Lukman Hakim, Santri Alumni Ponpes Tarbiyatul Muballighin Blitar dan Kiprahnya

Zainul Rifan
Zainul Rifan

Friday, 22 Oct 2021 00:01 WIB

Lukman Hakim, Santri Alumni Ponpes Tarbiyatul Muballighin Blitar dan Kiprahnya

BANGGA: Lukman Hakim, merupakan salah satu alumni Ponpes Tarbiyatul Muballighin, Sukorejo, Kota Blitar. Kini, ia menjadi Ketua KPU Kabupaten Probolinggo.

PROBOLINGGO, TADATODAYS.COM - Pada tahun 2015 lalu, Pemerintah Pusat telah menetapkan Hari Santri Nasional (HSN) diperingati setiap tanggal 22 Oktober. Penetapan HSN itu sebagai bentuk apresiasi pemerintah terhadap jasa perjuangan kalangan santri, yang berperan besar dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Nah, pasca kemerdekaan RI, kiprah santri masih terus mengisi sendi-sendi kehidupan. Banyak dari alumni pondok pesantren (ponpes) yang menduduki jabatan penting di tengah masyarakat. Baik jabatan politik, pemerintah, maupun organisasi lainnya.

Salah satunya adalah Lukman Hakim. Ia kini menjabat Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Probolinggo. Lukman merupakan santri alumni Ponpes Tarbiyatul Muballighin, Sukorejo, Kota Blitar.

Selama 5 tahun, pria kelahiran Blitar, 13 November 1980 WIB ini menempa pendidikan di Ponpes Tarbiyatul Muballighin.

Tadatodays.com berkesempatan bertemu dengan pria yang dikenal murah senyum ini. Pada Selasa (19/10/2021), tadatodays.com bertemu di kantor KPU Kabupaten Probolinggo, Jalan Panglima Sudirman, kelurahan Semampir, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo.

Lukman bercerita, ia memulai pendidikannya sejak 1987 di TK Alhidayah, Desa Jeding, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar. Kemudian setelah lulus, ia langsung melanjutkan ke SDN Jeding. Tahun 1994, ia pun lulus dari sekolah tersebut.

Ia kemudian melanjutkan ke MTs Bendo, Blitar. Nah, di Mts itu ia sudah mulai tertarik untuk nyantri. Keinginan untuk menimba ilmu di pesantren itu baru ia mulai sejak ia duduk di bangku kelas 2 MTs.

Karena tak ingin meninggalkan sekolahnya, iapun memilih Ponpes Tarbiyatul Muballighin, Sukorejo, Kota Blitar, yang kala itu diasuh oleh Kyai Abdur Rohim Siddiq. Karena dengan mondok di ponpes terseabut, ia bisa sekolah di luar tanpa harus sekolah di ponpesnya.

ORGANISATORIS: Selain sebagai santri, Lukman juga aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Universitas Negeri Malang. Karenanya, ia tak canggung saat memimpin rapat KPU.

Usai lulus Mts, ia terus melanjutkan ke SMAN 1 Blitar. Meski sudah berpindah sekolah, Lukman tetap menetap di pondoknya. Barulah setelah lulus SMA, pada tahun 2000 ia mulai keluar dari ponpesnya karena harus menempu jenjang kuliah di Universitas Negeri Malang (UM) untuk. "Saya ambil jurusan bahasa arab di UM,"  kata putra dari Almarhum H. Abidin dan Almarhumah Hj. Isbandiyah ini.

Jurusan itu diambil, katanya, karena memang ingin memperdalam ilmu bahasa arab yang sudah ia pelajari sejak di pesantren dulu. Selain itu, nilai rapor tertinggi pada waktu SMA adalah pelajaran agama islam, sehingga ia mampu lulus pendaftaran tanpa seleksi melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).

Di kampus itulah banyak organisasi yang ia ikuti, baik organisasi intra ataupun ekstra kampus. Posisi penting ia raih di organisasi kemahasiswaan yang digelutinya. Di antaranya, Ketua Komisariat Sastra Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) UM, pengurus harian Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas, dan Sekjen BEM UM.

Hanya saja karena pernah sakit tipus, ia terpaksa harus menunda kelulusannya di UM. Yang awalnya harus lulus pada tahun 2004, karena penyakitnya itu, ia harus lulus pada tahun 2005, molor satu tahun. Meski begitu, tidak membuat dirinya patah semangat untuk terus belajar. "Pada tahun 2008, melanjutkan S2," jelas ayah dari satu anak ini.

Sebelum melanjutkan S2, ia lebih dulu menikah dengan gadis pujaan hatinya, Nita Nuraini, wanita asal Desa Bucor, Kecamatan Pakuniran, Kabupaten Probolinggo.

Pertemuan Lukman dan Nita ditakdir saat masih kuliah di UM. Saat menikahi istrinya itu, Lukman masih bekerja sebagai wartawan di Jawa Pos Group Surabaya.

Di tengah kehidupan keluarga kecilnya itu, Lukman dan istrinya memutuskan untuk kuliah S2 pada tahun 2008. Nita melanjutkan di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), sedangkan Lukman di Universitas Islam Negeri Surabaya (UINSA).

Setelah lulus dari S2, ia tetap bekerja di Jawa Pos Group. Hanya saja tidak sebagai jurnalis, melainkan di bagian percetakan Temprina. Hingga, ia memutuskan untuk pindah ke Probolinggo pada tahun 2014. "Saya juga mengundurkan diri dari pekerjaan itu," ujarnya.

BERMANFAAT: Ilmu yang didapat Lukman Hakim semasa nyantri di Ponpes Tarbiyatul Muballighin, banyak disalurkan di lingkungan kantor KPU Kabupaten Probolinggo. Termasuk, saat ia mengisi kegiatan keagamaan di musala kantor KPU.

Sesampai di Probolinggo ia bingung untuk bekerja di mana. Singkat cerita, ia mencoba mendaftar di Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Probolinggo. Dengan modal pengalamannya saat kuliah menjadi Sekretaris Pemilu Raya UM, ia diterima di Panwaslu dan selesai pada tahun 2015.

Usai di Panwaslu, ia mencoba keberuntungan untuk mendaftarkan diri sebagai dosen di Universitas Nurul Jadid (Unuja) Karanganyar, Paiton, Probolinggo. Nasib baik kembali menghampirinya, dan diterima sebagai dosen Unuja.

Kemudian pada tahun 2019, ia kembali mencoba peruntungannya dengan mendaftar sebagai komisioner KPU Kabupaten Probolinggo, dan diterima. Hingga saat ini KPU Kabupaten Probolinggo dipimpin olehnya. "Untuk dosennya, saya cuti," ucapnya.

Dari sederet profesi itulah, Lukman menyebut bahwa banyak pengalaman saat ia nyantri dan bermanfaat di kehidupannya saat ini. Bahkan, ia juga masih sangat mengingat saat hafalan Alfiah, di mana hafalan itu merupakan bagian dari syarat agar bisa Nahwu dan bahasa arab.

Hafalan itu yang membuat dirinya penasaran. Karena hingga saat ini, ia masih belum menghafal secara keseluruhan.

Ia juga menceritakan kalau perkembangan ponpesnya setiap tahun ada kemajuan. Di mana saat ia mondok jumlah santrinya masih ratusan. Kini, jumlah santri di Ponpes Tarbiyatul Muballighin mencapai ribuan. "Cuma saya lama tidak kesana (ponpes)," akunya, dalam perbincangan itu.

selama nyantri ia sangat mengidolakan sang pengasuh Kyai Siddiq, yang dikenal baik dari akhlak dan ilmunya, hingga menjadi suri tauladan yang baik bagi semua orang.

Di kesempatan itu, ia berpesan kepada santri untuk terus beradaptasi. Sehingga santri tidak sampai ketinggalan di era digitalisasi ini. Percepatan teknologi yang menuntut semua orang harus kreatif. Meski santri dilarang pagang gadget, namun pada saat di sekolahnya, santri pasti diajari tentang digitalisasi. Sehingga tidak ada alasan bahwa santri itu ketertinggalan.

Menurutnya, lama memegang gadget belum tentu dapat membuat peningkatan kemampuan. Karena saat ini gadget bukan digunakan untuk belajar, melainkan digunakan untuk bermain game. Hal ini yang bisa memberi kesempatan kepada para santri untuk bisa jauh lebih berkembang dan maju dari orang-orang seperti itu.

Ia menjelaskan kalau yang terpenting saat ini, santri harus mempunyai kesadaran, baik dalam kesadaran beragama, kesadaran mencari ilmu, kesadaran berorganisasi, kesadaran bermasyarakat, dan kesadaran berbangsa. Hal itu sesuai dengan tema HSN tahun 2021 ini, yakni Santri Siaga Jiwa Raga. "Man jadda wa jadda," katanya menutup pembicaraan. (zr/don)


Share to