Menilik 1 Suro Bagi Penghayat Kepercayaan di Jember

Iqbal Al Fardi
Iqbal Al Fardi

Monday, 24 Jul 2023 11:56 WIB

Menilik 1 Suro Bagi Penghayat Kepercayaan di Jember

SURO: Suasana ritual 1 Suro yang dilakukan Penghayat Kepercayaan di Jember.

Kamis 20 Juli 2023 bertepatan dengan 1 Sura 1957. Sehari sebelumnya, Rabu (19/7/2023) sejumlah penghayat di sanggar Yayasan Puri Asih Mustika Jawa, Kecamatan Kaliwates, Jember, melakukan rangkaian ritual. Bagi para penghayat, tanggal 1 Sura memiliki keistimewaan tersendiri.

--------------------

TIDAK seperti saat sore hari yang riuh dendang lagu berbahasa Jawa, penerangan di sanggar itu cukup temaram. Para penghayat malam itu tampak khusuk mengikuti ritual.

Sebagian besar dari mereka mengenakan pakaian adat Jawa. Di atas panggung tampak beberapa wayang. Ketua Yayasan Puri Asih Mustika Jawa sekaligus sesepuh penghayat Budi Siswanto memimpin ritual.

SESEPUH: Ketua Yayasan Puri Asih Mustika Jawa sekaligus sesepuh penghayat, Budi Siswanto.

Saat tadatodays.com menemui Budi pada sore itu, Budi tampak menerima sejumlah tamu. Ia berpakaian adat Jawa berwarna hitam dengan blankon di kepala. Di bahunya, bergantung semacam kain dengan tulisan HB di ujung. “Kalau kami kan mengacu kepada budayanya Kanjeng Prabu Hamengkubuwono IV. Makanya, kami logonya HB,” jelasnya.

Budi menjelaskan bahwa tradisi 1 Sura bagi sejumlah penghayat tak jauh berbeda dengan tahun baru Muharram dan Masehi. Setiap tahunnya, lanjutnya, penghayat kepercayaan memiliki cita-cita masing-masing.

Cita-cita tersebut, Budi menerangkan, ialah keinginan mereka kedepannya. Budi mengatakan, cita-cita tersebut tidak berlabuh hanya di buku harian dengan harapan agar terkabul. Cita-cita yang dimaksud, lanjutnya, bukan juga berupa rencana besar selanjutnya.

“Tetapi, cita-cita itu lebih kepada kita harus setia. Jangan sampai ketika kita meminta kepada Tuhan (seperti, red) ‘aku mau menikah, yo, tapi kadung kuliah. Kan ada yang seperti itu,” paparnya.

TRADISI: Penghayat kepercayaan yang hadir tampak mengenakan baju adat.

Di setiap menjelang tahun baru Jawa atau 1 Sura, Budi mengatakan, biasanya penganut Kejawen, kebatinan maupun penghayat kepercayaan mengheningkan diri. Hal itu dilakukan, jelas Budi, untuk memaknai apa yang mereka inginkan.

Keinginan tersebut, kata Budi, berdasar kepada Sang Hyang atau Tuhan, bukan atas dasar nafsu. Berdasarnya keinginan pada kehendak Yang Kuasa itu, tambahnya, agar tidak keluar dari apa yang telah ditentukan oleh Tuhan.

Dari mengheningkan diri atau berkontemplasi, Budi mengungkapkan, biasanya didapatkan sebuah benang merah.

“Oh, (seperti halnya, red) pengeboman-pengeboman ini (sebab, red) kurangnya edukasi kebudayaan sehingga terjadi sekat. Jadi perlu kita melakukan hubungan interaksi antar organisasi. Kemudian dengan itu, aku menemukan satu match gitu sehingga kalau mau merusak yang lainnya rasanya eman, tek koncoku, tek dulurku,” ungkapnya.

Terkadang, masyarakat Jawa menggunakan penafsiran 1 Suro tersendiri. “Hari ini itu Kamis Pahing. Kamis itu neptunya 8, Pahing itu neptunya 9, jadi 17. Maka semua sesaji kami jumlahnya 17,” jelasnya.

Bagi Budi, permohonan di 1 Suro ini ialah kedamaian menyambut tahun politik. “Kemarin waktu njenengan WA, saya posisi pati geni. Saya di kamar memang puasa tidak menghidupkan rokok, tidak menghidupkan api selama dua minggu,” jelasnya.

Ia melanjutnya, “Dalam pati geni kami, kami hanya minta bahwa kalau bisa pemilu ini dibuat damai itu yaopo carane. Jadi jangan sampai terjadi geger-geger.”

Penghayat kepercayaan di Indonesia, Budi menjelaskan, dibagi menjadi dua, yaitu penghayat yang menganut kebudayaan dan hanya bermeditasi. “Mereka melakukan kegiatan tanpa sesajen,” katanya.

Bagi kepercayaannya, Budi menjelaskan, sesaji merupakan bentuk doa yang tidak terucap. “Seumpama njenengan nyuguhke gedang. Gedang itu artinya reget e ben padang,” katanya.

Bulan Suro tak lepas dari budaya jamasan. Budi menjelaskan bahwa setiap kepercayaan memiliki tradisi berbeda-beda dalam jamasan.

“Kalau teman-teman ada yang mengacu ke PB IV, Pakubuwono, tapi ada juga yang mengacu ke Paku Alam, Anglingkusumo, beda-beda. Kalau mereka jamasannya ke sendang, jadi ada air sumber, kayak sendang jolotundo, sedang kamandanu yang ada di Kediri, ada sendang Widodaren yang ada di Bromo. Jadi mereka ke sana,” katanya.

Bedanya, Budi mengatakan, pihaknya membawa pulang benda spiritual tersebut yang berupa air, janur dan lainnya. Setelahnya, imbuhnya, benda tersebut akan dikumpulkan dalam satu timba dan menjamasnya. (iaf/why)


Share to