Dari Pagelaran Teater Paradoksal “Misteri Bukit Keramat”

Iqbal Al Fardi
Iqbal Al Fardi

Tuesday, 14 Feb 2023 13:14 WIB

Dari Pagelaran Teater Paradoksal “Misteri Bukit Keramat”

PEMENTASAN: Gambar awal pementasan dan permainan Paradoksal menggunakan OHP.

Berangkat dari kegundahan alam sekitar, kelompok Teater Paradoksal menghelat pementasan di tempat bekas gumuk yang sudah habis dikeruk. Bahkan, mereka sajikan gelaran itu untuk warga, khususnya anak-anak sekitar bekas gumuk tersebut. Masyarakat menyambut baik perhelatan tersebut. Terlebih, Teater Paradoksal mengontruksi ulang mitos gumuk itu.

--------------------

PEKATNYA dingin malam tidak meruntuhkan rasa penasaran anak-anak yang sedang berkumpul untuk menunggu helatan pentas teater Paradoksal, Rabu (25/1/2023). Sebuah kain putih kotak disoroti cahaya dari Over Head Projector (OHP). Di “layar” itu tampak bayangan berbentuk tulisan “Misteri Bukit Keramat”, judul pementasan.

Tak hanya anak-anak, orang tua dan bahkan sesepuh kampung di sana hadir untuk menonton. Bertempat di lokasi bekas gumuk Pekel, Dusun Sumberberingin, Kelurahan Karangrejo, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember, para penonton duduk beralaskan terpal.  Sederhana, namun hangatnya kebersamaan warga sekitar terasa lengkap dengan berbagai sajian kudapan.

Sebelum sorot lampu mati, Pak Wakik sapaan akrab warga sekaligus sesepuh kampung di sana merapal doa sebelum pentas. “Mari kita sambut pementasan Misteri Bukit Keramat persembahan dari teater Paradoksal,” ucap Nabila, pembawa acara. Tetiba, sorot lampu mati tersisa cahaya dari layar pertunjukan.

Di layar selembar kain putih itu muncul sebuah bayangan cabang bambu, dedaunan dan disusul dengan beberapa karakter wayang bambu. Saat itu, perlahan warna latar berisi warna merah dan putih yang berimbang mengisi layar. Proyeksi tersebut berasal dari permainan properti pementasan dengan memanfaatkan OHP.

Gambar perlahan berganti. Cahaya menjadi putih kembali diisi dengan ilustrasi pedesaan dan beberapa wayang. Narator mulai membacakan narasi awal. “Pada suatu ketika di daratan Jawa Dwipa, ada sebuah desa terpencil bernama Desa Lokasanca,” Nabila berkisah yang juga sebagai narator itu.

WAYANG BAMBU: Pementasan di balik layar, Ivan memainkan wayang bambu.

Latar kembali bertransisi, muncul sebuah ilustrasi bukit dengan pohon beringin raksasa di puncak. Nabila menceritakan bahwa bukit tersebut menjadi rumah bagi satwa, bahkan makhluk astral. Bukit atau gumuk tersebut memang fiktif, namun bangunan cerita yang dibawakan berasal dari mitos kepercayaan masyarakat sekitar yang ada di Gumuk Pekel.

“Bukit Keramat” berangsur sirna tergantikan latar sebuah warung milik Mak Rukmini, tokoh fiktif di cerita itu. Dalam bagian cerita tersebut, Mak Rukmini bersama Ki Slamet sebagai seorang tokoh yang dihormati sedang bersantai. Namun, waktu senggang mereka terusik oleh kedatangan 3 orang asing, Amok, Mat Patek dan Mat Talih.

Tokoh wayang utama memiliki tanda khusus. Ki Slamet memiliki suatu pakaian di pinggangnya dan blangkon di kepala yang dibuat dari bambu. Mak Rukmini mengenakan konde dan pakaian di badannya. Sedangkan Amok ditandai dengan mika kuning dan kedua pengikutnya dengan hijau.

Ki Slamet menanyakan ihwal kedatangan mereka. Amok menjawab bahwa dirinya sedang mencari pusaka Mustika Sanca yang berada di bukit keramat tersebut. Lalu, Ki Slamet menjelaskan apa yang dicari oleh Amok tidak ada di sana.

Percakapan dalam pementasan itu tidak diucapkan langsung. Sebelumnya, Paradoksal telah merekam percakapan tokoh dalam cerita. Pun, mereka menggunakan latar musik dengan sebuah aplikasi yang dimainkan langsung. Selain itu, warna hijau dan merah digunakan untuk menunjukkan suasana mencekam.

Selanjutnya,  Ki Slamet menjelaskan bahwa untuk berkunjung ke bukit itu, pengunjung harus menjaga sikap dan ucapannya. Ki Slamet juga mengatakan terdapat penunggu berupa siluman ular dan harimau raksasa. Namun, Amok menyambut penjelasan itu dengan sikap angkuh bahwa dirinya tak akan mundur sejengkal pun.

Selang itu, Amok dan kedua pengikutnya pergi ke gumuk keramat malam harinya. Di sana, mereka bertiga menjumpai suasana sunyi seketika yang mencekam. Selain bambu berayun hebat, terdengar pula suara raungan keras. Sontak, hal itu membuat nyali mereka ciut seketika.

Usai turun dari bukit, Amok dan kroninya pergi ke balai desa untuk mengumpulkan warga yang mau membantu mereka. Bukan tanpa imbalan, Amok menjanjikan beberapa kantong emas bagi yang ikut membantu pencarian pusaka. Meski banyak warga menolak ajakan itu, tetapi beberepa berhasil diiming-imingi hadiah itu.

Demi menambah kekuatan tempur, terutama saat menghadapi makhluk astral, Amok berkunjung ke Mbah Bromo. Dalam kisah itu, Mbah Bromo ialah seorang tokoh yang sakti mandra guna dan ia bersemedi di gunung Kawi.

Bantuan terkumpul lengkap, Amok pun memulai pencarian pusaka Mustika Sanca. Dalam perjalanannya, Amok membawa pasukan gajah dan bermacam senjata. Kendati demikian, ekspedisi mereka tak berjalan mulus.

Saat itu, Amok dan rombonganya harus berhadapan dengan siluman ular raksasa. Beberapa orang dan Mat Patek menjadi korban dalam pertarungan sengit itu. Mbah Bromo merapal mantra tiada henti. Akhirnya, Amok menikam ular tersebut hingga tak bernyawa.

Setelah ular, dua ekor siluman harimau berusaha melawan. Namun, dengan kesaktian Mbah Bromo, kedua siluman itu takluk. Lalu, mereka memutuskan untuk merobohkan pohon beringin di atas bukit itu untuk mengambil pusaka.

Seakan mencari jarum dalam jerami, kelompok itu tidak menemukan pusaka yang dimaksud meski sudah mencerabut akar-akar. Tanpa tanda-tanda alam sebelumnya, tanah pijakan mereka bergetar hebat. Akhirnya, bukit itu ambrol dan mengubur rombongan Amok.

PENONTON: Antusiasme anak-anak kampung saat menonton pementasan di bekas gumuk.

Setelah kejadian tersebut, Desa Lokasanca berangsur-angsur mengalami kekeringan hebat. Gagal panen pun terjadi di berbagai tempat. Tak luput, hujan deras berhari-hari dan banjir bandang menghantam desa tersebut.

Tak lama setelah itu, Ki Slamet menemukan sebuah benda bersinar di atara sisa bukit yang ambrol. Ternyata, benda itu ialah pusaka Mustika Sanca yang Amok maksud. Pusaka itu berupa biji pohon beringin.

Dari wangsit yang Ki Slamet terima, ia dan warga lainnya menanam biji tersebut bersama biji pohon lainnya. Kemudian, Desa Lokasanca perlahan bangkit dari malapetaka dan kembali subur.

Pertunjukan pun usai, gerimis mulai turun dan penonton beranjak pulang. Sebagian lainnya masih mengikuti apresiasi yang digelar di pelantaran rumah Yudha sebagai penggagas Teater Paradoksal sekaligus sutradara.

Bagi Desta, bocah yang mengenyam pendidikan kelas 3 SD itu, pertunjukkan tersebut seru. Meski pementasan tersebut ialah gelaran pertama yang ia tonton. “Mau ada lagi pertunjukan seperti itu,” ungkapnya.

***

DOA: Wakik saat membacakan doa sebelum gelaran dimulai.

IKTIKAD MEMBANGUN KESADARAN LINGKUNGAN

Penggagas Teater Paradoksal sekaligus sutradara pertunjukan Natalius Yudah mengatakan, pementasan itu baginya ialah sebuah bentuk pertunjukan tetater. “Bebas orang mau membahasakan itu apa, wayang boleh. Seni rupa pun juga boleh,” jelasnya pada tadatodays.com saat ditemui di rumahnya, Kamis (26/1/2023).

Motif dari pertunjukkan teater wayang bambu itu, Yudha menjelaskan, berangkat dari kesadaran mengenai lingkungan sekitar. Apalagi, salah satu ciri khas sumber daya alam di lingkungannya ialah gumuk. Sebagai orang asli sekitar, Yudha merasakan pergesekan dengan dikeruk habis gumuk Pekel itu.

“Kemudian bukit itu habis oleh pertambangan dan orang industri. Aku juga melihat bukit itu ada mitos dan fungsi ekolongi,” ungkapnya.

Sebetulnya, Yudha ingin merekonstruksi ulang mitos yang ada di gumuk tersebut. Kendati itu, ia menciptakan penampilan tetater. “Mitos yang beredar itu, gumuk tersebut dihuni oleh harimau dan ular. Sehingga mereka menjadi suatu ingatan bagiku,” katanya.

Sebelum gelaran itu, Yudha dan anggota Teater Paradoksal lainnya mengumpulkan data lunak dan keras. “Data keras itu bisa disebut sebagai artefak kebudayaan yang ada di sekitar. Misalkan bagaimana masyarakat di sini. Untuk wilayah data lunak, bagaimana gumuk itu bukan hanya di lingkup fisiknya, tetapi juga ia hadir di rumah-rumah warga,” jelasnya.

Untuk itu, pihaknya mencoba mengeksplorasi data yang telah dikumpulkan dengan mencoba bermacam media. “Semisal wayang dari bambu itu, bambu adalah ikon dari gumuk itu sendiri. Kita coba melihat tanaman sekitar. Kita juga menggunakan tanaman yang rusak akibat pertambangan,” jelasnya.

Wayang yang diciptakan memang keluar dari konsensi umum. Yudha menjelaskan bahwa wayang di pertunjukan itu memiliki bentuk dan gramatika baru. “Bagiku, untuk anak kecil itu seru sebagai suatu hiburan. Tetapi, mereka bisa menangkap pesan dalam pertunjukan dan membawa pulang pertanyaan mengenai bukit itu kepada orang tua,” tuturnya.

Proses dalam menciptakan pertunjukan tersebut tidak memakan banyak waktu. “Yang lama itu eksplorasi gagasannya. Bukan berarti kita mengabaikan bentuk. Mungkin sekitar 2 minggu,” jelasnya.

Tidaklah mudah menyatukan gagasan yang berangkat dari latar belakang berbeda. Di situ pula, Yudha dan kawan-kawan harus memiliki formula bersama. “Banyak dari anak sastra dan ada yang dari pendidik,” katanya.

Bukan hanya kesulitas yang ditemui, Yudha juga menemukan penciptaan yang baru. “Bagaimana menggeser puppet (boneka, dalam hal ini ialah wayang, red) ke bayangan, dan itu yang menjadi keunikan dari proses ini,” jelasnya.

Baginya, pertunjukkan itu diciptakan untuk anak kecil di kampungnya. Sebab itu, pihaknya tidak menciptakan suatu pertunjukkan yang membuat dahi mengkerut. “Kita lebih cenderung mengedepankan apa itu bermain, karena anak kecil lebih suka bermain, dan kesadaran akan lingkungan bisa kita tumbuhkan lewa seni pertunjukan,” ujarnya.

Meski bagi orang dewasa, Yudha berpendapat, pertunjukan itu bisa diterima. “Semalam saat kami latihan, beberapa orang tua lewat. Mereka sadar bahwa mengkeruk habis gumuk itu salah. Aku juga tidak pernah berpikir bahwa kalimat itu muncul,” ungkap Yudha yang sedang menempuh pendidikan pasca sarjana jurusan Teater di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Kalaupun pertunjukkan itu disuguhkan bagi anak muda, terutama mahasiswa, menurut Yudha masih relevan. Sebab, ada realitas dalam pementasan itu yang jarang ditemukan di lingkup universitas. “Semua orang masuk saja sih,” katanya.

Alasan Yudha menempati bekas galian gumuk adalah karena hal itu sangat kuat di ingatan warga. “Tempat semalam sebetulnya tempat pertambangan yang kayak lapangan. Sebetulnya, fungsinya untuk memanggil kembali ingatan masyarakat akan gumuk tersebut. Karena itu, kami juga menggunakan wayang yang berbentuk bayangan itu” bebernya.

Kesadaran akan lingkungan yang dihadirkan dalam pementasan itu, bagi Yudha dan teman-temannya haruslah berangkat dari diri sendiri. Ia pun menyadari bahwa tidak sepenuhnya penonton sadar akan pesan itu. “Tapi, ketika dilakukan secara simultan akan terbangun kesadaran akan lingkungan secara organik, misalnya,” jelasnya.

Tidak hanya itu, Yudha menceritakan, sebelum pertunjukkan masyarakat ikut berkontribusi seperti menyiarkan adanya gelaran itu melalui pengeras suara mushalla. Bahkan, setengah jam sebelum pertunjukkan dimulai, pengeras suara yang digunakan mendadak tidak berfungsi. “Masyarakat menawarkan ‘pakai soundku saja’, begitu. Bahkan sebelumnya, anak kecil di sini ikut bermain wayang,” ceritanya.

Bagi Yudha, hal tersebut merupakan salah satu keberhasilan dari pertunjukannya. “Menurutku keberhasilan pertunjukan bukan dari pertunjukannya. Namun pada respon masyarakatnya,” ungkapnya.

Kendati itu, Yudha ingin pertunjukkan bernapas serupa berlanjut. Apalagi, masyarakat meminta pagelaran lainnya juga. “Kita sadar bahwa pertunjukkan itu belum maksimal. Sebabnya, kita harus menciptakan pertunjukkan lagi,” ungkapnya.

Sementara itu, penulis naskah Misteri Bukit Keramat, Ivan Nabil menjelaskan, penulisan naskah berlangsung singkat. Ia berusaha membuat mitos baru dalam naskah itu. “Salah satu tinjauan karya ini ialah film “Lord of The Ring”,” jelasnya.

Mengenai gajah di dalam cerita yang dibawakan, Ivan menjelaskan, bahwa simbol itu mengarah ke traktor yang mengeruk habis Gumuk Pekel tersebut. Sementara, hadirnya sosok ular dan harimau diambil dari mitos gumuk Pekel. “Bahkan, dulu di sini ada tulisan ‘hati-hati anda memasuki kawasan ular putih dan harimau,” ungkapnya.

Kesulitan yang Ivan hadapi dalam menuliskan naskah itu ialah bentuk naskah teater yang diadaptasi dalam panggung menjadi bayangan wayang. “Naskah ini dijadikan shadow puppet dan menjadi visual dalam layar. Selain itu, bagaimana naskah ini seakan seperti sandiwara di radio,” ungkap Ivan yang sedang menempuh kuliah sarjana di jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Unej.

Selain baru pertama menggarap jenis naskah tersebut, bagi Ivan yang terbiasa menulis naskah teater dengan transisi panggung, properti dan latar yang jelas, hal itu cukup menjadi tantangan tersendiri. “Ketika dihadapkan dengan naskah shadow puppet ini, saya harus mengimajinasikan gambaran di layar. Yang sulit itu saat menggambarkan pertarungan di adegan,” jelasnya.

***

APRESIASI: Wakik saat mengikuti sesi apresiasi usai pentas.

GUMUK PEKEL DAN INGATAN MASYARAKAT

“Engkok gun tao ka caretana mon edinnak nyamana gumuk Pekel polana mon lambek pak camat e celok pak Pekel. E gumuk ria bede astanah pak Pekel selain Mbah Bisan,” jelas Wakik dalam bahasa Madura, sesepuh di wilayah sekitar saat ditemui tadatodays.com, Kamis (26/1/2023).

Arti dari penjelasan Wakik kurang lebih bermakna “Saya hanya paham cerita bahwa nama gumuk itu adalah Pekel. Sebab, dahulu orang menyebut camat sebagai pekel dan di atas gumuk itu terdapat  makam pak camat, selain Mbah Bisan,”.

Terkait Mbah Bisan, Wakik menjelaskan, bahwa sosok itu dipercaya sebagai pembabat alas di daerahnya. “Kalau dari cerita kakek saya begitu. Itupun, kakek saya mendengar cerita dari sesepuhnya dulu,” katanaya.

Dalam kegiatan di kampung itu, Wakik menjelaskan, nama Mbah Bisa dan Nenek Bisa selalu disebut dalam doa. “Yang disebut pertama dalam doa itu Mbah Bisa dan Nenek Bisa kalau orang Sumberberingin,” jelasnya.

Mengenai adanya sosok siluman ular dan harimau di Gumuk Pekel, Wakik mempercayai, hal tersebut ada di hutan lainnya. “Hanya saja, di sini adalah alas atau hutan,” ungkapnya.

Habisnya gumuk, Wakik merasa bahwa dirinya senang dan susah. “Kalau senangnya itu bisa melihat banyak rumah. Kalau bicara susah, makam Mbah Bisa itu bagaikan sumber hidup bagi masyarakat sekitar,” tuturnya sedih.

Selain itu, ia merasa bahwa angin semakin tak bisa dibendung. “Sekarang angin itu sering menghantam rumah warga. Ketika ada gumuk itu, angin tidak sekeras sekarang,” ungkapnya.

Saat gumuk itu ada, Wakik mengisahkan, terdapat seorang warga yang bertirakat di atas sebab memiliki masalah. “Setelah berapa hari, dia tidak sadar dan dibawa ke bawah oleh masyarakat. Setelah itu, masalahnya selesai. Tapi itu kan hak dia,” katanya.

Dahulu kala, Wakik menceritakan, ada seorang wanita etnis Tionghoa yang sering mengunjungi makam Mbah Bisa untuk meminta jodoh. “Setelah mendapat jodoh, orang itu membangun tangga menuju makam. Selain itu, dia juga memberikan banyak barang dan pangan ke warga sekirar,” kisah Wakik yang sudah berumur 68 tahun itu.

Usai menonton pementasan itu, Wakik mengungkapkan, dirinya merasa mengingat kembali cerita gumuk itu. “Kan termasuk mengingatkan kepada sejarah itu. Meskipun judulnya Gumuk Keramat, orang pasti merasa bahwa itu gumuk Pekel,” ungkapnya.

Sebelum pementasan itu, Wakik menjelaskan bahwa masyarakat sudah sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Terlebih, adanya pementasan tersebut membuat warga semakin menyadari lingkungan sekitar. “Yang tidak sadar itu yang punya gumuk itu,” jelasnya.

***

GUMUK DI JEMBER TERUS BERKURANG

Data mengenai gumuk dari naskah Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Jember 2021-2026 menunjukkan, gumuk dibagi menjadi tiga kategori. Pembagian kategori itu didasarkan kandungan batuan, yaitu gumuk batu, batu piring dan pasir.

Keberadaan gumuk sejatinya tidak pernah sia-sia bagi kehidupan. Selain berfungsi sebagai pemecah angin, gumuk merupakan penghasil oksigen.

Di Jember, terdapat 1.955 gumuk. Sejumlah 1.670 gumuk sudah terinventarisir dan 285 sisanya belum. Terhitung sejak 2021, jumlah gumuk mengalami penurunan 11 persen.  Eksploitasi itu terjadi terutama di wilayah Kecamatan Sumbersari di mana Gumuk Pekel dikeruk rata. (iaf/why)


Share to