Ikhwan Arief: Anak Nelayan yang Diganjar Kalpataru karena Selamatkan Ekosistem Laut

Dian Cahyani
Dian Cahyani

Sunday, 10 May 2020 20:16 WIB

Ikhwan Arief: Anak Nelayan yang Diganjar Kalpataru karena Selamatkan Ekosistem Laut

HASIL KERJA KERAS: Ikhwan Arif bersalaman dengan Presiden Joko Widodo pada saat menerima penghargaan Kalpataru Kategori Penyelamat Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta pada 2017.

Selama di pesantren, Ikhwan Arief tak melulu belajar tentang agama. Ia juga banyak belajar tentang adab, etika, tauladan dan hidup sederhana. Pembelajaran inilah yang dijadikan modal dakwahnya untuk mengubah paradigma berfikir nelayan Bangsring yang banyak melakukan aktivitas ileg fishing. Seperti mengebom ikan. Bagaimana kisahnya?

TERLAHIR dari keluarga nelayan, Ikhwan Arief dibesarkan oleh kedua orang tua dengan disiplin keras. Keluarganya bukanlah golongan keluarga yang agamis. Karena itulah bapaknya, Alm. H. Moh Arip, sangat bersemangat mengirim Ikhwan belajar di pondok pesantren. Bapaknya, sangat berharap Ikhwan tumbuh menjadi sosok yang paham agama.

“Pernah saya lulus UMPTN waktu itu, ambil jurusan matematika di Jember, langsung ditempeleng saya sama bapak. Dan saya tidak diijinkan kuliah jika tidak mengambil jurusan agama,”  ungkap santri jebolan Pesantren Nurul Mansur dan Salafiyah Safiiyah, Sukorejo itu.

Bapaknya, merupakan pengepul ikan di Bangsring yang juga seorang nelayan yang mencari ikan dengan menggunakan potas. Di keluarga Ikhwan, mencari ikan dengan cara mengebom telah berlangsung selama tiga genarasi.

Ikhwan hidup dalam keluarga yang merusak lingkungan. Hal ini lah yang membuat Ikhwan merasa berutang budi sekaligus merasa bersalah atas kerusakan lingkungan dan berkurangnya ikan di pesisir Bangsring.  “Saya memang bukan pelaku. Tapi, saya dibesarkan dari hasil merusak lingkungan. Saya merasa bersalah karena saya bagian dari kedzaliman,” ucapnya dengan suara nanar.

Berbekal ilmu dari pesantren, Ikhwan bertekad menghentikan illegal fishing yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Cara pertama yang ia lakukan adalah dengan memberi contoh untuk membersihkan lingkungan pesisir. “Untuk mengubah orang lain, saya menggunakan ilmu dari kyai dan ustad di pondok. Jadi, saya tidak mengajak terlebih dahulu atau memberi tahu dahulu. Tapi, mencontohkan terlebih dahulu,” paparnya.

Selain itu, Ikhwan juga berupaya menyisipkan pesan agama dari ayat Al- Qur’an dan Hadist tentang larangan merusak lingkungan. Ikhwan pun sampai menawarkan diri kepada para pengurus masjid di desanya untuk membuatkan naskah khutbah salat Jum’at. Melalaui jalan inilah, Ikhwan dapat menyisipkan dakwah pesan agama kepada para nelayan setempat. “Pada saat itu masih 2008, saya masih muda, tidak munglkin juga diterima oleh mereka. Kalau saya mengundang tokoh untuk pengajian juga tidak mungkin. Jadi, alternatifnya adalah pesan ini disampaikan oleh tokoh masyarakat,” paparnya.

Tak hanya itu, kesederhanaan hidup yang dirasakannya semasa di pesantren juga menjadi bekal untuk dapat melebur dengan para nelayanan. Walaupun Ikhwan pulang kampung dengan menyandang status lulusan S2, ia tetap bisa bersosialisasi dengan masyarakat pesisir.

“Nyaman- nyaman saja ikut nongkrong di warung bersama mereka. Saya gak risih. Ini pelajaran hidup di pesantren yang membuat saya bisa bergabung dengan rakyat pesisir,” paparnya.

TERSOHOR: Wisata Bangsring Underwater ya g dikelola kelompok nelayan yang dipimpinnya kerap menjadi jujugan studi banding dan survei. Termasuk ketika Gubernur Jabar, Ridwan Kamil dan istrinya datang ke Banyuwangi.

Strategi lain yang dilakukan Ikhwan untuk menghentikan aktivitas pengemoboman di laut adalah dengan melakukan pendekatan ke sekolah-sekolah. Ia bersama rekannya, melakukan dialog kepada para anak pesisir tentang bahayanya menggunakan potas. “Tak hanya pada anak nelayan pesisir, Istri para nelayan juga dibekali wawasan agar bisa mendukung suaminya berhenti untuk mengbom. Jadi kita adakan pertemuan rutin membahas tentang perternakan atau pertanian, lalu kita sisipkan itu,” jelasnya.

Seiring berjalannya waktu, ikhtiar Ikhwanberbuah manis. Nelayan yang sadar untuk tidak melakukan mengeboman semakin bertambah. Mereka tergabung dalam Kelompok Nelayan Bahari Nusantara. Mereka pun berhenti melakukan pengeboman ikan. “2014 lingkungannnnya sudah mulai bagus, ikannya banyak, terumbu karangnya juga banyak.  Akhirnya kita kemas dalam sebuah Wisata Bangsring Underwater,” pungkas laki- laki yang mengidolakan sosok KH Abdurrahaman Wachid itu.

Bukan sebuah ikhtiar yang mudah untuk mengubah mindset para nelayan yang sudah terlanjur melakukan illegal fishing. Dalam upayanya menyadarkan rakyat pesisir, Ikhwan sempat mengalami  pertentangan dari banyak pihak. Baik dari keluarga, mapun para tentangganya. Ikhwan juga sempat diancam untuk dibunuh jika ia melanjutkan misinya untuk menghentikan pengeboman ikan.

Keluarganya secara turun temurun hidup dan dihidupi dari aktivitas pengeboman ikan. Hingga akhirnya, bapaknya sukses besar menjadi pengepul ikan kala itu.  Bapaknya, juga menjadi penyuplai potas untuk para nelayan di Bangsring. Sehingga, seluruh biaya hidup Ikhwan di dapat dari pengeboman ikan besar-besaran di Bangsring.

Tak bisa dipungkiri, Ikhwan juga turut terjerumus dalam mindest nelayan kebanyakan, yakni tak bisa mendapat ikan jika tidak mengebom. Bersama kawan akademisinya kala di kampus, ikhwan mencari potas ramah lingkungan. “Diskusi, cari potas dan bom ramah lingkungan. Ternyata tidak ada,” ungkapnya sambil tertawa kecil.

Kala itu, para nelayan di Desa Bangsring beranggapan jika Ikhwan merupakan sosok yang akan mematikan sumber penghidupan masyarakat setempat untuk melakukan pengeboman ikan. Anggapan ini justru berdampak besar pada keluarga Ikhwan. Sebab, jika para nelayan berhenti mengebom ikan, maka secara otomatis setoran ikan ke bapaknya akan berhenti. Sehingga orangnya dengan keras menentang. “Setiap saya hendak pergi untuk melakukan kegiataan konservasi, ayah saya marah dan mengingatkan untuk berhenti. Tapi, saat itu saya tidak melawan. Saya hanya mendengarkan,” kisahnya.

KONTROL LINGKUNGAN: Meski lingkungan di pesisir Bangsring mulai pulih, Ikhwan Arif masih kerap menyelam untuk melihat jika ada spot-spot yang butuh konservasi atau perbaikan.

Ikhwan juga sempat mendapat ancaman  dari tetangga untuk dibunuh. Ancaman itu ditujukan kepada istri dan anaknya. “Nah disini kan (suku) Madura, punya filosofi dari pada putih mata lebih baik putih tulang. Jadi, dari pada lapar mending mati. Jadi saya dituduh menghambat usaha mereka, jadi dari pada mereka lapar lebih baik saya yang mati,” katanya dengan penuh penegasan.

Ancaman ini lah yang membuat Ikhwan lebih bersemangat untuk lekas merealisasikan program konservasinya.  “Ini justru menjadi motivasi untuk segera membuktikan bahwa apa yang saya kerjaakan ini sangat bermanfaat untuk kamu,” tambahnya. 

Di tengah perjuangannya, pada tahun 2010 Ikhwan diikutkan seleksi nelayanan teladan tingkat nasional dari Kementerian Keluatan. Ia meraih juara dua. Ia berangkat ke Jakarta untuk menerima penghargaan tersebut.

Penghargaan itulah yang dapat mengetuk kesadaran keluarganya dan meyakini bahwa apa yang diperbuat Ikhwan dalam koridor yang benar. “Mulai hari ini nak, saya percaya apa yang kamu lakukan itu benar. Jadi mulai hari ini juga siapapun yang menggagu kamu, bapak akan ada di depan. Itu kata bapak saya sebelum saya menerima penghargaan,” ungkapnya.

Usai menyabet pengahragaan tersebut, program untuk memulihkan keadaan laut pun bertambah. Tak hanya konservasi, Ikhwan juga menggandeng beberapa nelayan untuk melakukan program apartemen ikan, hingga penanaman mangrove di pesisir. “Pada 2014 lingkungannya sudah mulai bagus, ikannya banyak, terumbu karangnya juga banyak. Akhirnya kita kemas dalam sebuah Wisata Bangsring Underwater,” jelasnya.

Penghargaan tertinggi yang diraih Kelompok Nelayan Samudra Bakti yang dipimpin Ikhwan adalah meraih Kalpataru Kategori Penyelamat Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penghargaan diserahkan Menteri LHK Siti Nurbaya kepada Ketua Kelompok Nelayan Ikhwan Arief pada Peringatan Hari Lingkungan Hidup 2017 di Gedung Mandala Wanabakti, Jakarta, Rabu (2/8/2017). "Semua merja keras kami terbayar," pungkasnya. (dee/hvn)


Share to