Mantap Berwirausaha, Tolak Jadi Karyawan Meski Gaji Tinggi

Zainul Rifan
Zainul Rifan

Monday, 27 Apr 2020 20:25 WIB

Mantap Berwirausaha, Tolak Jadi Karyawan Meski Gaji Tinggi

SUKSES: Ibnu Hajar Dewantara di toko emas Sahabat miliknya yang berada di Pasar Semampir, Kecamatan Kraksaan. Spirit sebagai santri ia implementasikan sebagai seorang pengusaha.

Nilai-nilai pesantren seperti kemandirian, menjadi pegangan bagi Ibnu Hajar Dewantara. Termasuk ketika memutuskan menolak pinangan Toyota Astra meski ditawari gaji tinggi. Ibnu -begitu ia disapa- ingin mewujudkan cita-citanya saat mondok satu dekade silam. Yakni menjadi pengusaha.

DALAM deretan pertokoan di dalam Pasar Semampir, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, terdapat sebuah toko emas bernama Sahabat. Siapa sangka, pemiliknya adalah pria muda jebolan pondok pesantren. Dia adalah Ibnu Hajar Dewantara, menantu KH. Abdul Halim Hamid, pengasuh Ponpes Ar-Rofi’iyah.

Ditemui usai melaksanakan ibadaha salat Tarawih, Minggu (26/4/2020), putra pasangan Ahmad Humaidi dan Magfirotun Hasanah ini tampak bersantai di kediamannya yang berada dalam satu kompleks dengan ponpes. Dengan senyum lebar, Ibnu menyambut kedatangan tadatodays.com.

Obrolan kemudian larut pada cerita masa lalu. Dmulai saat Ibnu nyantri hingga sukses sebagai pengusaha toko emas. Ia mengatakan, pilihan menjadi entrepreneur merupakan cita-citanya saat itu. Karena itu, selepas lulus S1 dari Universitas Brawijaya Malang pada tahun 2014, ia tak melamar di perusahaan se agai karyawan.

Pria yang juga akrab disapa Gus Iib ini mengaku pernah mondok di dua pondok pesantren di Kabupaten Probolinggo. Pertama, yakni Ponpes Darul Lughoh Walkaromah, yang terletak di Kelurahan Sidomukti, Kecamatan Kraksaan. Ia mondok di pesantren itu setelah lulus dari SDN Brabe 1 pada tahun 2007.

Sembari mondok, Gus Iib juga menempuh pendidikan formal di Madrasah Tsanawiyah di lembaga pendidikan ponpes selama 3 tahun. Setelah lulus, pada tahun 2007, ia melanjutkan Pendidikan ke MA Model Zaha, sekaligus mondok di pesantren Zainul Hasan Genggong, Kecamatan Pajarakan.

Walaupun sudah merampungkan pendidikan agama di 2 ponpes besar, pria kelahiran 18 Agustus 1992 ini masih haus akan ilmu. Ia teringat pesan kyainya bahwa lulusan pesantren tak harus menjadi ustaz atau guru ngaji. Selain itu, ia masih memendam hasrat menjadi pengusaha. Karenanya, Iib memutuskan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi.

Jurusan Ekonomi Universitas Brawijaya Malang menjadi pelabuhan ilmu selanjutnya. Iib termasuk mahasiswa yang tekun kuliah. Karenanya, ia mampu menyelesaikan pendidikan S1 3,5 tahun, lebih singkat dari waktu normal 4 tahun. Bahkan, Iib juga lulus dengan predikat sebagai lulusan terbaik saat itu.

SAYANG KELUARGA: Gus Iib bersama keluarga besar dari sang istri.

“Saya teringat pesan guru saya kalau santri itu tidak harus jadi guru ngaji, makanya saya kuliah dan ambil jurusan ekonomi. Setelah lulus, saya ditarik oleh perusahaan Toyota Astra dengan tawaran gaji Rp 7,5 juta. Saat itu saya tolak karena saya maunya jadi entrepreneur,” kenang suami Musdalifah ini.

Iib lantas teringat dengan cita-citanya yang pernah dibahas saat sedang mondok. “Dulu selesai kegiatan pondok, teman-teman di Ponpes Zainul Hasan Genggong yang saat itu berjumlah 25 orang, diskusi mengenai cita-cita nanti,” katanya. Kebiasaan mendiskusikan masa depan itu berlanjutk saat kuliah bersama kawan-kawan seorganisasi.

Ibnu saat kuliah aktif mengikuti organisasi intra kampus yakni Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen (HMJM) dan pernah menjadi ketua. Serta organisasi ekstra kampus yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). “Kami dengan teman-teman diskusi mau jadi apa nanti. Ketawa saya kalau teringat masa itu,” katanya tersenyum.

CITA-CITA BESAR: Salah satu momen saat Gus Iib menjalani pendidikan di MA Model Zaha dan mondok di Pesantren Genggong.

Kesuksesan yang ia raih saat ini tidak luput dari dukungan orang tua dan istri tercintanya. Saat ia masih sekolah, orang tuanya merupakan petani dan karyawan toko emas. Orang tuanya mewariskan ilmu tentang emas kepadanya. Begitu semangatnya menekuni emas, skripsinya pun ia meneliti tentang perekonomian emas.

Saat lulus kuliah 2014 lalu, ia langsung menjaminkan tanah orang tuanya sebesar Rp 350 juta ke bank. Uang pinjaman itu ia gunakan sebagai modal merintis usaha toko emas. Dengan modal itu ia memberanikan diri membuka stan di Pasar Semampir hingga saat ini. “Alhamdulilah saat ini sudah lunas pinjamannya,” kata pria yang juga hobi badminton.

Saat ini, ia tak hanya disibukkan dengan mengurus usahanya, tapi juga membantu sang mertua mengajar santri yang berjumlah 800 orang. Di sela-sela mengajari santrinya, pria kelahiran Desa Brabe, Kecamatan Maron ini juga menyisipkan motivasi agar santri bisa berkiprah dimanapun berada.

“Sangtri harus berani bermimpi setinggi mungkin. Jangan takut untuk mengambil risiko. Karena di situlah letak kesuksesan,” pungkas bapak satu anak ini sembari menyeruput minuman hangat yang telah disediakan. (zr/sp)


Share to