Gludhuk Keng Tak Ojhen: Daul Kreatif dan Multitalent

Tadatodays
Tadatodays

Thursday, 14 Oct 2021 09:26 WIB

Gludhuk Keng Tak Ojhen: Daul Kreatif dan Multitalent

MULTITALENT: Kelompok musik daul Gludhuk Keng Tak Ojhen. Kumpulan anak-anak yang memiliki banyak kemampuan.

KELOMPOK Gludhuk Keng Tak Ojhen percussion berisi orang-orang kreatif dan multitalenta. Selain bisa bermain musik daul, anak-anak muda dalam kelompok bernama unik ini juga paham kelistrikan, komputer hingga fotografi dan videografi. Mereka dengan kreatif membuat desain kereta, notasi musik dan mendokumentasi semua penampilannya sendiri.  Bahkan ketika ada kerusakan pada peralatannya, mereka mampu membenahi semuanya sendiri.

Gludhuk Keng Tak Ojhen percussion bermarkas di Jalan Sunan Bonang, Kelurahan/Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo. Kelompok ini diketuai oleh pemuda 27 tahun bernama Muhammad Choirul Akbar. Mereka dibina oleh Sujaidi (53) yang merupakan ayah Muhammad Choirul Akbar.   

Saat dikunjungi di markasnya pada Kamis (30/09/21) malam, Choirul didampingi Sujaidi menjelaskan, kelompok Gludhuk Keng Tak Ojhen terbentuk sejak September 2019. Kelompok ini cikal bakalnya adalah kelompok patrol satu RT saat bulan Ramadan.  “Awalnya ya patrol buat sahur pas Ramadan. Terus ada pawai se-RW waktu Agustusan. Lalu kepikiran mau buat musik daul yang bagus gitu. Akhirnya terbentuk kelompok ini September 2019,” jelas Choirul.

Nama Gludhuk Keng Tak Ojhen terdengar sangat unik. Terlebih bagi teling mereka yang tidak mengerti bahasa Madura.  Lalu apa sebenarnya artinya bagi kelompok ini? Bila diartikan secara harafiah, Gludhuk Keng Tak Ojhen berarti geluduk atau guruh tetapi tidak hujan.

Adapun makna filosofinya bagi kelompok ini adalah harapan yang harus dicapai. Sebab, kelompok ini berawal dari sekedar omongan yang belum tentu jadi. “Gludhuk kan kayak omongan-omongan saja yang belum tentu jadi. Awalnya juga omongan itu saja, nggak nyangka bakal jadi begini,” timpal Sujaidi.

Kelompok musik ini beranggotakan remaja dan pemuda di RT 5. Mereka berusia dari 9 tahun hingga 35 tahun, dari pelajar SD sampai pekerja. Awal mula terbentuk, mereka masih hanya beranggotakan 15 orang. Tetapi sekarang sudah berjumlah 30 orang.

Salah satu pemusik muda yaitu Agesta (14), mengaku bahwa awal mula ikut kelompok ini karena melihat latihannya di dekat rumahnya. Dia jadi suka dan akhirnya bergabung dalam kelompok. “Seneng lihat, terus ikutan. Diajari sama mas Ridho. Pernah ikut tanggapan, dapat uang. Seneng,” katanya saat diwawancarai di sela latihan malam itu.

REGENERASI: Agar regenerasi terjaga, yang senior mengajari juniornya.Para personel Gludhuk Keng Tak Ojhen bisa saling bergantian alat musik, kecuali saron dan demung. Saron dan demung sudah ada pemain sendiri, dan yang tidak ada cadangannya karena cukup sulit untuk menguasainya. “Yang nggak bisa gantian itu saron sama demung. Jadi kalau yang megang saron sama demung lagi nggak enak badan, ya saya bingung. Repot wis,” ucap Sujaidi lalu terkekeh.

Musik daul memiliki ciri khas yaitu bermain alat musik di atas kereta. Begitupun kelompok Gludhuk Keng Tak Ojhen.  Mereka mempunyai kereta dengan ikon kepala burung garuda. Dipilihnya kepala burung garuda ini karena memiliki makna, sebagai hewan yang bisa terbang tinggi, bisa mencari informasi terlebih dahulu dengan cepat.  

Menurut Choirul, kepala burung garuda ini jika dilihat dari berbagai sisi terlihat berbeda. ”Kalau dilihat dari sisi yang berbeda itu terlihat berbeda juga. Kalau dilihat dari depan, kelihatan sangar. Kalau dilihat dari samping kelihatan kalem,” terangnya.

Lalu untuk keretanya, Gludhuk Keng Tak Ojhen merakit sendiri. Mulai dari desain, mengecat dan memberi lampu. Waktu pengerjaan untuk kereta ini sampai 6 bulan lamanya. Meskipun lama, tetapi setara dengan hasilnya.

Gludhuk Keng Tak Ojhen juga sudah mengaransemen lagu versi mereka sendiri. Sampai saat ini sudah ada 8 lagu sendiri dan ada 1 lagu yang masih proses. Salah satunya adalah “Sluku-Sluku Bathok”. Proses mengaransemen lagu sudah dilakukan menggunakan komputer. Kolaborasi komputer dan notasi yang dilakukan oleh Choirul dan adiknya, yaitu Ahmad Fadilah (22). “Kami pakai komputer aransemennya. Jadi saya kasih tahu aplikasinya, terus adik saya yang merangkai notasinya,” ujar Choirul.

Latihan rutin kelompok Gludhuk Keng Tak Ojhen dilakukan seminggu dua kali, yaitu Rabu dan Sabtu. Meskipun setiap latihan dilakukan pada malam hari, tetapi tidak membuat warga sekitar protes. Mereka malah mendapat dukungan dari masyarakat sekitar. Hal itu terlihat dari antusiasme masyarakat yang berkumpul untuk menonton dan bergantian memberikan kudapan untuk para pemusik. Bocah-bocah yang menyaksikan latihan Gludhuk Keng Tak Ojhen bahkan tidak ragu ikut bergoyang sesuka hati.  

Selain itu, para orang tua di daerah tersebut mendukung anak-anak mereka untuk mengikuti kegiatan Gludhuk Keng Tak Ojhen. Karena itu, ketua dan pembina Gludhuk Keng Tak Ojhen berusaha menjaga kepercayaan dari para orang tua.  

Bahkan agar orang tua bisa memantau kegiatan anak-anaknya, di area latihan gludhuk keng tak ojhen sampai dipasangi kamera CCTV.  “Kalau sudah didukung itu kan berarti diberi kepercayaan. Jadi kami harus benar-benar menjaminnya. Kami juga ada CCTV di sini. Jadi kalau ada orang tua yang mau memantau anaknya, bisa lihat di CCTV,” kata Choirul.

SEMANGAT: Anak-anak Gludhuk Keng Tak Ojhen yang selalu bersemangat, berfoto bareng penulis dan tim.

Tentang ciri khas, kelompok Gludhuk Keng Tak Ojhen berusaha mereferensi musik lain menjadi style mereka sendiri.  Style yang dimaksud adalah ada beat dan slow notasi dalam satu lagu. Meskipun menurut mereka, karakter Probolinggo belum masuk dalam kelompoknya, namun mereka masih dalam pengembangan agar lebih berkarakter Probolinggoan. Hal ini tidak luput dari support Lurah Kanigaran yang telah memberi udeng untuk mereka saat tampil.  

Sejak terbentuk pada 2019, kelompok Gludhuk Keng Tak Ojhen sudah cukup sering diundang tampil dalam berbagai acara di lingkungan pemerintahan di Kota Probolinggo. Sedangkan untuk tanggapan, biasanya mereka diundang tampil di acara khitanan, pernikahan, santunan, dan acara syukuran lainnya.  

Kelompok Gludhuk Keng Tak Ojhen pernah mengikuti lomba patrol di Kota Probolinggo dalam rangka Hari Santri Nasional tahun 2020. Dalam lomba tersebut, Gludhuk Keng Tak Ojhen keluar sebagai Juara 3. 

Soal tarif tampil Gludhuk Keng Tak Ojhen, Choirul menyebut nominalnya variatif. Mulai Rp 2 juta sampai Rp 7 juta. Yang membedakan ialah kereta dan jasa dokumentasi. “Kalau menggunakan kereta dan jasa dokumentasi jadi Rp 7 juta,” ujar Choirul.  

Agar musik daul di Kota Probolinggo semakin maju dan berkembang, Gludhuk Keng Tak Ojhen berharap pemerintah memberi ruang untuk musisi atau pemusik tradisional. Dengan begitu, Kota Probolinggo kelak bisa memiliki musik tradisional yang khas Probolinggo, bukan Madura dan Jawa. “Dan disukai anak muda,” kata Choirul di akhir percakapan malam itu.  (yua/why)


Share to