Melampaui Batas: Kisah Basir & Fitri, Pasutri Disabilitas Netra di Pasuruan

Amal Taufik
Monday, 29 Sep 2025 16:11 WIB

KELUARGA: Basir, Fitri dan putri kecilnya, Aira.
Jangan Cepat Menyerah Pada Keadaan
NAMANYA Ahmad Basir, seorang disabilitas netra. Ia lahir di Kabupaten Tasikmalaya 37 tahun lalu. Kini ia tinggal di rumah berukuran 72 meter persegi di Jalan Hasanudin Gang 13, Kelurahan Karanganyar, Kota Pasuruan.
Jumat (29/8/2025) pagi, Aira (6), anak kedua Basir, tengah bersepeda di depan rumahnya. Mengetahui ada tamu, Aira memanggil ayahnya.
Basir menyahut dari dalam, mempersilahkan masuk jurnalis tadatodays.com. Basir menyorongkan tangan, menyalami jurnalis tadatodays.com. Basir kemudian menyuguhkan piring berisi jajanan pasar.
TERAPIS: Basir saat menerapi salah seorang pasiennya.
Tak lama kemudian, Basir pamit ke dapur untuk menyeduh kopi. Ia menyalakan kompor lalu menjerang air. Sembari tunggu mendidih, tangannya meraba toples di dapur, membuka tutupnya, lalu menghirup baunya. “Nah ini kopi,” katanya.
Basir memakai kaos lengan panjang warna hitam. Tiba-tiba ia bilang, “Wah baju kita sama, ya. Warna hitam lengan panjang,” katanya, seperti melihat jelas jurnalis tadatodays.com yang mengenakan kaos hitam lengan panjang.
Belum habis keterkejutan jurnalis tadatodays.com, Basir memberi penjelasan. “Saya low vision. Tidak buta total. Masih ada sisa penglihatan, tapi tidak signifikan. Saya hanya bisa lihat warna baju yang sampean pakai. Tapi wajah sampean, gambar pada baju sampean, tidak terlihat. Wajah sampean terlihat seperti kulit rata gitu aja,” ujar Basir.
Ini bukan kali pertama jurnalis tadatodays.com bertemu Basir. Pertemuan pertama terjadi sekitar sekitar tiga tahun lalu di Rumah Hebat Disabilitas Kota Pasuruan. Basir saat itu sempat memijat kaki dan memberi saran kepada jurnalis tadatodays.com agar mengatur pola makan dan rajin berolahraga. Itu agar tidak asam urat.
Basir sosok yang supel. Ia gampang mengakrabi siapa saja dan gemar bercerita berbagai hal. Kepada Aira, caranya bertutur sebagai ayah terdengar kalem.
Sekitar pukul setengah 7 pagi, Basir berangkat mengantar Aira yang sekolah di SD Al Irsyad Pasuruan. Jaraknya hanya seperlemparan jagung dari rumahnya.
Basir menyusuri jalan perkampungan yang lebarnya hanya cukup satu mobil. Jalanan masih sepi pagi itu. Matahari belum menyengat. Udara terasa suam-suam kuku.
Setelah mengantar Aira, Basir kembali pulang dan kembali berbincang dengan jurnalis tadatodays.com sembari menikmati seduhan kopi. “Hari ini saya ada pasien satu. Jam 8. Rumahnya dekat kok. Di Perumahan Karya Bhakti,” kata Basir.
GURU: Fitri menjalankan tugasnya sebagai seorang guru.
Suami Terapis, Istri Guru
Sehari-hari, Basir adalah seorang terapis. Sedangkan istrinya, Fitri Astuti Baningtyas (43), adalah guru di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 2 Kota Pasuruan. Fitri juga merupakan disabilitas netra. Mereka berdua pasutri disabilitas netra.
Di rumahnya, Basir dan Fitri berbagi tugas untuk urusan domestik. Seperti ketika jurnalis tadatodays.com bertamu hari itu, Fitri sudah lebih dulu berangkat. Dengan begitu, urusan-urusan domestik seperti menyiapkan perlengkapan Aira hingga membersihkan rumah, seluruhnya ditangani Basir.
Saat ini Basir memiliki sekitar 17 pasien tetap di wilayah Pasuruan. Mereka adalah penderita stroke, hingga anak berkebutuhan khusus. Selain di Pasuruan, Basir juga tercatat sebagai salah satu terapis di sebuah yayasan bernama Sanggar Al Ikhlas di Kabupaten Gresik.
Untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang terapis di rumah-rumah pasien, Basir terbisa bersepeda, selain ojek. Basir sudah terbiasa mengayuh sepeda antar kecamatan.
Bahkan ketika pergi ke rumah keluarganya yang berada di Kecamatan Gondangwetan, Basir juga mengayuh sepeda. Padahal, dari rumahnya sampai ke Gondangwetan itu jaraknya sekitar 9 hingga 10 kilometer. “Bersepeda itu seperti meditasi bagi saya,” kata Basir.
Tapi, hari itu jurnalis tadatodays.com sengaja menyiapkan diri mengantar Basir ke manapun rumah pasien yang ditujunya.
Sekitar pukul 07.45, kami tiba di rumah Andi (65). Basir menyapa hangat semua orang yang ada di rumah itu: Andi, istrinya, hingga asisten rumah tangganya.
Ketika kami datang, Andi sedang di teras rumahnya, duduk di kursi roda mengenakan kaos dalam warna putih bercelana pendek. Basir lalu mendorongnya masuk ke dalam.
Proses terapi pun dimulai. Tangan Basir cekatan menerapi pasiennya. Ia tampak tahu betul harus menyentuh, menggerakkan, dan memulihkan titik mana saja. Mulai kepala hingga kaki. Sembari menerapi, ia mengajak Andi ngobrol.
Menurut Basir, mengajak ngobrol pasien adalah bagian dari psikoterapi. Biasanya dia mengajak ngobrol masa muda atau mengingat momen-momen membahagiakan pasien. Andi sesekali terlihat tersenyum saat ngobrol dengannya.
“Karena memang dengan begitu pasien akan merasa gembira. Pikirannya senang. Lalu sentuhannya saya pakai bio energi. Jadi ketika mijat, energi saya ini mengalir. Kemudian fisioterapi dengan menggerakkan tubuh pasien, supaya sendi-sendinya tidak kaku. Jadi setiap terapi ketiganya itu saya lakukan, psikoterapi, bio energi, dan fisioterapi. Meski juga disesuaikan dengan kebutuhan pasien,” tutur Basir.
Kami pulang pukul sekitar pukul 10.00 WIB. Basir bilang, setelah salat Jumat agendanya adalah live di aplikasi Tiktok. Ketika sampai rumah, sebuah paket teronggok di depan pintu. Isinya parfum. Basir adalah seorang penyuka—jika tidak bisa dibilang kolektor—parfum. Ia hafal berbagai merk parfum berikut jenis dan baunya.
Paket yang baru tiba itu ia bongkar, isinya langsung ia comot. Tutup botol dibuka, lalu hidungnya mengendus ujungnya. “Ah, nggak cocok ini buat siang hari,” katanya.
“Sampean suka parfum juga nggak, Mas?” tanya Basir kepada jurnalis tadatodays.com dan dijawab anggukan.
TIKTOKER: Melalui live tiktok, Basir berbagi inspirasi dan motivasi.
Tiktok dan Film Kung Fu
Hari itu usai salat Jumat, Basir menyiapkan perlengkapan live Tiktok. Ia menata lampu, audio, mixer, dan segalanya sendirian. Kabelnya banyak sekali. “Ini boro-boro orang yang tidak bisa lihat, orang yang bisa lihat juga kalau tidak biasa dengan audio ya bingung. Kabelnya banyak banget,” ujarnya.
Tak lama kemudian Basir mulai live Tiktok. Beberapa pengikutnya bergabung. Mereka saling sapa. Live hari itu Basir membahas bagaimana cara meningkatkan rasa percaya diri pada anak. Ia bercerita panjang lebar sambil sesekali menimpali komentar dan bercanda dengan pengikutnya di Tiktok.
Tidak sampai setengah jam, Basir mengakhiri live. Sebelum mengakhiri, ia sempat menyanyikan lagu berjudul Mangu karya Fourtwnty. “Saya jarang buat konten nyanyi. Yang sering buat konten nyanyi adik saya. Coba sampean cari namanya ‘Kankan’ di Tiktok.”
Basir dan adiknya terlahir dalam kondisi kehilangan penglihatan. Keterbatasan ini menjadikan dia, sejak umur 5 tahun, sudah melakukan praktik terapi kepada orang di kampungnya menggunakan medium air. Warga desa sering meminta air yang, oleh Basir, sudah dibacai Al Fatihah dan doa-doa pengusir penyakit.
“Apa yang membuat orang-orang minta suwuk ke sampean? Sampean dianggap sakti?” tanya jurnalis tadatodays.com.
“Orang-orang di sana waktu itu percaya kalau anak atau orang cacat itu jiwanya pasti suci dan Allah menganugerahi kelebihan. Padahal ya sebenarnya sama saja,” jawabnya.
Hingga menginjak bangku sekolah, Basir masih sering dimintai meniup doa ke dalam air. Di masa itu pula ia mulai tergila-gila dengan film kung fu.
Kesukaannya terhadap film kung fu mendorongnya untuk belajar tenaga dalam, tapi dengan catatan: tanpa melibatkan kontrak kerja dengan jin, iblis, dan setan dari jenis apapun. “Waktu SMP saya kan di Bandung. Ada satu perguruan. Nah di situlah saya belajar tenaga dalam,” ujarnya.
Di perguruan itu Basir berlatih keras, terutama latihan fisik. Ia pernah berlatih jalan menggunakan tangan hingga tubuh ditindih beton. Latihan itu ia lakoni secara rutin. Dari selepas maghrib hingga tengah malam.
Menurutnya, beberapa orang mengikuti latihan di perguruan itu untuk keperluan adu jotos di luar sana. Berbeda dengan dirinya. “Hasil saya latihan harus bisa menolong orang lain. Dengan cara apa? Terapi.”
Di situ juga Basir bertemu dengan guru spiritualnya. Sang guru mengajarkan banyak sekali nilai-nilai positif, mulai mendekatkan diri kepada Tuhan, membantu orang lain, melayani orang lain secara ikhlas.

Namun kerasnya latihan itu hanyalah satu sisi dari hidup Basir. Di luar perguruan, ia harus menghadapi kenyataan yang tak kalah berat. Ia lahir dengan keterbatasan penglihatan di tengah keluarga pas-pasan. Sejak kecil ia sudah belajar menanggung cibiran dan mengatasi rasa minder. Kesabarannya ditempa oleh beragam peristiwa yang ekstrem.
“Ayah saya pernah depresi. Ya bagaimana tidak, sudah keluarga kami ini tidak mampu, ibu saya mau berangkat jadi TKW, anaknya lahir cacat, dua pula. Jadi di keluarga kami itu bukan hanya saya dan adik yang di-bully, tapi sekeluarga di-bully,” katanya membuka cerita.
Ia mengingat, peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1997. Sang ayah yang dia kenal selalu sabar menghadapi berbagai cibiran tetangga yang menyebar seperti riak air got, suatu ketika meledak. Benar-benar meledak. Ledakan itu terjadi di masjid, ketika salat Jumat.
Basir menyaksikan sendiri peristiwa itu. Hari itu masjid penuh. Suasana jemaah salat Jumat tampak benar-benar sedang berbahagia. Tapi tidak dengan Ayah Basir. Sang ayah jengkel dengan khatib saat itu.
Menurut Basir, ayahnya tahu betul keseharian sang khatib. Dalam penilaian sang ayah, apa yang disampaikan khatib saat khotbah berbeda dengan kehidupan sehari-harinya.
Entah bagaimana sang ayah memendam amarah dalam dirinya, tiba-tiba dinding amarah itu bobol, lalu meluncur dari mulut dengan keras. Suasana khusuk langsung pecah. Jemaah menganggapnya gila. Mereka kaget, gaduh, lalu tampaknya berubah jadi amarah kolektif.
Basir melihat sendiri bagaimana sang ayah kemudian diseret keluar, lalu dibawa ke tepi sungai, setelah itu dilempar. Ayah Basir terbang dari tebing 20 meter lalu mendarat dengan kondisi bersila di atas batu.
Setelah kejadian, Basir bersama ibunya mencari-cari ayahnya di lokasi, tetapi tidak ketemu. “Dia tiba-tiba pulang dalam kondisi ketawa-ketawa, nangis-nangis sendiri,” ujar Basir.
Setelah itu beberapa kali sang ayah mencoba bunuh diri menggunakan golok. Basir yang masih kecil, berkali-kali harus berhadapan dengan golok telanjang demi menggagalkan upaya bunuh diri ayahnya.
“Saya sekecil itu sudah berhadapan dengan golok telanjang. Bayangkan sendiri bagaimana mental saya waktu itu.”
Berbagai pengalaman itu yang kemudian menaja jalan ninjanya sebagai terapis hingga saat ini: berpegang pada keikhlasan, menjadikan setiap sentuhan sebagai doa, dan memaknai pelayanan pada orang lain sebagai ibadah.
Hadiah Umroh untuk Menikah
Basir menempuh kuliah di Universitas Negeri Surabaya pada tahun 2008. Di masa kuliah ini pula Basir bertemu Fitri. Mereka bertemu di organisasi Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni). Tresno jalaran saka nggelibet. Aktivitas bersama di organisasi membuat mereka saling mengenal satu sama lain hingga buih-buih cinta muncul.
Dalam sebuah klaim sepihak, Basir menyebut Fitri yang lebih dulu jatuh cinta padanya. Sementara Basir jatuh hati kepada Fitri mula-mula karena kagum dengan kemandirian Fitri.
“Dia sosok yang mandiri. Pergi ke mana-mana tidak ditemani. Ke Yogyakarta, ke Malang, dari Malang ke Surabaya, dari Pasuruan ke Surabaya, semua sendirian. Perempuan, tuna netra, tapi dia tidak punya hambatan apapun. Di situ saya mulai muncul rasa kagum,” tuturnya.
Tahun 2012, Basir menyampaikan keinginannya melamar Fitri kepada ayahnya. Ia bilang akan pergi ke rumah Fitri di Kepanjen, Kabupaten Malang. Sang ayah langsung menyusul ke Malang.
Ketika itu, ayahnya sempat bertanya dengan nada berat: dari mana ongkos pernikahan akan didapat? Ia bahkan menawarkan untuk menjual sebidang tanah di kampung. Basir menolak.
Dengan keyakinan penuh Basir berkata, biarlah Tuhan yang mengatur semuanya. Tak lama setelah itu, telepon berdering. Dari seberang, seseorang mengundangnya hadir ke sebuah acara partai. Tak disangka, di situlah rezeki itu datang: hadiah umroh.
Panitia membolehkan dirinya hanya mengambil uangnya, tanpa umroh. Kabar gembira ini segera ia sampaikan kepada ayahnya. Tangis sang ayah pecah, seperti hujan pertama yang menyejukkan kemarau. Pernikahan berlangsung di Malang dan Basir mampu mengongkosi semua keluarganya datang ke hari paling bahagianya saat itu.
Setelah menikah, mereka tinggal di Pasuruan. Fitri diterima mengajar di SLBN 2 Kota Pasuruan. Mimpinya kemudian adalah memiliki tempat tinggal. Ia, dengan keyakinan penuh, bisa membeli rumah dalam waktu tak lebih dari 1 tahun. “Saya tiap bangun tidur itu baca Al Fatihah. Dapat rumah ini. Harganya waktu itu Rp90 juta waktu itu.”
TEKUN: Fitri menjalankan tugasnya sebagai seorang guru dengan penuh ketekunan.
Perempuan Pembelajar Tekun
Senin (1/9/2025) jurnalis tadatodays.com ganti mengikuti Fitri mengajar di SLBN 2 Kota Pasuruan. Jurnalis tadatodays.com dipersilahkan masuk kelas. Ada lima murid di dalam kelas itu. Empat dari mereka adalah disabilitas daksa dan satu lagi sepertinya murid dengan down syndrome.
Hari itu, Fitri memberi tugas kepada muridnya mengeksplor lingkungan. Mereka diminta mengamati sekitar, mencatat hewan apa saja yang hidup di sekitar sekolah. Sambil menunggu murid-muridnya mengerjakan tugas, Fitri mengajak mereka bercerita peristiwa sehari-hari dan bercanda. “Saya sudah 15 tahun mengajar di sini. Alhamdulillah tahun 2022 lolos PPPK,” katanya.
Pertemuan dengan jurnalis tadatodays.com dengan Fitri ini juga bukan kali pertama. Lima tahun lalu kami pernah bertemu Fitri di komplek sekolah yang sama.
Waktu pertama bertemu itu, jurnalis tadatodays.com menanyakan bagaimana Fitri menjalani mobilitasnya setiap hari. Dari rumah ke sekolah, dari sekolah ke rumah.
Dia menjawab naik ojek, naik grab, lalu dia lancar bercerita diskon-diskon apa saja yang rutin muncul di aplikasi tersebut.
Pertanyaan lainnya, bagaimana Fitri menggunakan ponsel? Ponsel tenryata sudah melengkapi perangkatnya dengan fitur yang ramah bagi pengguna disabilitas netra. Fitur tersebut semacam pembaca layar yang tiap pengguna mengoperasikan ponselnya, dia akan bicara.
Fitri kemudian membuka salah satu grup WhatsApp, memperlihatkan bagaimana dia membaca pesan. Salah satu pesan yang agak panjang di-klik. Pembaca layar langsung membacakan isi pesan itu. Tapi karena suaranya sangat cepat, di telinga sepert terdengar “wkkjdwetrekwiskdkwetekdjbcwkwkwk”.
Tapi, Fitri tahu betul maksud pesan itu. “Ini ada teman di Al Irsyad tidak masuk.”
Menurut Fitri, speed pembacaan pesan bisa disetting, bisa diperlambat lagi. “Ya saya kalau nggak ngerti seperti pesan-pesan yang disingkat-singkat, biasanya tak copy lalu masukkan laptop, tak baca satu-satu,” ujar Fitri.
Fitri mengaku sudah hidup inklusif sejak sekolah dasar. Ia yang lahir di Gondanglegi, Kabupaten Malang, ketika menginjak sekolah dasar harus jauh dari keluarga. Ia bersekolah di Surabaya hingga SMA, lalu menempuh kuliah pendidikan luar biasa di Unesa pada tahun 2002.
Hidup sejak SD jauh dari orang tua menjadikan Fitri tumbuh sebagai sosok yang mandiri. Dengan keterbatasan yang dimiliki, ia tumbuh sebagai perempuan pembelajar yang tekun. Selain mengajar, Fitri juga mumpuni dalam urusan menyanyi dan qari.
“Saya ini dulu nangisan. Ya gimana jauh dari orang tua. Belum lagi teman-teman ngompori begini, ‘ngapain kamu jauh-jauh di Surabaya, kamu dibuang ta sama orang tuamu’ Tapi setelah dewasa saya tahu, kalau orang tua saya tidak menyekolahkan saya di Surabaya, mungkin saya tidak jadi apa-apa sekarang.”
Ia menikah dengan Basir tahun 2012. Saya bertanya, ketika awal menikah, bagaimana dia melakukan aktivitas domestik seperti, memasak misalnya. Bagaimana dia memotong sayur, menggoreng lauk, dengan keterbatasan penglihatan.
“Semua menggunakan feeling,” katanya sambil terkekeh, “Semua itu belajar dan latihan. Wajan hampir njulek waktu posisi menggoreng, pernah. Bikin agar-agar gagal juga pernah. Pernah saya alami semua. Tapi saya bukan tipe orang yang ketika gagal lalu kapok.”
Menurut Fitri, suaminya, Basir, bukan tipikal laki-laki patriarkis. Suaminya bisa diajak kerja sama dalam urusan domestik. Jika Fitri tak sempat memasak, maka Basir yang mengambil alih. Jika Basir tak sempat membersihkan rumah, maka Fitri yang nyandak. Semua itu berjalan sejak awal menikah, tanpa perlu diskusi kesetaraan gender, feminisme, dan sejenisnya.
“Sebagai disabilitas memang harus punya mental yang kuat. Saya aja yang kerja seperti sekarang, masih ada yang meremehkan. Jangan cepat menyerah dengan keadaan dan yang paling penting jangan berhenti belajar,” pungkas Fitri.
Pertemuan dengan Fitri berakhir sekitar pukul 10.00 WIB.
Jam istirahat murid berakhir. Mereka kembali masuk ke kelas.
Dari balik dinding pembatas sekolah, jurnalis tadatodays.com mendengar suara tawa anak-anak pecah, seperti riak sungai yang terus mengalir.
Basir dengan sepedanya, Fitri dengan kelas kecilnya. Seluruh laku hidup mereka tenang, tapi penuh daya. Dunia sering menyebut mereka terbatas, padahal sejatinya merekalah yang melampaui batas-batas itu. (pik/why)

Share to
 (lp).jpg)