Magisnya Situs Kawitan di Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi

Rifky Leo Argadinata
Rifky Leo Argadinata

Monday, 22 Aug 2022 10:33 WIB

Magisnya Situs Kawitan di Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi

MAGIS: Situs Kawitan peninggalan Mpu Barada yang berada di dalam Alas Purwo, Banyuwangi.

Di Taman Nasional Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, ada Situs Kawitan. Sampai saat ini, situs peninggalan Mpu Barada ini tetap kental dengan kesan magis. 

--------------------

SITUS Kawitan berada di dalam Taman Nasional Alas Purwo. Butuh waktu sekitar satu jam dari gerbang masuk Taman Nasional Alas Purwo untuk sampai di Situs Kawitan.

Aroma dupa langsung tercium menyengat begitu mengunjungi Situs Kawitan. Aroma tersebut berasal dari dupa sesajen yang baru saja dibakar.

Kawitan berasal dari kata "wiwitan" yang berarti awal. Adapun situs tersebut berada di tengah hutan yang dikelilingi pepohonan tinggi menjulang. Sinar matahari yang masuk amat sedikit, karena tertupi rimbunnya pepohonan. Ini yang membangun suasana situs menjadi cenderung redup, hening dan  sakral.

Tampak luar situs tersebut seperti pura pada umumnya. Ada gapura sebagai pintu masuk dan patung di setiap sisinya. Lalu ada tumpukan batu yang tersusun mengelilingi situs yang dianggap suci bagi umat Hindu.

Tumbuhan hijau seperti lumut dan paku - pakuan menutupi permukaan batuan yang tersusun. Ini menambah kesan bahwa situs tersebut sudah lama eksis.

Mangku Sulemi, juru kunci Situs Kawitan, saat ditemui tadatodays.com pada Sabtu (20/8/2022), menuturkan bahwa situs tersebut baru kali pertama ditemukan pada 1965 oleh beberapa masyarakat sekitar di Kecamatan Tegaldlimo. Saat itu masyarakat hendak membuka lahan pertanian baru di kawasan tersebut.

Saat tengah membersihkan rerumputan, warga secara tak sengaja melihat tumpukan batu bata. Karena kurangnya pengetahuan, bongkahan batu bata itu dibawa pulang ke rumah. "Mereka bawa pulang itu batu batanya dan digunakan sebagai perabotan rumah," ujar Sulemi.

Masyarakat menggunakan batu bata tersebut sebagai tungku dapur. Ada pula yang menggunakan  batu bata itu sebagai teras rumah. “Tak berselang lama, mereka yang mengambil bebatuan tersebut  banyak yang menerima musibah hingga jatuh sakit dan beberapa meninggal dunia," ungkap Sulemi.

Beberapa hari kemudian, mereka secara bersamaan bermimpi mengembalikan batu tersebut ke asalnya. Lalu dengan dipandu pemuka agama setempat, akhirnya mereka mengembalikannya. Sejak itu, kawasan tersebut disakralkan dan dilindungi.

Gapura Situs Kawitan mengarah ke timur. Bentuk gapuranya menyerupai gapura Kerajaan Majapahit dengan jalan setapak berwana putih seperti menambah kesan spiritual yang amat tinggi. “Situs Kawitan merupakan gerbang kedewataan, yang digunakan sebagai cara kita untuk meminta keselamatan dan petunjuk kepada Sang Pencipta," katanya.

Di bagian dalam situs terdapat bongkahan batu besar yang tersusun, dibalut kain warna kuning. Bagian atas bongkahan batu tersebut digunakan untuk meletakkan sesajen persembahyangan.

Mangku Sulemi menjelaskan, Situs Kawitan merupakan tempat bertapa maharesi umat Hindu jaman dahulu, yakni Mpu Barada atau guru dari Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan. Tokoh ini konon pernah mengalahkan Calon Arang yang membuat kerusakan di Bali. “Di sini tempat Mpu Barada melakukan pertapaan untuk meminta petunjuk agar mampu mengalahkan Calon Arang," jelasnya.

Sejak saat itulah umat Hindu di kawasan tersebut sangat menghormati dan merawat Situs Kawitan. Bersamaan dengan umat Hindu Bali, mereka membangun pura yang amat megah yang lokasinya sekitar 20 meter dari Situs Kawitan yang diberi nama Pura Giri Selaka.

Adapun Situs Kawitan menjadi tujuan utama ketika ada peribadatan yang dilakukan umat Hindu dari berbagai daerah. Di antaranya untuk peribadatan Hari Raya Galungan, Kuningan dan sebagainya.

Mitosnya, siapapun yang mengajukan pemohonan dan mencari petunjuk di Situs Kawitan, bakal dikabulkan. Karena itu, masyarakat berbagai lapisan, mulai dari para pejabat dari orde baru hingga pasca reformasi, banyak yang melakukan pertapaan hingga membawa bunga dan dupa di Situs Kawitan.

"Yang datang kesini dari berbagai kalangan masyarakat umum, serta tidak ada batas antar agama. Mereka bisa memohon supaya diberi petunjuk," terang Sulemi. (rl/why)


Share to