KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah: Pernah Jadi Tenaga Cuci Piring kala Belajar di Den Haag

Zainul Rifan
Zainul Rifan

Thursday, 30 Apr 2020 23:10 WIB

KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah: Pernah Jadi Tenaga Cuci Piring kala Belajar di Den Haag

BERSAHAJA: Pembawaan KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah yang kalem membuat banyak orang yang menaruh hormat.

Siapa yang tak kenal dengan KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah. Pengasuh pondok pesantren Zainul Hasan Genggong yang juga mantan Ketua PWNU Jatim ini adalah tokoh agama yang disegani. Meski menjadi tokoh yang terpandang, Kyai Mutawakkil -sapaan akrabnya - tetaplah sosok yang sederhana.

KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah adalah putra dari al-arif billah KH. Hasan Saifourridzal dan Nyai Himami Hafshawaty. Dia jebolan Al-Azhar Mesir tahun 1983. Senin (27/4/2020) sekitar pukul 09.00 WIB, tadatodays.com diberi kesempatan untuk bertemu kyai yang dikenal lembut dalam bertutur kata ini di kediamannya.

Sempitnya waktu untuk berbincang karena kesibukan yang luar biasa, Kyai Mutawakkil langsung membuka obrolan tentang sejarah kehidupannya selama ini. Sejak kecil, Kyai Mutawakkil sudah dididik untuk mandiri. Saat usianya masih 11 tahun, ia diantar ayahnya untuk mondok di ke Pesantren Sarang Jawa Tengah yang diasuh oleh mendiang KH. Maimoen Zubeir.

Namun ia tidak lama disana. Hanya kurang dari 1 tahun. Cuaca menjadi faktor yang membuat Kyai Mutawakkil tidak lama di Sarang. Mutawakkil kecil lantas kembali ke Genggong. Namun, tak berselang lama, Mutawakkil kecil kemudian kembali diantar sang ayah untuk mondok di Ponpes Hidayatul Muttabi'in Lirboyo.

TAWADU: Meski sama-sama sebagai tokoh agama, KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah dan KH. Moh. Zuhri Zaini, pengasuh Ponpes Nurul Jadid Paiton saling mencium tangan tanda hormat.

Di sana ia dari pendidikan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. Berhubung di ponpes tersebut saat itu pendidikan formalnya hanya sampai pada Tsanawiyah, Mutawakil langsung mengikuti ujian persamaan Aliyah di Pesantren Denanyar Jombang.

“Oleh Ayah diberi pelajaran kehidupan langsung, agar supaya mandiri, mencintai ilmu, menyenangi ilmu dalam proses belajar mencari ilmu ejak kecil,” katanya. Setelah lulus dari ujian persamaan tersebut, Mutawakkil langsung melanjutkan kuliah ke Fakultas Syariah Universitas Tribakti Kediri sampai tingkat III.

Tamat di tingkat III, ia melanjutkan ke Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Namun itu tidak berlangsung lama. Karena ia mengikuti program beasiswa untuk kuliah di Al-Azhar Kairo Mesir sekitar tahun 1981. Selama empat tahun Mutawakkil menempuh pendidikan di Mesir.

Saat di Mesir, pria kelahiran 22 April 1959 sempat dikirim kampusnya melakukan studi banding ke Frankurt (Jerman) dan Den Haag (Belanda). Di Den Haag ia sempat belajar di Fakultas Syariah atau Kriminologi Islam di Universitas Leiden.

Selama menjalankan studi di Belanda, tak semuanya berjalan mulus. Ia bahkan harus mencukupi kebutuhan hidup dengan bekerja sebagai tukang cuci piring dan menjadi kasir restoran Indonesia. Ada cerita lucu saat Kyai Mutawakkil menjadi tukang cuci piring. Ia mengaku bingung karena tempatnya berbeda seperti di kediamannya.

“Alhamdulilah, saya bisa melakukannya. Saya bisa mandiri dan banyak pengalaman dan ilmu kehidupan,” katanya. Usai menempuh pendidikan di Mesir, ia kemudian dijemput sang ayah. Mendung duka kemudian datang saat kembali ke tanah air. Tidak lama selepas pulang dari Mesir ditinggal kedua orang tuanya berpulang.

Pesantren pun dipasrahkan mengelola pesantren menggantikan ayahnya. Hingga akhirnya ia dipertemukan dengan Nyai Muhibbatul Lubabah, perempuan yang memberinya 6 orang anak. Pesantren Zainul Hasan Genggong di bawah asuhannya, tumbuh menjadi pesantren yang besar. Saat ini, berdiri SMA Unggulan; BPTP Zainul Hasan; MA Model; Stikes, Akbid, dan Akper Hafshawaty. Di Yayasan Hafshawaty, Kyai Mutawakkil menjadi ketuanya.

Perjalanan hidup yang keras menempanya menjadi pribadi yang kokoh, namun tetap sederhana. Ia merasakan betul kemandirian kala jauh dari rumah. Pernah suatu ketika ia memasak nasi namun tidak matang. “Nasi tidak pernah masak (matang, Red). Kalau dak hangus, ya mentah. Cuci baju kalau banyak pasti ada yang hilang, dan saya waktu itu diketawain sama teman-teman,” katanya sembari tersenyum.

WISUDA: KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah saat melakukan proses wisuda pada wartawan tadatodays.com Zainur Rifan.

Karena itu, ia selalu mendidik santrinya untuk hidup mandiri. Kemandirian itulah yang nantinya menjadi bekal mereka kala berada di tengah-tengah masyarakat. Santri menurutnya tak hanya pandai dalam ilmu agama. Namun juga harus menjadi problem solver.

“Kejar yang manfaat, takzim dan taat kepada guru, ikuti aturan pesantren, di situ ilmu akan berkembang kepada disiplin ilmu yang lain. Karena ilmu yang bermanfaat walaupun sedikit, akan membuahkan hasil dan kegunaan-kegunaan yang luas,” pesannya. Yang paling penting, lakukan semua kegiatan untuk mengharap rida Allah SWT.

Selama menempuh pendidikan, Kyai Mutawakkil tak hanya menuntut ilmu formal. Ia juga aktif di berbagai organisasi. Mulai Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Bahkan ketika di Mesir, Kyai Mutawakkil juga aktif organisasi Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU).

Aktivitasnya di organisasi ketika muda, berlanjut ketika memegang pesantren. Ia pernah menjadi wakil ketua Rabithat Ma'ahid al-Islamiyah (RMI-NU) Jawa Timur; lalu menjadi Ketua RMI-NU Jawa Timur, dan menjadi pengurus PWNU Jawa Timur. Sebelum kemudian terpilih menjadi Ketua PWNU Jawa Timur mulai dari 2013-2018 dan menjadi Presiden Komisaris TV9 Nusantara. (zr/sp)


Share to