Diabaikannya HAM dalam Konflik Agraria di Pakel

Tadatodays
Tadatodays

Sunday, 16 Jul 2023 15:17 WIB

Diabaikannya HAM dalam Konflik Agraria di Pakel

KONFLIK agraria di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi memasuki babak di mana kriminalisasi semakin intensif. Jika merujuk kronologi perjuangan Rukun Tani Sumberejo Pakel dari 2020 hingga 2023, total terdapat 14 warga yang dikriminalisasi. Ada11 di antara hanya sampai pada fase pemanggilan. Sedangkan 3 lainnya kini tengah menghadapi sidang pidana atas tuduhan menyebarkan berita bohong.

Tingginya angka kriminalisasi selalu sejalan dengan tidak kunjung selesainya konflik agraria, seperti yang diungkapkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria. Dalam laporan akhir tahun 2022 menyebutkan jika terdapat sekitar 497 orang yang telah menjadi korban. Pakel menjadi salah satu tapak yang mengalami situasi serupa.

Tidak kunjung diselesaikannya persoalan konflik agraria di Banyuwangi meninggalkan jejak kelam penyelesaian konflik agraria. Sebagai contoh petani Kampung Bongkoran, Wongsorejo yang hingga kini masih berjuang mendapatkan hak atas tanahnya.

Meski HGU PT. Wongsorejo telah habis, tetapi warga hingga saat ini tak kunjung diprioritaskan menjadi lokasi objek reforma agraria. Meski puluhan tahun warga melalui Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) telah berkali-kali aksi, kirim surat, bahkan audiensi hingga kini tidak ada titik terang.

Senasib dengan petani Bongkoran, warga Pakel yang tergabung dalam Rukun Rani Sumberejo Pakel (RTSP) juga mengalami nasib serupa. Meski telah melakukan langkah yang cukup progresif seperti berkali-kali ke Jakarta untuk mendesak penyelesaian konflik, dari audiensi dengan Kementerian ATR/BPN, Kantor Staf Presiden hingga Komnas HAM, terhitung sejak 2021, 2022 hingga 2023 kemarin, belum ada tanda-tanda konflik agraria akan diselesaikan.

Sementara itu, semakin lama konflik agraria dibiarkan, maka akan semakin banyak hak-hak warga yang terampas, mengalami gangguan dari pihak yang tidak ingin warga mendapatkan hak atas tanah, seperti pemegang izin HGU. Dalam konteks Pakel, pemegang HGU yang mengklaim punya konsesi hingga Pakel selalu menganggu upaya warga dalam memperoleh hak atas tanah. Paling parah dari pembiaran ini adalah munculnya intimidasi, kekerasan sampai puncaknya adalah kriminalisasi, seperti yang dialami oleh tiga warga Pakel hari ini.

PENGABAIAN HAM AKAR KRIMINALISASI

Kriminalisasi yang dialami oleh warga Pakel adalah bentuk dari perampasan hak asasi manusia. Sebab akar dari persoalan ini adalah Negera melalui ATR/BPN Banyuwangi memberikan izin HGU yang mencaplok wilayah Pakel, di saat banyak warga adalah tunakisma atau mereka yang tidak bertanah. Memberikan izin di tengah situasi ketimpangan adalah bentuk pelanggaran hak atas hidup.

Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 28 UUD NRI pada poin I, G dan H, di mana secara umum dapat dijelaskan bahwa setiap orang berhak hidup tanpa gangguan, berhak melanjutkan hidup. Jika setiap hari warga berkonflik karena tidak punya sumber penghidupan, adapun itu diklaim oleh perusahaan melalui HGU, apakah itu yang dinamakan setiap orang berhak hidup tanpa gangguan dan berkelanjutan?

Bahkan secara kesepakatan internasional hak hidup orang diakui dalam kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang diratifikasi menjadi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005, kemudian dipertegas dalam enam Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Di mana setiap orang dijamin hak hidupnya, dijamin hak bersuaranya, dijamin hak keterlibatannya dalam pemerintahan. Tetapi itu semua hanya di atas kertas, tanpa pernah diimplementasikan.

Buktinya, warga Pakel sampai saat ini terus diganggu hak-haknya. Meski kasus sudah dilaporkan ke Kementerian ATR/BPN tetapi sampai hari ini tidak ada respons lanjutan, bagaimana mekanisme penyelesaiannya. Apalagi yang mengeluarkan HGU di tengah ketimpangan penguasaan lahan di Pakel adalah mereka. Ditambah suara warga mulai dikikis pelan-pelan melalui kriminalisasi, yang paling parah adalah tuduhan menyebarkan berita bohong sehingga menimbulkan keonaran.

Pihak berwajib pun belum mengerti apa itu konflik agraria dan bagaimana bertindak serta menyikapinya. Ini terlihat dari Kepolisian, Kejaksaan dan Intitusi Kehakiman yang melihatnya hanya dalam satu kacamata, tanpa melihat akar muasal penyebab mengapa ada laporan tersebut. Bahkan pasal yang dipakai adalah konteksnya digunakan dalam situasi berkaitan keamanan negara.

Sementara, warga Pakel hingga saat ini tidak pernah mengancam negara. Yang ada mereka menunggu negara berbelaskasihan menjalankan reforma agraria melalui redistribusi lahan yang adil. Sehingga tuduhan tersebut menimbulkan pertanyaan besar, mengancam kedaulatan negara atau perkebunan?

MENJAMIN DAN MENEGAKKAN HAM DI PAKEL

Ketidakmampuan inilah yang menyebabkan kriminalisasi semakin sering intensinya. Bahkan turut melanggengkan ketimpangan penguasaan lahan dengan berlarutnya konflik agraria. Di mana semakin panjang konflik maka akan semakin sering pula perampasan hak yang dialami oleh warga.

Sehingga perampasan hak asasi ini dimulai dari pengabaian hak-hak warga, sampai tidak adanya keberpihakan pada mereka yang jelas-jelas adalah orang yang menurut subjek Undang-undang Dasar yang diperinci melalu Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 adalah warga tak bertanah yang wajib diberikan tanah sebagai upaya mendorong keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Konflik Agraria di Desa Pakel merupakan korban perampasan hak asasi manusia ketimpangan penguasaan lahan yang tak kunjung diselesaikan, menjadi sebuah konflik dan selalu diabaikan oleh Negara melalui pemerintah pusat dalam hal ini lembaga negara seperti Kementerian ATR/BPN. Bahkan diperparah melalui keterlibatan insitusi seperti Kepolisian, bahkan Kejaksaan dan Institusi Kehakiman yang dalam konflik agraria ini selalu berada dipihak yang seakan-akan berhadapan dengan warga dengan mengabaikan konteks dan persoalan yang terjadi.

Maka dari itu, jika ingin konflik agraria tidak semakin panjang dan perampasan hak asasi manusia tidak semakin tinggi angkanya, maka negara di sini wajib melaksanakan dan menjalankan apa itu hak asasi manusia. Sebagaimana yang telah termaktub dalam Undang-undang Dasar RI Tahun 1945 beserta aturan turunannya.

Salah satunya adalah menyelesaikan konflik agraria, menjamin dan melindung hak warga, serta memberikan rasa aman pada mereka yang bersuara untuk hak-haknya. Semua aspek ini harus dijalankan pada semua aspek, bahkan sampai pada level subtil, seperti pada penegakkan hukum dan saat peradilan. (*)


Share to