenakan pakaian olah raga. (*)

EMAK: Empat emak-emak melihat foto tentang dapur dan warga.

CERITA DI BALIK FOTO KEBAKARAN PASAR KALISAT

BERGESER ke sebelah kanan kumpulan foto masyarakat Lorstkal dan Daop 9, ibu-ibu tua itu terhenti di depan dua foto yang berjajar vertikal. Mereka saling menghimpit karena foto tersebut terletak di tembok seluas kurang lebih setengah meter. Di dalam bingkai itu, terdapat sebuah tragedi kebakaran pasar Kalisat antara tahun 2001-2002.

Kedua foto yang diambil pada malam hari tersebut memiliki noise begitu pekat. Foto yang terletak di atas menunjukkan sekelompok warga yang sedang menyaksikan amukan si jago merah itu. Foto di bawahnya mengabadikan dua orang yang mengenakan peci, satu orang tampak sedang bertolak kembali dari gedung yang terbakar dan satu lainnya terlihat menutup hidung  seolah enggan dengan pekatnya asap.

Di bawah dua foto tersebut terdapat sebuah keterangan. Apa yang tertulis dalam info tersebut kira-kira begini: foto ini diambil sekitar tahun 2001-2002. Pada peristiwa ini, barang-barang milik warga banyak dijarah oleh warga luar Kalisat, bukan karena kebakaran.

Ditambah pula keterangan bagaimana warga kala itu memadamkan api yang melalap pasar.  Untuk mengatasi kebakaran, warga menggunakan pintu air yang sebenarnya menyalahi aturan. Hal itu dilakukan agar mereka cepat memadamkan api.

Apek menjelaskan bahwa foto tersebut didapat dari Jumika dan Oni,  warga Desa Ajung. “Ke Desa Ajung, Bu Jumika dan Pak Oni, kita mendapatkan foto langka kebakaran Kalisat. Dari KTD 1-6, kita gak pernah dapat foto kebakaran,” terangnya sembari melempar pandangan ke kedua foto tersebut.

Oni sendiri masih meraba-raba kejadian tersebut. Sebab itu, pihak Sudut Kalisat pergi ke pasar Kalisat untuk mendapatkan informasi yang jelas dari para penjual. Pencarian itu memancing desas-desus warga di pasar. “Akhirnya, pada itu pasar jadi rame di pasar saling tanya,” jelas Apek.

Meski sudah bertanya ke warga di pasar, tim Sudut Kalisat masih belum mendapat keterangan yang jelas. Yang didapat hanya peristiwa kebakaran pada tahun 1993. Sebab, kebakaran tersebut ialah yang paling besar sehingga membumihanguskan pasar Kalisat. “Terus, waktu itu banyak orang di pasar Kalisat lagi hamil dan jadi ingat,” cerita Apek.

Setelah dari pasar, tim Sudut Kalisat pun kembali ke Oni. Tak ayal, Oni yang tadinya masih mencoba mengingat kedua foto itu, akhirnya paham kejadian tersebut. “Akhirnya Pak Oni ingat kalau ini tahun 2001,” ungkapnya.

Tak memakan banyak watu untuk mengamati peristiwa di foto kebakaran tersebut bagi keempat wanita itu. Mereka hanya saling melempar tanya tentang kapan kejadian itu ada. Pertanyaan mereka kandas saat salah seorang dari mereka menjelaskan apa yang ada di keterangan foto tersebut. (*)

BANYUWANGI: Beberapa pengunjung sedang melihat arsip yang dibawa dari pameran di Pakel banyuwangi.

BUAH TANGAN APEK DAN ICEL DARI KASSEL

“KAN kita dua orang kemarin dari Jerman, aku sama Icen. Kita ingin KTD 7 itu dibalik. Kalau kemarin From Kalisat to Kassel, sekarang From Kassel to Kalisat,” jelas Apek dengan nada girang.

Di KTD 7 itu, Apek dan Icen membawa oleh-oleh pengalaman mereka berupa arsip-arsip setelah mengikuti pameran seni rupa internasional Documenta Fifteen (15) di Kassel pada 27 Juni-18 Agustus 2022 lalu.

Puluhan arsip mulai dari foto hingga koran dari Jerman itu terpampang di pojok ruang pameran, tepat setelah foto kebakaran pasar Kalisat. Selain itu, terdapat juga sebuah laptop berukuran setidaknya 16 inci. Tidak ketinggalan juga peta Kalisat dan Kasel yang terpampang serta sebuah plastik berukuran A4 potrait dengan tulisan “KASSEL” berwarna merah.

Arsip-arsip yang tak diketahui oleh keempat wanita itu berhasil membuat rasa penasaran mereka membuncah. Satu per satu arsip mereka telusuri. Namun, tak satupun dari mereka menyentuh laptop di atas meja itu, mungkin saja karena layar itu tak menampilkan apapun.

Perihal adanya laptop itu di kumpulan arsip Apek dan Icen bukan tanpa sebab. Saat tim tadatodays.com mencoba untuk menekan tombol spasi, layar mulai menampilkan video yang berhenti. Ketika menekan tombol itu kedua kali, barulah laptop itu memainkan video kegiatan Apek dan Icen saat mengikuti Documenta 15.

Ada empat video yang tersedia dengan masing-masing durasi kurang dari satu menit dengan latar musik kece. Video pertama merangkum perjalanan Apek dan Icen hingga aktivitas mereka di Kassel . Di video kedua, terdapat cerita tentang momen di mana para peserta Documenta 15 itu melakukan permainin. Video berikutnya bertajuk “Hanya Memberi Tak Harap Kembali”. Terakhir, video menampilkan aktivitas peserta di kelas Documenta 15.

Apek bercerita bahwa ia dan Icen ingin menyampaikan kisah tentang bagaimana, kegiatan apa dan apa yang mereka dapatkan selama di Kassel. Itu ditujukan bagi semua orang yang telah mendukung mereka untuk berangkat. Sebab, keberangkatan mereka ialah hasil dari berjualan kaus dan lainnya. “Ternyata kemarin ada sisa uang, jadi dibuat KTD 7,” ungkapnya dengan nada puas.

Selama di sana, Apek menjelaskan bahwa Icen menjadi kepala chef. “Kan art direkturnya mengangkat konsep lumbung sama kerja kolektif,” jelasnya. Apek menceritakan keheranan Icen ketika aktivitas memasak menjadi sebuah performance. (*)

SUARA SUMBANG WARGA PAKEL

ARSIP-ARSIP yang didapatkan dari warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi itu tak begitu banyak, tetapi mengundang perasaan mencekam. Terletak di ruang berbentuk kotak tebuka paling ujung belakang pameran KTD 7, konflik yang dialami warga Pakel itu seakan berbicara melalui pameran arsip itu seakan makin lantang dengan cahaya yang agak remang.

“Di sini juga ada Pakel. Kita punya kesempatan bareng Mas Usman buat pameran di sana,” kisah Apek sembari berjalan menuju kumpulan arsip tersebut.  Setidaknya, ada lima kategori arsip Pakel.

Saat beralih ke arsip pakel, seikat tembakau yang sudah kering digantung dengan latar belakang sebuah bingkai foto tua. Tidak hanya itu, sebelah tembakau itu terdapat sebuah tulisan spidol hitam dengan judul “Djenang Mbako”.  Kedua benda itu adalah arsip pertama.

Tepat di pojokan ruang itu, terdapat sebuah lukisan yang menggambarkan ingatan warga Pakel, Mar, Herman, Sajidi, sejak 1999-2001. ”Ingatan fotogarafi itu divisualkan  seperti Mbak Mar, Mas Hajidi dan Mas Herman” terang Apek sembari menunjuk lukisan itu. Lukisan berukuran kira-kira A2 tersebut memvisualkan kejadian mencekam di tahun tersebut.  Dalam keterangan yang diunggah Sudut Kalisat, pelukisnya ialah Dae Arnil Sura.

“Mereka (warga Pakel, red) punya arsip dan ingin menunjukkan ke warga bahwa mereka punya kekuatan. Mas Usman ingin kasih tahu arsip-arsip tersebut,” ungkap Apek. Ia mengatakan bahwa arsip-arsip itu dibawa ke KTD 7 atas izin warga Pakel.

Di sebelah lukisan itu, tertempel seikat padi Genjah Arum yang sudah menguning hasil bumi warga Pakel. Padi tersebut dipajang menggunakan konsep serupa dengan cara seikat tembakau dipamerkan. Di bawahnya, terdapat sebuah catatan singkat yang ditulis oleh RZ Hakim bertajuk “Padi Genjah Arum”.

Dalam catatannya, Hakim menuliskan bahwa di tahun 1999 masyarakat Pakel masih menanam padi yang menghasilkan nasi yang punel nan harum itu. Hubungan warga dengan Genjah Arumpun begitu harmonis. Sebab, di setiap tahap cocok tanam pagi tersebu, warga biasa melakukan acara adat seperti syukuran dan selamatan.

Sayangnya, Hakim mencatat, kisah harmonis itu tak lagi berlanjut karena gempuran padi varietas unggul yang gencar dikenalkan negara pada tahun 1980an. Kini, meski masih ada warga yang menyimpan benihnya, cerita Genjah Arum dan masyarakat Pakel hanya isapan jempol belaka.

Di samping pagi Genjah Arum itu, 20 foto potrait dan landscape aktivitas pameran arsip di Pakel tertanggal 26 September 2022 itu menempel pada kertas putih besar. Terdapat sebuah potret kumpulan emak, ada yang sedang menyeruput kopi, menegak air, mengupas sayur, memegang piring kaca, dan beberapa mengacungi jempol tersenyum sumringah. Tampaknya, emak-emak itu sedang berkumpul di dapur umum.

Wildan Ariyanto yang terlibat dalam pameran arsip di Pakel dan KTD 7 mencatat bahwa, berbekal delapan hari di Pakel, pihaknya mempersiapkan pameran sederhana di posko perjuangan warga. Ia juga menuliskan bahwa, saat singgah di dapur umum posko perjuangan Rukun Tani Sumberjo Pakel pihaknya mendapatkan cerita dari seorang wanita yang sedang piket.

Foto lainnya menunjukkan aktivitas dua pria yang tampak menata sebuah ornamen serupa gunung dari berbagai macam panenan hasil bumi, alat bercocok tanam, dan senjata pelindung diri. Wildan menerangkan dalam catatannya, ornamen itu menunjukkan bahwa tanah Pakel itu subur dan gunungan adalah perlambangan rasa syukur dalam kebudayaan Jawa.

Terdapat pula beberapa foto yang menunjukkan foto-foto warga pakel dan arsip surat yang ditempel di cangkul dan beberapa foto digantung di ranting. Dalam tulisan Wildan, disenyebutkan bahwa arsip itu berasal dari surat tahun 1925-2008 dan ranting pohon yang digunakan berasal dari bekas tanaman cengkeh perusahaan.

Di bawah kumpulan foto pameran di Pakel itu terdapat sembilan kumpulan arsip yang terletak di sebuah etalase berbahan kayu dan kaca. Di keterangannya, arsip tersebut merupakan dokumen tulisan milik warga Pakel tentang hak atas tanah kepemilikan mereka sebagai kekuatan untuk mempertahankan wilayahnya. Arsip tersebut diketik dengan mesin tik berbahasa Belanda dan ditulis menggunakan tulisan bersambung, tetapi sulit untuk dibaca. (*)

DAPUR: Seorang pengunjung sedang memperhatikan foto di dapur samping ruang pameran.

SAPAAN DARI TUMANG

EMPAT wanita tadi sedang berdiri di depan kumpulan foto aktivitas masyarakat di dapur. Secara perlahan, mereka mendekat ke foto-foto itu. Mereka memungut ingatan di beberapa foto-foto sebagaian orang yang dikenal.

Seorang dari mereka yang memakai masker menutupi dagu itu seakan kenal betul dengan orang-orang yang berada di foto. “Sopo iki? Wiwik, Paitem, Ani.” Sebutnya satu per satu sembari berjongkok. Foto tersebut menunjukkan empat wanita yang sedang bertamu.

Apek kembali berbincang mengenai aktivitasnya saat di Kassel. Ia menceritakan bahwa Icen berpikir bahwa kegiatan memasak di sana memancing Icen utnuk membawa konsep dapur untuk dipamerkan di KTD 7. “Akhirnya dia kepikiran kalau buat dapur dan dibawa ke KTD, dia tertarik ke dapur dulu yang ada tumangnya,” ceritanya.

Foto itu diletakkan di lima bingkai dengan dua foto di empat bingkai dan satu foto di satu bingkai. Kumpulan foto itu menceritakan kesibukan orang-orang yang sedang bergotong royong memasak, sarapan, mempersiapkan hidangan, hingga hanya sekadar berkumpul. Di semua foto tersebut hanya terpotret gerombolan wanita dan hanya satu foto yang menunjukkan aktivitas bapak-bapak sedang mempersiapkan sate.

Usai puas dengan nostalgia itu, keempat emak tersebut langsung bertolak pulang. Ada arsip foto lainnya yang masih belum mereka lihat, yaitu foto yang terletak di sebuah dapur gedek keci beberapa meter di samping ruang pameran.

Berbekal penerangan dari lapu templek di dalam dapur dan lampu putih di luarnya, terpampang 12 foto masih dengan tema dapur. Foto-foto itu ditata dengan cara diselipkan ke gedek dan lampu templek tersebut berada di tengah.

Tidak hanya foto, di daput beralaskan tanah itu terdapat pula beberapa peralatan masak seperti wajan, panci, kapak, pisau dapur dan gayung dari batok kelapa. Tumang dengan dua tungku terletak di sisi kiri dapur dan sebuah kursi panjang di sisi kiri. Di atas tumang itu terdapat kumpulan kayu bakar yang siap digunakan.

Keduabelas foto tersebut terdiri dari sembilan foto berwarna dan tiga foto monokrom. Tidak ada pembeda signifikan antara foto di dapur dan di ruang pameran. Pembeda yang ditonjolkan adalah kehadiran dapur gedek yang menambah rasa nostalgia saat memperhatikan 12 arsip foto tersebut. (*)

KASSEL TO KALISAT: Seorang pria usai melihat arsip From Kassel to Kalisat.

DARI SILATURRAHMI HINGGA KTD 7

HAL menarik dari KTD 7 bukan hanya dari pameran arsip yang beragam. Bagaimana cara arsip itu dikumpulkan dan menumbuhkan ingatan bagi pengunjung menjadi salah satu daya tariknya juga. Sebab, kawan-kawan Sudut Kalisat mengumpulkan arsip tersebut dengan cara bersilaturrahmi ke masyarakat sekitar.

Silaturrahmi merupakan salah satu dari kunci keberhasilan atas tersenggelaranya KTD 7. “Jadi proses Kalisat Tempo Dulu itu kuncinya ada di silaturrahmi sebetulnya,” jelas Apek.

Sebabnya, dari sana pula mereka berhasil mengumpulkan arsip-arsip yang umum hingga langka yang turut dicari oleh Belanda. “ Kita kan dari awal gak pernah mamerin arsip dari Belanda. Dan sekarang banyak dicari sama Belanda. Kita punya, kita hidup di sini, arsip-arsip  ini,” ungkapnya.

Berbeda dengan KTD sebelumnya yang bertema ajeg seperti pendidikan dan arsitektur. “Kita tetap silaturrahmi dan dapat ini, beda dengan KTD sebelumnya yang kita bertema misalkan KTD 2 tentang pendidikan, 4 itu arsitektur,” katanya.

Di KTD 7 itu,  Apek menerangkan bahwa awalnya pihaknya memulainya dengan tema sembarang sembari berkunjung ke rumah warga. “Untuk perbincangan dan tema itu lama, kita itu ngobrol2 lama sekarepan gitu,” terangnya.

“Kita mulai dari tema sembarang, foto apa aja kita ambil dan scan. Ke rumah warga, dan kita cerita akan buat KTD lagi mungkin ada foto dan mereka mengeluarkan foto dan cerita dari cerita itu silaturrahmi dan terikat dengan warga. Lalu kita sederhanakan menjadi beberapa tema di sini salah satunya keterikatan kampung lobstar dan daop 9,” lanjutnya.

Mengenai proses silaturrahmi ke warga, Apek bercerita bahwa pihaknya berembuk dulu perihal siapa yang akan mereka kunjungi. “Awalnya pasti kita rembuk dulu, mau kemana kita seperti ke rumahnya Bu ini dan ini. Otomatis dari yang kita kenal kan dari kunjungan awal dari 3 nama, misalnya, nanti di suruh ke yang lain yang memiliki arsip foto banyak,” jelasnya.

Terkait judul KTD 7, pihaknya sudah mempersiapkan sebelum berangkat ke Kassel. “Untuk persiapannya sendiri itu kita sebelum berangkat ke Jerman, kita ngobrolin ini. Judul ini sudah ada sebelum kita berangkat ke Kassel. Nanti KtD 7 kita balek namanya menjadi From Kassel to Kalisat,” tuturnya.

Bagi Sudut Kalisat, warga merupakan sosok maha guru. “Ternyata setelah keliling ke rumah warga, seperti KTD dulu kan warga itu mahaguru, banyak cerita tentang tomang dan kenangannya. Ternyata banyak warga yang memiliki foto di dapur,” pungkasnya sembari bernostalgia saat mengumpulkan arsip tentang dapur. (iaf/why)


Share to