Gol Tangan Tuhan

Imam Wahyudi
Imam Wahyudi

Tuesday, 07 Nov 2023 07:58 WIB

Gol Tangan Tuhan

SETELAH melewati dua pemain belakang Inggris, Maradona mengoper bola kepada Jorge Valdano. Bola berusaha dikontrol Valdano sambil memutar badan. Sebelum kembali dikuasai Valdano, bola liar itu diantisipasi gelandang Inggris Steve Hodge dengan tujuan dibuang.

Namun, antisipasi Steve Hodge jadi blunder. Bola bukannya menjauh, tetapi malah melambung ke mulut gawangnya sendiri yang dijaga kiper Peter Shilton. Kiper Shilton berhadap-hadapan dan berduel udara dengan Maradona yang ternyata langsung merangsek ke kotak penalti setelah mengoper bola kepada Valdano.

Dalam duel udara itu, Maradona terlihat lebih dulu berhasil menyundul bola. Gol! Namun, sebenarnya gol itu bukan semata lahir dari sundulan kepala Maradona. Tangannya ikut berperan, mendorong bola dengan tinjunya.

Beberapa pemain belakang Inggris protes. Tetapi hakim garis Dotchev tidak mengangkat bendera tanda terjadi handball atau cacat lain dalam proses gol itu. Wasit Ali Bin Nasser asal Tunisia pun mengesahkan gol Maradona. Skor jadi 1-0 untuk keunggulan sementara Argentina.

Pertandingan itu tersaji pada 22 Juni dalam perhelatan Piala Dunia 1986 di Stadion Azteca, Mexico City. Argentina melawan Inggris di babak perempat final. Pertandingan ini bertensi tinggi, lantaran empat tahun sebelumnya, Argentina dan Inggris terlibat Perang Malvinas, memperebutkan Kepulauan Falkland.

Di hadapan 111.580 penonton yang memadati stadion, Maradona membawa Argentina unggul lebih dulu lewat “gol mencurigakan” yang dia cetak pada menit 51. Tetapi pada menit 55 Maradona berhasil menciptakan gol kedua untuk Argentina, dengan proses tanpa cacat.

Sampai akhir pertandingan, Inggris hanya mampu membalas satu gol. Gol semata wayang Inggris dicetak Gary Lineker pada menit 81. Inggris kalah.

Gol pertama Maradona dalam pertandingan itu terus diperbincangkan sampai usai laga, bahkan menjadi rekaman sejarah penting dalam “peradaban” sepakbola dunia. Rekaman video dan dokumen foto menunjukkan ada peran tangan Maradona.

Tentang gol yang mencurigakan itu, Maradona pun mengakui dengan pernyataannya yang sangat terkenal sampai sekarang. “Sedikit dengan kepala saya dan sedikit tangan Tuhan," kata Maradona. Sejak itu dikenal “gol tangan Tuhan” ala Maradona.

Setelah menyingkirkan Inggris, di babak semifinal Argentina melumat Belgia dengan skor 2-0. Berikutnya, Argentina secara dramatis menumbangkan Jerman Barat dengan skor 3-2 di final. Argentina menjadi kampiun Piala Dunia 1986 Mexico.

Gol tangan Tuhan ala Maradona boleh dikata “cacat etis dan proses” dalam dunia sepak bola. Maradona menggunakan tangan untuk mengkreasi gol. Itu jelas dilarang.

Tetapi di panggung sepak bola dunia, gol cacat etis bukan hanya gol tangan Tuhan ala Maradona. Setelahnya, ada banyak lagi gol cacat etis lainnya yang terjadi.

Pada 2009, Prancis berhadapan kontra Irlandia untuk memperebutkan tiket Piala Dunia 2010. Prancis menyingkirkan Irlandia. Prancis menang dengan skor 2-1, berkat gol penentu yang dicetak William Gallas.

Tetapi, gol Gallas lahir berkat assist dari Thierry Henry yang menghentikan laju bola menggunakan tangannya di kotak penalti. Handball Henry tidak terlihat wasit. Gol disahkan, meski kiper dan para pemain Irlandia lainnya ramai memrotes keputusan wasit.

Liga Inggris puncak musim 2009-2010, the blues Chelsea dijamu Manchester United (MU) di Old Trafford. Poin yang dikumpulkan MU atas Chelsea cuma selisih 1 poin. Laga itu menjadi penentu siapa juara Liga Inggris musim tersebut. 

Sampai menit 75, Chelsea sudah unggul 1 gol. Lalu Drogba membobol gawang MU yang dijaga Van Der Sar. Didier Drogba mencetak gol itu dalam posisi offside saat menerima umpan terobosan dari Salomon Kalou. Namun, gol Drogba tetap disahkan wasit, dan Chelsea keluar sebagai juara musim itu.

Di arena Bundesliga musim 2013, Bayer Leverkusen berlaga melawan Hoffenheim. Dalam posisi unggul 1 gol, Bayer Leverkusen mendapat hadiah corner kick. Bola lambung yang dikirim Gonzalo Castro dari pojok, disambut sundulan Stefan Kiessling. Gol!!!

Tapi ada yang aneh. Bola sundulan Kiessling sebenarnya masuk gawang melalui jaring samping yang ternyata bolong. Kiessling pun tahu sundulannya sebenarnya tidak masuk gawang. Karena itu, Kiessling mengekspresikan kekecewaan dengan memegang kepalanya. Tetapi gol itu tetap disahkan wasit.

*

Dahulu, dalam sepak bola internasional, keputusan wasit bersifat final, mengikat, dan tidak bisa diganggu gugat. Rekaman-rekaman video yang sudah ada masa itu sebenarnya sudah bisa membuktikan jika terjadi cacat etis dan proses terciptanya gol. Namun, itu belum menjadi faktor pertimbangan sah bagi wasit untuk mengambil keputusan yang adil.

Wasit sepak bola memegang kuasa tertinggi untuk mengambil keputusan di atas lapangan. Apapun keputusannya, salah atau benar, harus diterima. Wasit seolah menjadi pengadil yang diharapkan tidak membuat keputusan salah. Padahal, ada banyak faktor keterbatasan yang membuat wasit bisa membuat keputusan salah. Sejarah sudah membuktikannya.

Dunia sepak bola bukan tidak mengenal perubahan. Babakan perubahan paling vital ialah penerapan VAR (Video Assistant Referee). VAR dipakai untuk meningkatkan pengawasan wasit dalam mengambil keputusan yang adil. VAR lahir sebagai solusi untuk menghindari kesalahan keputusan yang diambil wasit.

Namun, penerapan VAR memang tidak langsung jalan mulus. Teknologi VAR baru mulai diuji coba di Liga Belanda Eradivise di musim 2012-2013. Namun, Sepp Blatter, Presiden FIFA saat itu tidak terlalu welcome dengan penerapan VAR.

Sepp Blatter kemudian dicopot dari jabatan, karena skandal korupsi. Tahta Presiden FIFA digantikan Gianni Infantiono. Berbeda dengan Blatter, Gianni Infantino sepaham dengan tujuan penerapan VAR. Karena itu, teknologi VAR kemudian mulai diuji coba dalam laga persahabatan internasional pada Juni 2016 yang mempertemukan Prancis kontra Italia.

Berikutnya, dalam putaran Piala Konfederasi 2017, teknologi VAR untuk kali pertama diterapkan.  Penggunaan VAR pada laga persahabatan dan Piala Konfederasi terbukti efektif. Akhirnya FIFA memberlakukan penerapan teknologi VAR untuk pertama kali dalam gelaran Piala Dunia 2018.

Penerapan teknologi VAR memang sempat menuai banyak kritik. Sebab, VAR dinilai mengintervensi hasil pertandingan. Namun sebaliknya, lebih banyak juga yang setuju, VAR terbukti membantu wasit melihat terjadinya pelanggaran-pelanggaran dalam pertandingan, lalu mengambil keputusan adil.

Akhirnya, penerapan VAR efektif mengantisipasi disahkannya gol yang dicetak melalui “cacat etis”.

Teknologi VAR, kini tidak hanya diterapkan di cabang olahraga sepak bola. Pertandingan bulutangkis dan bola voli internasional misalnya, juga sudah menerapkan teknologi VAR. 

*

Hari itu, Rabu 25 Oktober 2023, Gibran Rakabuming Raka resmi mendaftarkan diri sebagai bakal calon wakil presiden. Putra sulung Presiden Jokowi itu menjadi pasangan bakal calon presiden Prabowo Subianto. Pasangan Prabowo - Gibran bakal bersaing dengan pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar, dan Ganjar Pranowo – Mahfud MD dalam Pilpres 2024.

Namun, pencalonan Gibran dibuntuti kegaduhan. Muaranya terletak pada batas usia Gibran sebagai bakal calon wakil presiden.

Batasan usia capres dan cawapres diatur dalam Pasal 169 huruf q UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bunyinya “(Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah) berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun."

Pasal itu kemudian digugat oleh sejumlah pihak di Mahkamah Konstitusi (MK) agar diuji. Salah satunya diregister sebagai perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Lalu pada Senin (16/10/2023), MK membacakan amar putusan pada perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Jokowi, menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.

Amar putusan MK menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu menjadi: "Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Amar putusan MK atas perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu menjadi pijakan Gibran maju sebagai bacawapres, mendampingi bacapres Prabowo. Namun, amar putusan itu pula yang memicu kegaduhan konstitusi. Keputusan MK tersebut dicurigai terkontaminasi sebuah grand design politik dinasti, dengan proses pengambilan keputusan yang dicurigai cacat etik pula.

Kegaduhan di level tertinggi pilar yudikatif berusaha dinetralisir dengan bekerjanya Majelis Kehormatan (MK) Mahkamah Konstitusi (MK). MK MK bekerja untuk membuktikan benar atau tidak terjadi cacat etis di balik lahirnya keputusan MK atas perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Sampai di situ, banyak pertanyaan lahir di tengah publik dan menggumpal pada dua hal. Pertama, benarkah terjadi cacat etis atau overpower MK dalam memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023?

Kedua, jika terbukti terjadi cacat etis, apa sanksi hukumnya? Sebatas jatuh sanksi paling ringan atau paling berat pada hakim MK yang dinilai melakukan pelanggaran etik? Atau, bisa sampai ada dampak pembatalan maupun revisi pada putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023?

Dilematikanya, keputusan MK bersifat final and binding atau final dan mengikat. Setelah jatuh keputusan MK, sudah tidak ada upaya hukum lagi. Sedangkan MK MK hanya berkutat di ranah etik. Jadi, antara kaidah hukum dan ekspektasi rasa adil, situasi ini seperti berada di ujung jalan buntu.

Masa gaduh seputar keputusan MK atas perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 penting dikonversi menjadi diskursus hukum katarsis yang mampu melahirkan jalan keluar. Bahwa ternyata MK sebagai the guardian of constitution di negeri ini ternyata masih bercelah “dibobol” oleh desain politik yang (jika) terbukti memanfaatkan perilaku cacat etik. Berikutnya yang paling vital, bahwa keputusan MK yang bersifat final and binding, menjadi jalan buntu jika proses melahirkannya terbukti mengandung kecacatan.

Gol tangan Tuhan ala Maradona terjadi sebelum ada dan diberlakukan teknologi VAR. Seandainya gol itu terjadi saat VAR sudah diterapkan, sangat kecil kemungkinan wasit hanya akan mengganjar Maradona dengan kartu atas pelanggarannya menyentuh bola menggunakan tangan di kotak terlarang, sedangkan golnya tetap disahkan.

Dengan teknologi VAR, ada dasar kuat bagi wasit mengambil keputusan lebih adil. Pertama, menggunakan tangan di dalam kotak penalti, selain kiper, jelas sebuah pelanggaran. Jadi, Maradona bisa disanksi karena pelanggaran ini. Kedua, gol yang lahir melalui proses yang terbukti melanggar peraturan atau melanggar etik, jelas tidak boleh disahkan. Di dalam adil, ada logic.

Lantas, mari tunggu dan simak dalam beberapa hari ini, apa yang akan terjadi pada keputusan MK atas perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Apakah bakal terus melenggang, bak “gol tangan Tuhan” ala Maradona?  (*)


Share to