Dokter Gigi Spesialis Memberikan Pelayanan Kesehatan Sesuai Kompetensi tanpa SIP?

Tadatodays
Tadatodays

Wednesday, 22 May 2024 12:24 WIB

Dokter Gigi Spesialis Memberikan Pelayanan Kesehatan Sesuai Kompetensi tanpa SIP?

SAAT ini di berbagai negara, paradigma dalam mempunyai kesehatan gigi dan mulut yang baik telah menjadi hal yang sangat penting, bahkan dapat setara dengan kesehatan umum seseorang. Oleh karenanya, mulai banyak dokter gigi yang membangun klinik gigi di berbagai kota di Indonesia dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan gigi yang lebih maksimal.

Di sisi lain seringkali masyarakat yang mempunyai keluhan gigi yang sakit, akan secara langsung mengunjungi klinik gigi yang mereka percayai atau dapat juga secara acak datang ke klinik gigi di sekitarnya. Ketika mereka datang ke klinik gigi tersebut, banyak dari mereka yang tidak memahami bahwa dokter gigi mempunyai banyak sekali cabang di bidangnya.

Contohnya saja yang akan secara khusus saya bahas di tulisan ini adalah cabang Bedah Mulut dan Maksilofasial. Para dokter gigi spesialis ini berfokus pada tindakan bedah dan operasi gigi, misalnya pada kasus gigi bungsu yang miring. Kebanyakan pasien yang datang dengan keadaan sakit gigi yang disebabkan oleh gigi yang tumbuh ini tidak mengetahui bahwa sebaiknya mereka dirawat oleh dokter gigi Sp.BM.

Meski beberapa kasus memang dapat dikerjakan oleh dokter gigi umum, namun jika ternyata kasus yang dimilikinya seharusnya dikerjakan oleh dokter gigi spesialis maka, saat hal ini terjadi, tentu dokter gigi yang menerima kedatangan pasien tersebut akan berusaha memberikan perawatan darurat sesuai kompetensinya. Kemudian mereka akan merujuk sesuai cabang spesialis yang tepat untuk menyelesaikan perawatan selanjutnya.

Sayangnya seringkali para pasien yang datang ke klinik gigi yang mereka percayai atau sudah berlangganan ini, menginginkan dokter gigi tersebut yang merawat atau setidaknya jika yang mereka datangi adalah sebuah klinik. Mereka berharap bahwa ada dokter gigi didalam klinik tersebut yang dapat merawatnya karena mereka sudah mempercayai dan merasa nyaman dengan klinik tersebut.

Nah, yang menjadi permasalahannya adalah dalam pembentukan suatu klinik gigi utama tidak ada persyaratan khusus yang mengatur bahwa dalam suatu klinik gigi tersebut diharuskan mempunyai dokter gigi spesialis pada semua cabang. Pembentukan klinik gigi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 menyatakan bahwa Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan dan menyediakan pelayanan medis dasar dan atau pelayanan medis spesialis yang diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis.

Kemudian pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 terdapat dua macam bentuk klinik, yaitu klinik pratama yang memberikan pelayanan medik dasar yang dilayani oleh dokter atau dokter gigi umum, dan klinik gigi utama yang memberikan pelayanan medik spesialistik atau medik dasar dan spesialistik serta mempunyai Surat Izin Praktik Dokter Gigi minimal 2 (dua) orang.

Berdasarkan peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah klinik gigi spesialis dapat terbentuk hanya dengan minimal 2 dokter gigi spesialis tanpa ada persyaratan jenis cabang spesialisasinya yang berarti diperbolehkan cabang apapun dengan minimal 2 orang.

Maka, kembali ke permasalahan ketika seorang pasien yang datang ke klinik gigi dengan keluhan gigi tumbuh dan ternyata klinik gigi yang mereka datangi hanya mempunyai cabang spesialisasi yang lain, hal ini membuat dilema para dokter gigi dalam menanggapi keinginan pasien tersebut. Sering kali pada akirnya klinik gigi/ dokter gigi tersebut meminta bantuan kepada teman sejawatnya yang mempunyai kompetensi di bidang yang tepat untuk datang dan merawat pasien tersebut (dengan persetujuan pasien juga).

Tentu nantinya jika dokter gigi tersebut akhirnya memberikan perawatan, dokter gigi spesialis tersebut tidak mempunyai Surat Ijin Praktek (SIP) di tempat dimana mereka memberikan pelayanan kesehatan namun pastinya mereka sudah berkompetensi dibidang itu yang ditandai dengan adanya sertifikat kompetensi. Hanya saja, karena keterbatasan pembuatan jumlah SIP yang mana hanya boleh di tiga tempat maka mereka tidak dapat membuat SIP disemua tempat. Apalagi jumlah dokter gigi dengan Spesialisasi Bedah Mulut ini tidak sebanyak dokter gigi umum maupun cabang spesialis lainnya,

Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Persatuan Ahli Bedah Mulut dan Maksilofasial (PABMI) yang menyatakan saat ini Indonesia masih kekurangan dokter gigi spesialis bedah mulut dan maksilofasial (Sp.BM) yang hanya berjumlah 417 orang dari jumlah kebutuhan minimalnya sekitar 1000 orang.

Jumlah ideal dokter gigi Sp.BM sulit terpenuhi karena jumlah perguruan tinggi yang memiliki pendidikan spesialis bedah mulut dan maksilofasial di Indonesia hanya ada di empat perguruan tinggi yakni Fakultas kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya. Juga dalam seleksi penerimaanya, cabang ini mempunyai kuota yang paling sedikit dibanding cabang spesialis lainnya.

Hal ini menjadi konflik etik diantara para dokter gigi dan dokter gigi dengan pasien, keputusan mana yang paling benar untuk diambil? Tetap merujuk pasien ke klinik gigi lain yang bisa jadi lokasi dan sebagainya dirasa tidak cocok dengan pasien namun apa jadinya jika kita memaksakan hal tersebut dan membuat pasien tidak nyaman? Bukankah hak pasien untuk memilih juga penting dipertimbangkan? 

Namun jika dokter gigi tersebut memutuskan meminta bantuan teman sejawat di luar klinik tersebut dan melakukan perawatan, maka dokter gigi Sp.Bm tersebut akan melanggar ketentuan, dimana dalam melakukan tindakan pelayanan kesehatan para tenaga medis wajib mempunyai SIP. Ini juga dapat menjadi permasalahan antara dokter gigi yang bisa jadi beranggapan bahwa dokter gigi yang merujuk maupun yang dirujuk “serakah” dengan tetap memberikan pelayanan.

Tapi bagaimana dengan hak pasien untuk memilih apakah akan kita abaikan? Sedangkan pada kenyataannya apa yang dilakukan oleh dokter gigi spesialis itu dengan tujuan yang mulia memberikan pelayanan kesehatan serta sudah sesuai dengan kompetensinya, hanya terhambat masalah SIP? Jika memang cabang dokter gigi spesialis lainnya mempunyai jumlah yang banyak maka pembagian lokasi dirasa adil. Namun jika cabang spesialis tersebut hanya mempunyai jumlah dokter gigi yang sedikit? Bagaimana tolak ukur yang benar dalam pengaturan pembagian wilayah praktek dokter gigi agar adil?

Permasalahannya, saat ini, dokter gigi spesialis bedah mulut yang ada sekarang ini juga berjumlah sedikit, apa dengan menambah kuota seleksi penerimaan cabang spesialis ini adalah pilihan yang tepat? Siapa yang akan menjamin bahwa akan banyak yang mendaftar mengingat cabang ini mempunyai jangka waktu studi terlama dan terberat. Atau, apakah dengan tidak membatasi pembuatan SIP akan menyelesaikan permasalahan ini? Namun juga bisa terjadi pembagian tempat praktek menjadi tidak merata dan dapat terjadi konflik diantara dokter gigi.

Bukankah dengan menambah syarat dalam peraturan dimana pembentukan Klinik Gigi Utama diwajibkan mempunyai semua cabang spesialis akan menyelesaikan semua permasalahan ini? Dimana pendirian klinikpun menjadi tidak mudah. Namun ketika sebuah klinik terbentuk, maka klinik tersebut akan menjadi fasilitas kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Dengan tidak mudahnya pendirian sebuah klinik, maka di dalam suatu wilayah tidak terjadi persaingan yang tidak sehat, karena dengan mudahnya pendirian sebuah klinik, banyak berdiri klinik-klinik yang dirasa “asal jadi” saja. (*)

*) Penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya dan Dokter gigi umum yang berpraktik di klinik gigi dan rumah sakit swasta di Surabaya


Share to