Hari Jadi Kota Probolinggo 663 (bagian 5) : Probolinggo Kota Pusaka

Imam Wahyudi
Imam Wahyudi

Sabtu, 03 Sep 2022 09:48 WIB

Hari Jadi Kota Probolinggo 663 (bagian 5) : Probolinggo Kota Pusaka

Peta tua Cakranegara di Pulau Lombok yang morfologi kotanya memiliki kesamaan dengan Kota    Probolinggo. (Sumber: “DIMENSI” Journal of Architecture and Built Environment edisi January 2004)

Ada satu warisan dari masa kolonial yang masih kuat bertahan di Kota Probolinggo sampai saat ini, yaitu morfologi (bentuk dan struktur) kota. Ir. Handinoto, M.T., seorang dosen arsitektur UK Petra Surabaya menyebut (Kota) Probolinggo sebagai salah satu dari dua kota di Indonesia yang dirancang secara sadar.

--------------------

MENGUTIP “The City Shaped” (1991) oleh Spiro Kostof, Handinoto menyebutkan bahwa pembentukan kota dibagi menjadi dua. Yang pertama, kota yang pada awalnya dirancang secara sadar, dan yang kedua, kota yang tumbuh secara alamiah. Di Indonesia, menurutnya, jarang ada kota yang dirancang secara sadar sejak awal.

Lalu Handinoto menyebut Cakranegara di Pulau Lombok dan Kota Probolinggo sebagai dua kota yang dirancang secara sadar sejak awal. Lalu, meski tidak ada kaitan satu sama lainnya, kedua kota ini sama-sama memilih pola grid (kisi-kisi) sebagai sistem jalannya. “Dua kota, Cakranegara dan Probolinggo, merupakan bentuk kota yang sangat jarang terdapat di Indonesia,” tulis Handinoto dalam “DIMENSI” (Journal of Architecture and Built Environment) edisi January 2004.

Cakranegara dibangun pada pertengahan abad ke-18, merupakan kota yang secara sadar dirancang
berdasarkan mitologi Hindu-Bali. Penataan kota di Cakranegara bahkan tidak ditemukan di Bali sekalipun.

Sedangkan kota Probolinggo mengalami pemantapan bentuk kotanya pada awal abad ke-19. Kota Probolinggo dirancang menurut kepentingan ekonomi, politik dan keadaan sosial masyarakat kolonial Belanda waktu itu.

Pada masa kolonial, pemerintahan dibagi menjadi dua, yaitu pemerintahan kolonial dan pemerintahan pribumi. Pemerintahan kolonial berpusat di rumah Asisten Residen. Sedangkan pemerintahan pribumi berada di pendopo kabupaten di selatan alun-alun.

Dalam beberapa kajian menyebutkan bahwa pembentukan kota Probolinggo sebelum kekuasaan Belanda (VOC) masih dipengaruhi oleh masyarakat pribumi, imigran dari Madura dan Tiongkok. Inti kota Probolinggo masih berupa alun-alun, rumah bupati, masjid dan penjara.  Pembentukan kota Probolinggo baru menemukan pola sebagaimana disebutkan Handinoto sejak VOC menguasai Probolinggo pada 1743.

Mula-mula Belanda (VOC) mendirikan benteng di tempat strategis, yaitu dekat pangkal Sungai Banger. Awalnya, bangunan itu difungsikan sebagai pos dagang, tetapi kemudian sekaligus dijadikan benteng pertahanan.

Begitu menguasai wilayah Probolinggo pada 1743, setelah merasa kedudukannya semakin kuat, sedikit demi sedikit VOC keluar dari bentengnya dan menguasai seluruh kota. Struktur utama kota diperkirakan terbentuk secara keseluruhan antara 1830 sampai 1870.

Dalam paparannya, Handinoto menyebut sistem jalan kota Probolinggo dibentuk berdasarkan alasan rasional. Seperti, kontrol keamanan, orientasi, lancarnya infrastruktur baik di dalam kotanya sendiri maupun dalam hubungannya dengan sentra produksi pertanian di luar kota. Kehidupan sosial masyarakat kolonial waktu itu dan kepentingan dagang atas hasil pertanian pemerintah kolonial, juga menjadi pertimbangan atas perencanaan sistem jalannya.

Untuk tujuan tersebut, direncanakan sistem jalan sebagai berikut. Jalan dibagi menjadi kelas jalan arteri primer, arteri sekunder, jalan kolektor, serta jalan pembagi di daerah perumahan dan jalan kecil yang sering disebut gang.

Jalan arteri primer adalah Jl. Panglima Sudirman, yang menghubungkan kota Probolinggo dengan luar kota (Pasuruan di sebelah Timur dan Lumajang di sebelah barat). Jalan ini dulu merupakan Jalan Raya Pos (grote postweg). Ini merupakan bagian dari jalan yang dirancang Daendels (1808-1811) untuk menghubungkan kota-kota di pantai utara Jawa.

Jalan yang terbentang dari barat ke timur ini dipotong dengan jalan arteri sekunder, yang juga berfungsi
sebagai jalan kolektor yang membentang dari arah utara ke selatan (Heerenstraat sekarang Jl. Suroyo). Di ujung selatan Jl. Suroyo yang berpotongan dengan Jl. Panglima Sudirman diletakkan kantor Residen (sekarang menjadi markas Kodim 0820) sebagai pusat pemerintahan kolonial.

Di ujung utara Jl. Suroyo yang dulunya terletak benteng Belanda, ada alun-alun sebagai ruang luar kota. Di sekitar alun-alun tersebut terdapat pusat pemerintahan pribumi (kantor kabupaten, masjid, penjara dan sebagainya).

Jalan-jalan lainnya disusun sejajar dengan kedua jalan utama (Jl. Panglima Sudirman dan Jl Suroyo), yang saling tegak lurus tersebut. Sehingga terbentuklah sistem jalan yang berpola grid.

Dengan pola yang kompak dan simetris tersebut, Belanda melalui benteng maupun Kantor Residen, dapat mengontrol keamanan dari jalur darat maupun laut. Selain itu, Belanda juga mampu mengawasi penuh lalu lintas perdagangannya.

Patut diketahui, penetapan status Gemeente (Kotamadya) Probolinggo pada 1 Juli 1918 terutama karena ditinjau letaknya yang strategis. Kota Probolinggo dikelilingi oleh beberapa buah pabrik gula, perkebunan – perkebunan tembakau dan lain – lain. Di samping itu, kota Probolinggo merupakan kota pelabuhan yang cukup mampu untuk menampung dan mengekspor hasil dari perkebunan – perkebunan tersebut.

Pada masa itu, gula benar – benar menjadi komoditi yang sangat berharga. Kemajuan produksinya sangat mencolok. Di tahun 1840, dari seluruh Jawa masih hanya menghasilkan 47 ribu ton gula. Tetapi pada 1918, produksi gula melonjak menjadi 1.773.348 ton.

Karesidenan Kediri, Madiun dan Pasuruan (termasuk Probolinggo) pada waktu itu merupakan daerah penghasil gula yang utama. Probolinggo saja pada masa itu pernah memiliki belasan pabrik gula. Tiga di antaranya berlokasi di dalam kota Probolinggo, yaitu pabrik gula Umbul, Sumberkareng, dan Wonoasih. Berikutnya di wilayah kabupaten Probolinggo ada pabrik gula Wonolangan, Gending, Maron, Pajarakan, Kandangjati, Paiton, Seboro dan Bago. 

Selanjutnya, Probolinggo adalah sebuah kota pesisir dengan penduduk yang heterogen. Secara garis besar pemerintah kolonial membagi daerah hunian menjadi 3 golongan besar, yaitu: pertama golongan orang Eropa, kedua golongan timur asing (termasuk Cina, Arab, Melayu dan sebagainya), dan ketiga adalah golongan pribumi.

Dalam pola spasial kota dari sistem jalan yang berbentuk grid tersebut, daerah hunian disusun sebagai
berikut. Hunian untuk orang Eropa terletak di jalan arteri primer (Heerenstraat Jl Suroyo) dan sebagian lagi di Jalan Dr Saleh (Weduwestraat).

Hunian untuk orang Cina atau kawasan pecinan terletak di Jl. Dr. Sutomo (Chinese Voorstraat) dan Jl. WR Supratman. Hunian orang Arab teletak di Jalan Dr. Wahidin. Hunian orang Melayu terletak di Jl. Kartini.

Sedangkan hunian orang pribumi dipusatkan di ujung sebelah timur kota dengan tata ruangnya yang sangat ketat sekali. Pada 1905 penduduk pribumi di Probolinggo berjumlah 12.000 orang. Sebagian besar berdiam di daerah ini.

Berikutnya, di sebelah utara kota dekat laut, terdapat daerah yang dinamakan Mayangan. Daerah ini menampung “orang-orang perahu” terutama yang berasal dari Madura.

Penelitian Handinoto tentang morfologi Kota Probolinggo sudah pernah dibukukan oleh Pemkot Probolinggo dengan judul “Sejarah Kota Probolinggo 1746 – 1940”. Buku tersebut dirilis pada 2010 dan menjadi koleksi penting di perpustakaan Museum Probolinggo.  

***

Peta tua yang menggambarkan morfologi Kota Probolinggo yang ditata dengan pola grid.

Pada 10 Desember 2015, Pemerintah Kota Probolinggo bersama Dirjen Cipta Karya pada Kementerian PUPR telah menandatangani “Piagam Komitmen Kota Pusaka Kota Probolinggo”.

Piagam ini memuat sejumlah komitmen Pemerintah Kota Probolinggo. Di antaranya ialah untuk mewujudkan secara bertahap standar penataan dan pelestarian kota pusaka, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada pengembangan kerjasama pemerintah, masyarakat, akademisi dan dunia usaha.

Berikutnya, komitmen Pemerintah Kota Probolinggo untuk mengalokasikan anggaran untuk merealisasikan Rencana Aksi Kota Pusaka (RAKP). Lalu, komitmen untuk mengawal dan menetapkan peraturan walikota yang mendukung upaya penataan dan pelestarian Kota Pusaka, termasuk Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

Program penataan dan pelestarian Kota Pusaka sejatinya telah dirintis Kementerian PUPR sejak 2012. Dalam program ini, Kementerian PUPR bersinergi dengan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI).

Secara ringkas, program ini merupakan upaya nyata untuk melestarikan aset-aset pusaka bangsa yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Aset pusaka merupakan rekam jejak sejarah bangsa Indonesia dari zaman kerajaan nusantara hingga pasca kemerdekaan.

Dalam piagam pelestarian Kota Pusaka Indonesia dijelaskan bahwa Kota Pusaka adalah kota / kabupaten yang memiliki aset pusaka yang unggul berupa rajutan pusaka alam dan wisata budaya yang lestari yang mencakup unsur ragawi (artefak, bangunan dan kawasan dengan ruang terbukanya) dan unsur kehidupan, ekonomi, sosial-budaya.

Morfologi Kota Probolinggo berpola grid, yang disebut Handinoto hanya ada dua di Indonesia, merupakan heritage vital yang menjadi benang merah perencanaan pengembangan Kota Probolinggo Kota Pusaka. Tujuan yang hendak dicapai ialah meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan dan menyejahterakan kehidupan masyarakat dengan masuknya investasi dan bisa menarik kaum muda, pekerja kreatif dan tenaga ahli, demi pembangunan Kota Probolinggo yang berkelanjutan.

Kota Pusaka bukan hanya organisasi nasional. Ada organisasi Kota Pusaka Dunia yang dibentuk pada 8 September 1993 di Fez, Maroko. Beberapa kota di Indonesia tidak hanya menjadi Kota Pusaka nasional, tetapi dunia. Ada banyak daerah yang telah berhasil mengembangkan Kota Pusaka-nya dan maju dengan heritage tourism.

Sampai 2017, Kota Probolinggo telah melewati 6 fase dari 10 fase pengembangan Kota Pusaka. Di fase 6 itu berarti Kota Probolinggo telah berhasil menyusun Rencana Aksi Kota Pusaka (RAKP) dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Pusaka Prioritas.

Adapun Kawasan Pusaka Prioritas yang telah ditetapkan ialah pelabuhan, benteng, stasiun, alun-alun, masjid, penjara, pendopo, asrama polisi, kampung melayu, kampung Arab, kawasan priyayi Jawa, perempatan Brak, kawasan Eropa, kawasan pecinan, Kawasan pribumi, kampung Mayangan, dan Kota Indies.

Salah satu saja rencana yang pernah disampaikan kepada publik ialah merevitalisasi kawasan-kawasan prioritas tersebut. Misalnya di kawasan pecinan, dilakukan upaya-upaya agar karakter pecinannya kembali muncul tegas. Begitu pula dengan kawasan lain seperti kampung Arab, Melayu, maupun pribumi.

Melalui langkah revitalisasi tersebut, maka akan terlahir kembali heritage tourism Kota Probolinggo Kota Pusaka. Sebuah destinasi wisata Kota Tua di Kota Probolinggo yang berpijak pada warisan morfologi kota, dengan penataan heterogenitas sosio-kultur yang pernah ada.

Lalu bagaimana saat ini kelanjutan status dan upaya-upaya perwujudan Kota Probolinggo sebagai Kota Pusaka? Kabid Budaya Disdikbud Kota Probolinggo Sardi menyatakan, sampai saat ini Kota Probolinggo masih tercatat sebagai anggota JKPI (Jaringan Kota Pusaka Indonesia).

Lalu apa program lanjutan Kota Probolinggo Kota Pusaka? Sardi merinci, program yang dilakukan ialah pelestarian budaya berupa benda dan tak benda. Langkahnya meliputi inventarisasi warisan budaya tak benda. Berikutnya, pengusulan penetapan budaya tak benda.

Ada pula promosi budaya lewat pameran dan tampilan seni budaya pada kegiatan rutin JKPI. “Juga kami lakukan promosi budaya lewat kegiatan masterclass pada kegiatan JKPI,” terang Sardi. (why)

Literatur:

* “DIMENSI” Journal of Architecture and Built Environment edisi January 2004

* Buku “Sejarah Kota Probolinggo 1746 – 1940” 

* Dokumen-dokumen Perencanaan Kota Probolinggo Kota Pusaka


Share to