Kisah Farah Fadiana Ningrum, Penyedia Rumah Aman Kucing di Jember

Dwi Sugesti Megamuslimah
Dwi Sugesti Megamuslimah

Tuesday, 15 Jul 2025 17:56 WIB

Kisah Farah Fadiana Ningrum, Penyedia Rumah Aman Kucing di Jember

RUMAH AMAN KUCING: Farah Fadiana Ningrum, penyedia Rumah Aman Kucing.

Tidak Akan Membiarkan Kucing Telantar

JEMBER, TADATODAYS.COM - Di sebuah rumah kontrakan sederhana di Kelurahan Tegal Besar, Kecamatan Kaliwates, Jember, terdengar suara riuh puluhan kucing yang saling bersahut. Di sanalah Farah Fadiana Ningrum (33) menepati janjinya pada diri sendiri: tidak akan membiarkan kucing-kucing sakit, telantar, atau dibuang begitu saja ke jalanan.

Hampir setiap hari, Farah menempuh perjalanan puluhan kilometer dari desanya di Sempolan, Kecamatan Silo. Bukan untuk liburan atau bekerja kantoran, tapi untuk membersihkan luka-luka kucing yang tertabrak, memandikan tubuh yang kurus kotor, dan menyuapi mereka dengan pakan yang entah darimana harus dia beli esok harinya.

PENGHUNI: Beberapa kucing yang tinggal di Rumah Aman milik Farah.

“Dulu pertama kali saya bawa kucing itu karena dia ditabrak. Kakinya patah, berdarah. Saya nggak tega ninggalin,” kata Farah lirih, mengelus kucing belang yang meringkuk di pangkuannya saat ditemui tadatodays.com, Selasa (15/7/2025).

Sejak 2021, tanpa banyak bicara ia merawat kucing-kucing itu, hingga kini jumlahnya mencapai 45 ekor. Di rumah aman yang ia sewa, beberapa kucing bersandar di kotak kardus. Sementara yang lain berjalan pelan, sebagian pincang, sebagian baru sembuh. Tak ada yang dibeda-bedakan. Semua dianggap anak sendiri.

Tapi jalan menuju ke sini jauh dari mulus. Farah yang kini berprofesi sebagai tukang ojek konvensional mengaku sempat dipecat dari pekerjaan lamanya di toko online. Alasannya? Karena atasannya tidak suka dia memelihara kucing.

“Katanya dia jijik sama kucing. Saya disuruh pilih kerja atau kucing. Ya saya nggak bisa ninggalin kucing-kucing itu,” ceritanya, menahan napas.

BERSIH: Farah Fadiana Ningrum saat membersihkan kucing-kucingnya di Rumah Aman Kucing.

Di kampungnya sendiri, ia juga pernah diprotes habis-habisan. Tetangganya sampai membuat baliho bernada usiran. “Saya waktu itu bingung harus bagaimana. Tapi saya pilih datang ke Dinas Kesehatan, minta solusi,” tuturnya. Baginya, membela hewan bukan berarti melawan manusia, tapi mencari jalan tengah.

Farah tahu betul konsekuensinya. Menghidupi diri sendiri saja sulit. Sekarang ia harus menyediakan tiga kilogram pakan setiap hari. Uang seratus ribu rupiah, baginya, bukan sekadar angka di dompet—tapi batas tipis antara lapar dan kenyang bagi puluhan nyawa.

“Kalau nggak ada uang seratus ribu, ya mereka nggak makan,” ucapnya pelan, sambil mengusap kepala seekor anak kucing yang meringkuk manja di pangkuannya.

Sudah empat tahun Farah bertahan di jalan sunyi ini. Ia tidak digaji. Tidak ada donatur tetap. Hanya penghasilan dari menarik ojek yang dipakai untuk membayar sewa rumah kontrakan, membeli pakan, obat, hingga pasir kucing.

Yang sehat, katanya, akan ia lepaskan. Tapi yang sakit, ia tak sanggup tinggalkan. Mereka tinggal di sini, menunggu sembuh, menunggu kesempatan hidup.

Ia tidak menuntut pujian. Yang ia harapkan hanyalah kebijakan yang lebih manusiawi dari pemerintah. “Saya berharap ada program sterilisasi. Supaya kucing dan anjing yang telantar jumlahnya nggak terus bertambah,” tuturnya.

Di tengah keterbatasan dan penolakan, Farah tetap berdiri. Karena baginya, rumah aman kucing bukan sekadar tempat berlindung. Tapi bukti bahwa masih ada yang peduli pada mereka yang tak bisa bicara, pada luka yang tak bisa minta tolong.

Dan di sudut rumah kontrakan itu, Farah membuktikan satu hal sederhana tapi mendalam: kasih sayang tidak pernah kenal kata menyerah, bahkan untuk hewan sekalipun. (dsm/why)


Share to