Hari Jadi Kota Probolinggo 663 (bagian 3) : Probolinggo Tanah Perjuangan

Imam Wahyudi
Imam Wahyudi

Sabtu, 03 Sep 2022 09:32 WIB

Hari Jadi Kota Probolinggo 663 (bagian 3) : Probolinggo Tanah Perjuangan

PEPERANGAN: Ilustrasi yang menggambarkan Ki Demang Wonosari memimpin anak buahnya melawan Babah Tumenggung dan Kolonel Pryser. (Ilustrasi by Misbach Novianto/tadatodays.com)

Probolinggo adalah tanah perjuangan. Tanah di mana rakyatnya tidak mau tinggal diam melihat ketidakadilan. Di masa lalu, sikap antipenindasan rakyat Probolinggo dicerminkan oleh peristiwa pemberontakan yang dipimpin Ki Demang Wonosari. 

--------------------

PADA  1808, Belanda mengangkat Herman Willem Daendels (1762 – 1818) sebagai Gubernur Jenderal Hindia Timur. Dengan “tangan besi” kekuasaannya, Daendels melakukan banyak perubahan di pemerintahannya. Salah satunya ialah membuat jalan raya dari Anyer sampai Panarukan.

Panjang jalan yang dibangun dengan darah dan air mata para pekerja pribumi itu mencapai 1.000 kilometer. Setelah terbukanya jalan Anyer-Panarukan, jalur Jawa Barat ke Jawa Timur yang pada masa itu membutuhkan waktu tempuh 40 hari, berkurang jadi hanya butuh 6 lebih setengah hari. 

Bagi pemerintah kolonial Belanda, Jalan Anyer-Panarukan dibutuhkan untuk memudahkan gerakan tentara dalam menumpas musuh maupun gerakan rakyat yang akan memberontak. Selebihnya, jalan yang disebut jalan raya pos (grotepostweg) itu diperlukan untuk memudahkan pengangkutan hasil – hasil bumi. 

Di Probolinggo, jalan raya Daendels tersebut menyusuri daerah pesisir, dari Tongas sampai Pilang, kemudian menyusur ke dekat pantai, ke timur melalui jalan daerah perkuburan Bremi, terus ke jalan Suropati, melalui daerah Joboan, ke timur terus ke daerah Dringu.

Dalam perkembangannya, Jalan Daendels yang berada di wilayah Kota Probolinggo, telah dipindahkan dari asalnya kira – kira 1 kilometer ke sebelah kanan (selatan).

Pada masa pemerintahan Daendels, Hindia Timur menghadapi kesulitan finansial. Pemerintahan Daendels sudah banyak mengeluarkan uang untuk kenaikan gaji pegawai, pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan, penambahan tentara, hingga membiayai peperangan melawan raja-raja pribumi.

Sedangkan Belanda sendiri di masa itu masih dalam cengkeraman Prancis dengan penguasanya, Napoleon Bonaparte. Bantuan dari negeri Belanda untuk pemerintahan Daendels menjadi hal yang tidak bisa diharapkan. 

Demi mengatasi masalah finansial itu, Daendels memerintahkan memperluas tanaman kopi. Meski mampu melahirkan sumber penghasilan baru, tetapi hasil kopi tetap tidak mampu menutupi masalah finansial pemerintahan Daendels.

Langkah berikutnya yang dilakukan Daendels untuk mengatasi masalah finansial pemerintahannya ialah menjual tanah-tanah negara yang sangat luas kepada pihak swasta. Tanah ini kemudian disebut tanah partikelir.

Tanah partikelir Probolinggo dijual kepada Han Tik Ko, yaitu Bupati Probolinggo kelima (memimpin Kabupaten Probolinggo tahun 1810-1813) yang mendapat julukan Babah Tumenggung. 

Daendels menjual tanah partikelir Probolinggo (di dalamnya termasuk Kraksaan dan Lumajang)  kepada Babah Tumenggung senilai 600 ribu spaansche matten, kemudian diganti dengan uang perak senilai 2,5 juta gulden.  Pembayaran disepakati 20 kali angsuran. Setiap angsuran dibayar setengah tahun sekali dibayar sebesar 125 ribu gulden.

Lantaran pemerintahan Daendels segera membutuhkan uang, diterbitkanlah uang kertas Probolinggo atau Probolinggo Papier (sekarang menjadi koleksi numismatik andalan di Museum Probolinggo). Pada 1810, Probolinggo Papier dirilis dengan nominal 100 – 1.000.

Peraturannya, uang kertas itu dapat ditukar dengan uang logam. Tetapi rupanya uang kertas tersebut tidak terlalu diminati. Umumnya rakyat meragukan penukarannya, sehingga tidak suka menerima uang kertas. Alhasil, peraturan Daendels tidak banyak diperhatikan, yaitu agar memberi nilai uang kertas seharga nilai uang logam.

Langkah-langkah Herman Willem Daendels yang sangat kejam dan loba dirasa membahayakan bagi citra pemerintah kolonial. Akhirnya Daendels dipulangkan ke Belanda pada 1811. Sebagai penggantinya, Sir Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur Jenderal di Jawa dan daerah-daerah taklukannya. Pada masa ini, pemerintah kolonial sedang dikuasai Inggris.

Di masa pemerintahan Raffles, kesulitan keuangan belum teratasi. Ini berpengaruh pula pada pembayaran angsuran pembelian tanah partikelir oleh Babah Tumenggung. Dalam situasi tersebut, Babah Tumenggung berusaha sekeras-kerasnya untuk dapat segera melunasi angsurannya. Segala cara dilakukan Babah Tumenggung, bahkan dengan memeras rakyatnya yang kekurangan.

Tekanan demi tekanan Babah Tumenggung, tidak didiamkan saja oleh rakyat Probolinggo. Dipimpin Ki Demang Wonosari, rakyat Probolinggo melakukan pemberontakan.

Ki Demang Wonosari berasal dari daerah Tengger. Nama Wonosari saat ini dikenal dengan sebutan Ngadisari (masuk Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo). Ki Demang Wonosari bernama asli Saridaka. Oleh masyarakat Ngadisari, Ki Demang Wonosari atau Saridaka lebih dikenal dengan sebutan Mbah Srendaka.

Dalam memimpin perlawanan rakyat Probolinggo, Ki Demang Wonosari tidak hanya mengandalkan keberanian. Mbah Srendaka juga piawai bertaktik.

Kamis Pon 12 Djumadil Awal 1740 Saka atau 13 Mei 1813, pecah pemberontakan rakyat Probolinggo. Hari itu di rumah Bupati Babah Tumenggung sedang dilangsungkan keramaian hiburan lengkap dengan minum-minuman. Pemimpin pemerintahan Inggris di Probolinggo, yaitu Kolonel Pryser, juga hadir di tengah “pesta” tersebut.

Kemeriahan pesta itu mendadak berubah jadi ketegangan begitu tersiar kabar terjadi pemberontakan rakyat di daerah Kedopok. Babah Tumenggung bersama para tentaranya, diikuti Kolonel Pryser juga bersama pasukannya, bergerak cepat mendatangi tempat terjadinya pemberontakan itu.

Di sinilah taktik Ki Demang Wonosari bekerja. Sampai di Kedopok, Babah Tumenggung dan Kolonel Pryser dipancing untuk terus mengejar Ki Demang Wonosari bersama anak buahnya sampai ke daerah Muneng (sekarang masuk Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo).

Di sebuah daerah bernama “Asem Loros” di Muneng, Ki Demang Wonosari ternyata sudah menyiapkan perangkap. Sebagian jalannya digali, kemudian ditutupi tumbuh-tumbuhan dan tanah tipis.

Begitu melintasi perangkap tersebut, Babah Tumenggung dan Kolonel Pryser bersama para tentaranya jatuh terperosok. Pada saat mereka terperosok, anak buah Ki Demang Wonosari menyerang. Babah Tumenggung dan Kolonel Pryser terbunuh di tempat itu pada 13 Mei 1813.

Setelah pemberontakan tersebut, Ki Demang Wonosari menguasai Probolinggo. Tetapi, masa itu tidak berlangsung lama. Pada 20 Mei 1813, pemerintah kolonial mendatangkan bala bantuan dari Pasuruan. Ada pula yang menyebut bahwa pasukan didatangkan dari Surabaya.

Yang pasti, pasukan kolonial menyerang balik Ki Demang Wonosari. Pecah pertempuan kedua dari  Tongas hingga Probolinggo. Serangan balik ini mengejutkan Ki Demang Wonsari hingga harus mundur kembali ke Wonosari atau Ngadisari.

Sampai di kediamannya setelah dari pertempuran itu, Ki Demang Wonosari atau Mbah Srendaka menghilang. Orang-orang dekatnya sempat melihat kuda yang habis ditunggangi Mbah Srendaka masih berpeluh. Masih terlihat cemeti, kudi (senjata berbentuk sabit), maupun tempat peludahan yang masih basah.

Namun, tubuh Ki Demang Wonosari tidak ditemukan, entah menghilang ke mana. Sejak itu pula orang-orang tua di Ngadisari berwangsit kepada anak turunnya agar tidak mengungkap-ungkap sejarah Mbah Srendaka.

Warga Probolinggo bisa melihat peninggalan masa perjuangan Mbah Srendaka, yaitu Keris Srendaka, yang (dulu) menjadi salah satu koleksi pusaka di Museum Probolinggo.

***

Bertempat di anjungan Jawa Timur, TMII (Taman Mini Indonesia Indah) di Jakarta, 20 Maret 2016, kontingen kesenian Kota Probolinggo menampilkan dramatari berjudul “Jegheh” (jhagha) yang berarti “bangkit”. Dramatari ini mengadaptasi kisah pemberontakan Ki Demang Wonosari.

Peni Priyono, seniman Kota Probolinggo yang menyutradarai dramatari “Jegheh” mengaku memiliki tujuan penting mengangkat cerita perlawanan Ki Demang Wonosari. “Pertama, supaya masyarakat kita tahu bahwa kita, Kota Probolinggo, punya sejarah perlawanan rakyat terhadap penindasan,” tuturnya.

Tujuan kedua, lanjut Peni, menanamkan semangat nasionalisme kepada anak muda. “Peraga dalam dramatari itu anak-anak muda semua. Kami ingin, mereka juga tahu dan mengenal ada sejarah perlawanan rakyat Probolinggo. Itu bagian dari upaya menanamkan semangat nasionalisme dan patriotisme kepada generasi muda,” kata Peni. (why)

Literatur:

* Buku “Sejarah Singkat Kabupaten Probolinggo”

* Buku “Kenang – kenangan Setengah Abad Usia Kotamadya Probolinggo”


Share to