Kisah Lakon dan Realitas Ludruk yang Menyertainya

Tadatodays
Tadatodays

Sabtu, 01 Jul 2023 15:08 WIB

Kisah Lakon dan Realitas Ludruk yang Menyertainya

“Mustahil untuk mencintai kampung sendiri tapi tidak tahu sejarah yang sebenar-benarnya “ RZ.Hakim

--------------------

WAKTU menunjukkan pukul 20.51 WIB. Perjalanan menuju lokasi pagelaran Ludruk Jember pada Senin (8/5/2023) di Desa Sukojember, Kecamatan, Jelbuk, Kabupaten Jember dimulai. Setelah melewati perkebunan pohon karet dan menembus gelapnya malam, penulis akhirnya bertemu dengan bapak-bapak berselendangkan sarung berjalan searah di sebuah pertigaam desa.

Saat ditanya, ia membenarkan malam itu akan ada tontonan ludruk. Dengan petunjuk dari bapak tersebut, penulis akhirnya tiba di lokasi pagelaran ludruk.

Terlihat bapak-bapak, ibu-ibu disertai canda tawa anak-anak memenuhi jalan kecil di antara pedagang kaki lima yang berjualan lengkap dengan sorot lampu terang. Suara alunan musik dangdut menandakan pagelaran ludruk akan dimulai.

Lipyanto, seniman dan pelestari Ludruk Jember mengajak penulis ke belakang panggung yang menggunakan teras rumah warga untuk berdandan.

Tak hanya pelakon, terlihat banyak warga yang berdesakan untuk melihat para pelakon berdandan. Tak jauh, juga terdengar warga menyalakan petasan untuk menambah kemeriahan malam itu.

Di antara kepulan asap rokok, suara musik gamelan, ngejung dan obrolan warga, Lipyanto yang akrab dipanggil Cak Lip (56 tahun) dan Soetomo (60 tahun) siap menceritakan sejarah panjag Ludruk Jember.

LUDRUK: Para Penari Remo (perempuan) dan salah satu Lakon (laki-laki) Ludruk Kelompok Suryoutomo tengah menampilkan dagelan di awal pertunjukan Ludruk yang dilaksanakan di Desa Sukojember, Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember.

 

LEMBAGA UTAMA DEMI RAKYAT UNTUK KEMERDEKAAN

Cak Lip melemparkan sebuah pertanyaan kepada penulis.

"Kamu tahu tidak kepanjangan kata ludruk?” kata dia.

Dengan tersenyum Cak Lip mengeja kepanjangan ludruk dengan perlahan.  "Lembaga… utama… demi… rakyat… untuk … kemerdekaan.”

Soetomo yang akrab dipanggil Pak Tomo adalah seorang juragan kelompok ludruk Jember. Duduk di atas sebuah kotak artistik –kotak untuk menyimpan perlengkapan ludruk dan mengenakan baju koko, sarung serta peci, ia memulai menceritakan perjalanan kelompok ludruknya.

Kelompok Ludruk Suryoutomo yang ia pimpin lahir pada 1983 silam. Selama memimpin kelompok ludruk, Pak Tomo dua kali bercerai dengan alasan kedua mantan istrinya cemburu dengan kesibukannya di kelompok ludruk.

"Istri saya yang dua itu cantik-cantik tapi kami bercerai. Terus menikah sama yang pemain ludruk juga. Itu istri saya yang sekarang,” kata dia sambil sambil menunjukkan sang istri yang tengah berdandan.

Cerita itu lantas memberikan gambaran tentang besarnya cinta pak Tomo akan kesenian ludruk. Pak Tomo kemudian menunjukkan seorang perempuan pemain ludruk termuda di kelompoknya.

Sementara itu, Cak Lip mengatakan masalah terbesar yang kerap dihadapi oleh kelompok ludruk adalah soal regenerasi. Saat ini, jarang muda-mudi yang memiliki ketertarikan akan ludruk bahkan tidak mengenal ludruk. Regenerasi tentu menjadi hal penting sebab jika tidak ada penerus maka bagaimana kesenian ini akan terus lestari dan bernilai.

Selain persoalaan regenerasi, hiburan modern yang mudah diakses dan ditemui juga menjadi masalah baru. Para pelestari ludruk tentu berharap agar nasib ludruk tidak senaas kesenian tradisional masyarakat lain yang kini mulai hilang dari permukaan.

RITUAL LEGITIMASI ATAS ALIENASI

Pertunjukan ludruk umumnya dimulai dengan tarian remo atau ngeremo, lalu dilanjut dengan lawakan dan lakon sebagai pertunjukkan terakhir. Sebagai satu kesenian rakyat, tatanan pertunjukan bisa saja berubah, hal ini lumrah terjadi karena tidak ada pakem pertunjukan ludruk yang mengikat. Ludruk hadir dengan berbagai perubahan menyesuaikan sejarah suatu wilayah, penggunaan bahasa, dan perubahan lain disesuaikan dengan masing-masing wilayah.

Jember memiliki ciri khas atas penyajiannya. Para pemeran ludruk Jember biasanya menggunakan percampuran bahasa Jawa dan Madura untuk menampilkan lawakan dan lakon ludruk. Berdasarkan obrolan penulis dengan Yongki Gigih Prasisko, seorang peneliti ludruk Jember pada 6 Maret 2023, penggunaan percampuran dua bahasa ini terjadi karena masyarakat Jember berasal dari migrasi masyarakat Madura dan Ponorogo sehingga melahirkan percampuran dari dua bahasa Jawa dan Madura.

Yongki juga menambahkan, jika secara tidak langsung ludruk menjadi satu media untuk melegitimasi eksistensi kebudayaan dari kebingungan masyarakat atas banyaknya kebudayaan yang hadir.

Penampilan lakon Babat Djember maupun Babat Sempolan menjadi jawaban atas kebingungan kebudayaan atau keadaan akan migransi (kesadaran yang muncul karena perbedaan budaya dari tempat asal dengan tempat migrasinya). Penonton tidak hanya diajak untuk melihat pertunjukan drama sejarah saja, namun juga turut diajak untuk memahami kebudayaan tempat tinggalnya.

Dalam artikelnya yang bertajuk Ludruk Jember: Ritual Masyarakat Perantauan, ia menemukan jika kesenian dapat dianggap sebagai cara masyarakat memahami, memaknai dan mengalami lingkungannya. Artinya, ludruk tidak hanya sebuah seni pertunjukan semata namun juga sebuah bentuk ritual dan media untuk melegitimasi eksistensi masyarakat di Jember.

PERSIAPAN: Para pemain dan lakon ludruk kelompok Suryoutomo tengah bersiap di belakang panggung. 

 

MENGGALI ARTI DARI TEKS DAN KONTEKS

Karakteristik pertunjukan ludruk dengan beberapa seni pertunjukan lain ialah para pemain dan pemeran lakon yang mayoritas berjenis kelamin laki-laki.

Hal ini bukan pertanda bahwa kesenian tengah meminggirkan salah satu jenis kelamin atau adanya dominasi atas suatu pertunjukan. Nyatanya sejarah tengah mengaburkan kesetaraan dan keberdayaan pada manusia tanpa memandang jenis kelaminnya.

Jauh sebelum hari ini, ludruk dalam seni pertunjukkan memiliki makna yang sangat menghargai perbedaan gender. Hal ini didukung dengan pernyataan Wahono Simbah, salah satu dalang dan budayawan asal Yogyakarta saat ditemui Tadatodays 23 Maret 2020

"Akan menjadi suatu kewajaran dalam tradisi, misale (misalnya) laki-laki dengan pembawaan alusan, tidak membicarakan dia banci, koe (kamu) dijadikan mban (asisten raden/asisten putri). Meskipun dia cowok didandani cewek tapi tidak dilandasi satu landasan apapun hanya karena de’e (dia) nek (kalau) karakter gagahan ra kecekel ki karaktere (jika dia berkarakter gagah tidak akan maksimal), dia lebih ke alusan (feminism)," Jelasnya.

Simbah Wahono juga menjelaskan dalam konteks sebaliknya pun lumrah terjadi, Gatotkaca yang umumnya diperankan oleh laki-laki bisa saja diperankan perempuan ketika seorang perempuan tersebut memiliki sifat gagah dan pandai menari memerankan gatotkaca.

MENJAWAB KESETARAAN

kepada ludruk yang seharusnya dilihat secara menyeluruh melalui teks dan konteks. Tentu ini akan memiliki makna berbeda dalam konteks politik dan wacana maskulinitas.

Ludruk hadir dan berkembang di masyarakat sejak masa kolonial, saat itu pertunjukan dilakukan dengan cara ngamen atau berpindah dari rumah ke rumah. Masyarakat kala itu menyebutnya dengan pertunjukkan Lerok atau Besut. Pertunjukan ini dimainkan oleh  pemain berjumlah 2-4 orang dengan jenis kelamin laki-laki dan beberapa tokohnya berdandan menyerupai perempuan.

Cak Lip menceritakan bagaimana kondisi Lerok pada masa kolonial. “Sebelum ludruk namanya Lerok, kalau Lerok kaya ngamen, mainnya di halaman-halaman,” jelasnya.

Setelah berpindah ke Surabaya, Lerok merubah identitasnya menjadi Ludruk. Dengan identitas barunya, Ludruk memiliki tujuan untuk menyebarkan informasi dan media propaganda tentang penjajahan dan nasionalisme.

Sejarah ludruk juga membawa nama satu tokoh besar yaitu Cak Durasim. Ia menjadi pelopor ludruk yang hingga hari ini menjadi panutan bagi para pelestari ludruk tak terkecuali Cak Lip.

Cak Lip bercerita pada ludruk masa Cak Durasim ada satu kalimat paling ikonik dalam penampilan Ludruknya, kalimat itu menjadi sindiran sekaligus kalimat yang membawa Cak Durasim ditarik ke dalam jeruji besi,

Pagupon Omahe Doro, Melok Nippon Tambah Soro,” yang berarti: pagupon adalah rumah burung dara, ikut Nippon (Jepang) tambah susah.

Kembali kepada posisi dan kondisi ludruk, periodisasi waktu menjadi titik awal melihat politik dan wacana yang terjadi di masa perkembangan ludruk. Hal ini dapat menjadi jawaban mengapa ludruk banyak menggunakan pemain laki-laki.

Ludruk yang lahir di zaman kolonial memiliki fungsi tidak lagi hanya sebagai bentuk hiburan semata namun menjadi media propaganda penyebaran informasi tentang penjajahan. Kegentingan ini menyebabkan seluruh pemeran berjenis kelamin laki-laki dengan mempertimbangkan mobilisasi ludruk.

Perempuan juga turut memiliki peran, bertandang di belakang untuk membantu menyiapkan amunisi. Artinya tidak ada marginalisasi gender dalam pementasan ludruk bahkan saat pertama kali digagas untuk ditampilkan.

Hari ini di tengah masifnya teknologi dan globalisasi, ludruk juga turut mengalami perubahan, baik fungsi bahkan pemerannya. Ludruk memiliki fungsi yang lebih komprehensif dan tidak hanya berfokus menjadi media propaganda saja. Namun juga turut menjadi kesenian pertunjukan hiburan hingga ritual atas kebingungan kebudayaan.

PROXIMUM DAN REMOTUM

Semakin dekat jarak subjek semakin jelas tentunya dalam melihat. Namun kita perlu menyadari sejauh mana memberi ruang pandang dan sejauh mana kedekatannya. Dekat yang berlebih akan mengaburkan sekitarnya, jauh yang berlebih akan mengaburkan subjek yang kita lihat.

Ludruk berhasil bukan hanya sebagai seni pertunjukan hiburan masyarakat tapi juga dalam banyak fungsi lain. Melihat ludruk sebagai bentuk politik maskulinitas tentu kurang tepat karena sebagai kesenian ia memiliki posisi dan kondisi yang turut menyertainya.

Para pemain yang didominasi laki-laki dan bahkan didandani selayaknya perempuan adalah satu bentuk sejarah yang maknanya harus dilihat lebih mendetail lagi.

Perbedaan dan diskriminasi dalam kasus gender yang kerap terjadi menjadi refleksi bersama, sebab jauh dari hari ini bahkan hingga saat ini ludruk dapat menyajikan kesenian dengan keberagaman gender yang lebih cair, mudah diterima masyarakat bahkan tanpa ada penolakan.

Hal ini semestinya menjadi titik awal untuk melihat keberagaman, perbedaan dan bahkan keberdayaan melalui cara masyarakat berinteraksi dan memahami lingkungannya. Penglihatan secara dekat menjadi penting karena kita dapat mengenali detail dari objek yang kita lihat. 

Ludruk sebagai kesenian menunjukkan bahwa jauh sebelum teori feminisme barat hadir di negara kita, kesenian masyarakat telah melakukan dan menjalankan kesetaraan dan keberdayaan dengan cukup adil tanpa meminggirkan salah satu jenis kelamin atau membentuk satu dominasi gender. Perasaan tidak menghakimi dan mengenal keberagaman ternyata telah diwariskan oleh leluhur kita. Berbekalkan kesenian, kita dapat lebih mengenal keberagaman.

***

Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS. (*)


Share to