Ketua MUI Jember tentang Alibi Nikah Daud

Iqbal Al Fardi
Iqbal Al Fardi

Sabtu, 21 Jan 2023 08:53 WIB

Ketua MUI Jember tentang Alibi Nikah Daud

KH Abdul Haris, ketua MUI Jember

POLRES Jember sudah menetapkan pengasuh Ponpes Al-Djaliel 2 Jember Muhammad Fahim Mawardi sebagai tersangka kasus pencabulan dan kekerasan seksual. Kasus ini ditangani Polres Jember berawal dari laporan istri Fahim sendiri pada Kamis (5/1/2023) lalu.

Namun, Fahim menyangkal laporan itu. Pendamping hukumnya, Andi C Putra, Fahim sempat beralibi dengan menyatakan telah melakukan pernikahan Daud dengan salah seorang santiwati yang disebut sebagai korban dalam laporan tersebut. Pada pernikahan itu, Fahim tidak menghadirkan wali, saksi dan penghulu. Hal tersebut berbeda dengan proses pernikahan di masyarakat umum.

Apa sebenarnya nikah Daud? Untuk memperjelas itu, tadatodays.com meminta pendapat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jember KH Abdul Haris, yang juga pengasuh Ponpes Al-Bidayah di Jalan M. Yamin nomor 3B, Kelurahan Tegal Besar, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember. Berikut wawancaranya. 

Bagaimana pendapat anda mengenai pernikahan ala Daud al-Dzohiri yang dilakukan Fahim dengan salah seorang korbannya?

Ya memang ada yang memahami bahwa pernikahan ala Daud al-Dzohiri itu dianggap pernikahan yang tanpa wali, tanpa saksi tanpa wali, tanpa saksi. Dianggap seperti itu, padahal sebenarnya juga tidak. Jadi, problem masalah wali di sana itu secara umum, mazhab mengatakan bahwa keberadaannya itu sebagai rukun nikah. Sehingga kalau seandainya pernikahan itu kemudian dan tidak ada wali, itu tidak dianggap sah.

Memang ada yang menganggap bahwa wali itu bukan rukun, yaitu kalangan (imam) Hanafi. Sedangkan, tadi yang dikatakan Daud al-Dzohiri itu membedakan apakah calon mempelai perempuan itu termasuk dalam kategori yang perawan atau janda? Kalau perawan itu masih harus (menghadirkan, red) wali. Kalau janda, baru (tidak, red). Seperti itu.

Jadi, sebenarnya petanya di situ. Kalau saksi misalnya, itu kan ada hadist mengatakan, la nikaaha illa biwaliyyin wa syahidaini adlin, dua orang saksi. Itu rata-rata menganggap bahwa persaksian itu harus ada. Ada yang menganggap bahwa persaksian itu tidak harus. Tapi, kalau seandainya mau melakukan persetujuan, maka ya harus ada juga. Maksudnya, proses itu pada akhirnya juga ada saksi. Jadi, sama sekali tidak kemudian tanpa wali, tanpa saksi. Itu tidak ada.

Jadi, kalau seandainya tanpa wali tanpa saksi, yang saya ketahui gabungan dua mazhab yang ini sebenarnya pada akhirnya mazhabnya menjadi tidak jelas. Yang tanpa wali itu berarti Hanafi, tanpa saksi ambil (imam) Maliki. Jadi, ketika tanpa wali dan saksi itu sebenarnya menurut Hanafi tidak sah  karena gak ada saksi. Menurut Maliki juga tidak sah, karena tidak ada wali. Jadi, dua mazhab juga menganggap bahwa ini juga tidak sah.

Jadi, penisbahan pada Daud al-Dzohiri itu memang banyak diperbincangkam akhwalul ulama secara umum. Tapi, kita itu sebagai seorang Muslim juga sebagai warga negara. Begitu, ya. Di mana ketika kemudian menikah negara ini seperti titah atau penegasan dari Alquran sendiri. Pernikahan sebagai perjanjian yang keras karena akan ada dampak lanjutan.

Dalam konteks pernikahan, misalnya tanpa wali, tanpa saksi kan sama sekali tidak ada diketahui orang lainnya. Ketika kemudian hamil misalnya, hamil itu akan ada hak dari seorang anaknya. Kalau seandainya (salah seorang orang tua, red) hidup terus, ya lumayan. Kalau seandainya ada mati salah satu, bagaimana kita bisa mengklaim ini bahwa akan mewarisi dan seterusnya. Ini bagaimana? Terutama hak-hak dari anak.

Jadi intinya, kalau pada masyarakat itu begini. Fikih itu substansinya itu ada dua. Apakah kemudian itu dianggap sebagai fikih atau tidak, itu substansi kita bisa nilai dari dua hal. Yang pertama itu adalah darul mafâsi, harus menolak kemafsadatan. Yang kedua adalah dari ulema sholay. Ini bisa dibawa kemana mana untuk kemudian mengukur apakah klaim bawa ini sesuai dengan mazhab A, B, C, dan seterusnya.

Itu memang sesuai dengan substansi dari apa yang menjadi tujuan utama syariat Islam. Ketika nyata-nyata, sebuah tindakan itu kemudian, misalnya, mendatangkan mafsadat, bukan menolak mafsadat, tidak sama sekali mengambil, maka jangan percaya bahwa itu adalah syariat.

Nikah sirri saja kan ada wali, ada saksi. Itu kan masih banyak yang mengharamkan meskipun dianggap sah. Apalagi yang katanya diklaim sebagai Daud al-Dzohiri itu misalnya sebenarnya kalau seandainya kita lihat dasar referensinya itu tidak ada. Tidak ada kemudian secara tegas mengabsahkan, apalagi itu perawan, nikah tanpa wali dan tanpa saksi. Daud al-Dzohiri yang ditawarkan cuman tanpa wali, tapi ada saksi. Jadi, (pernikahan, red) tanpa wali dan saksi itu menggabungkan dua mazhab. Dalam konteks walinya itu ambil Hanafi dalam konteks saksinya itu ambil Maliki. Hanafi dan Maliki digabung jadi satu itu yang kemudian diklaim sebagai Daud al-Dzohiri.

Padahal, saya tidak menemukan dasar itu sepanjang bacaan saya, tidak menemukan itu yang saya tahu. Bahkan kalau seandainya itu perawan, Daud al-Dzohiri mempersyaratkan bahwa di situ tetap ada wali dan itu sangat masuk akal. Orang kalau tidak perawan, dia usianya misalnya masih 16 atau 20, macem-macem. Kemudian, dia hamil dam macem-macem, klaim bahwa dia itu adalah istrinya orang ini. Dia menikah sendiri, tidak ada saksi.

Itu klaimnya apa kalau seandainya saya menyangkal misalnya “saya menikah sama sampean? sama sekali tidak. Sampean itu bukan tipe saya,” kan ruwet. Kalau seandainya ada saksi, “kok lali bereng aku seng menyaksikan” kan bisa selamat. Atau misalnya apalagi ada akte.

Jadi, yang paling penting kita motivasi masyarakat jika kemudian ada wacana atau pandangan ini tanpa wali tanpa saksi boleh dilakukan, mari kita pukul. Apakah itu benar sesuai dengan fikih islam atau tidak itu dilihat dari tindakan. Ini yang dianggap sebagai syari, bisa menolak mafsadat dan mendatangkan kemaslahatan. Itu standar utamanya.

Jangan sampai kemudian jelas-jelas di situ bisa membahayakan tapi tetap aja menurut ini boleh, menurut ini boleh dan seterusnya. Itu, menurut saya perlu diseriusi. Kalau seandainya kemudian itu bisa menjalar kepada masyarakat awam, kan luar biasa mudaratnya. Ya kita, seperti yang tadi saya katakan itu, ya jangan lupa kita juga warga negara. Ta'atul imam itu wajib. Ta'at kepada penguasa itu wajib. Apabila di situ ada kemaslahatan, maka harus dilakukan. Apabila di situ ada kemaslahatan, harus taat kita. Jadi, pemerintah itu kan jelas.

Setidaknya, banyak laki-laki sekarang tidak bertanggung jawab. Ya, ada yang kemudian misalnya setelah melakukan hubungan suami istri dia meninggalkan, tanpa sama sekali bisa digunakan sebagai alat bukti untuk menuntut. Itu kan pemerintah harus hadir di situ. Jangan kemudian mengatasnamakan fikih itu tidak bisa dijerat. Loh, jelas-jelas ini membahayakan. Apalagi kemudian perdebatan tanpa wali dan saksi itu dihukumi zinah, kalau dilihat dari berbagai refrensi. Apalagi ini biker, biker itu perawan, tidak ada yang merekomendasi seorang perawan menikah tanpa wali. Itu tidak ada. Kecuali yang Hanafi tadi, tapi bukan Daud al-Dzohiri.

Lalu bagaimana awal kemunculan Daud al-Dzohiri?

Daud al-Dzohiri itu adalah mazhab yang tidak begitu dikenal. Kan yang ada mazhab 4. Sebabnya, itu banyak disisihkan, karena transmisi keilmuan harus bisa dipertanggungjawabkan. Jadi, salah satu alasan kenapa yang dijadikan pegangan itu mazhab Maliki, Hambali, Syafi’I, Hanafi, karena transmisi keilmuannya dari generasi awal itu validasinya luar biasa.

Kalau di luar itu, masih banyak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sehingga tidak dipakai secara umum. Meskipun dalam konteks kajian wacana dan akademik itu tetap dikaji. Seandainya untuk amaliah itu yang dipakai empat mazhab, NU misalnya, dan yang lain seperti itu. Seandainya ada kalim tanpa wali dan saksi ini jadi kesulitan.

Bagaimana rekam jejak pernikahan Daud di Indonesia?

Saya tidak begitu paham. Tapi kabar-kabarnya, ketika kemudian ketahuan, itu dijadikan sebagai alibi. Padahal di kitab mana dan refrensinya apa itu, kita kesulitan. Daud dalam konteks perawan itu tetap mempersyaratkan wali. Ya, biasanya yang begitu alibi, setelah ketahuan baru ini daud.

Padahal, dari aspek keilmuan dan substansi yang diperjuangkan oleh Maqashid syariah (tujuan syariat) islam itu tidak tepat. Sehingga, jika diterapkan dalam syariat islam itu tidak cocok karena yang saya tahu kalau ada orang yang menikah tanpa wali dan saksi itu dianggap zinah.

Jika pernikahan Fahim menggunakan mazhab Daud al-Dzohiri dengan korban yang berbeda dengan pernikahanya dengan istrinya, apakah ini bisa disebut inkonsistensi penggunaan mazhab? Dan bagaimana?

Lagi-lagi tentang perpindahan mazhab sangat memungkinkan. Dalam konteks tertentu, kadang-kadang diperbolehkan. Contoh, kalau seandainya kita bersuci dalam konteks Indonesia batalnya wudlu pakai (mazhab imam, red) Syafi’I karena memang tidak terlalu darurat. Tapi, bagaimana seandainya kalau kita sedang umrah, persentuhan antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dihindari saat tawaf. Itu kan sulit, maka banyak yang menganjurkan untuk berpindah mazhab.

Tapi kalau tidak dalam kondisi darurat apalagi hanya diambil enaknya apalagi terkait dengan orang awam, harus dipertegas. Kita harapkan kalau seandainya khawatir dijadikan sebagai model untuk bagaimana menjadikan perzinahan terselubung, menjadi syar’i, itu kan harus ditangani secara serius.

Jadi sudah tepat misalnya sampean kalau nulis diperhitungkan tentang Undang-Undang Pernikahan, KHI  (Kompilasi Hukum Islam) di mana yang menjadi rukun sahnya pernikahan harus ada mempelai suami, istri, dua orang saksi, wali, dan ijab qobul. Itu sudah tepat. Saat pemerintah menggunakan itu sudah tepat. Di tengah realitas ada banyak orang yang tidak bertanggung jawab, salah satu yang bisa menjaga dan melindungi anak-anak putri kita, akta nikah itu. Harus dicatatkan. Nikah sirri saja itu sah tapi haram. Haramnya kenapa? Karena tidak taat dengan pemerintah. (iaf/why)


Share to