Muhammad Al Fayadl: Dosen yang Produktif Menulis, Tak Canggung Terlibat dalam Konflik Agraria

Zainul Rifan
Tuesday, 12 May 2020 21:31 WIB

PEDULI: Gus Fayadl menghibur salah satu korban konflik agraria. Ia menjadi salah satu aktivis lingkungan yang memang getol dalam menyuarakan ketimpangan sosial.
Nama Muhammad Al Fayadl cukup akrab di telinga pegiat lingkungan. Meski berlatar belakang pendidikan pesantren, namun pria yang akrab disapa Gus Fayadl ini juga aktif dalam gerakan lingkungan dan konflik agraria. Dosen Universitas Nurul Jadid yang juga jebolan Perancis ini juga aktif sebagai penulis.
MUHAMMAD Al Fayadl atau yang karib disapa Gus Fayadl merupakan salah satu dosen Universitas Nurul Jadid (Unuja) di Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo. Selain dosen, putra dari KH. Maltub Siroj ini, juga tercatat sebagai aktivis lingkungan.
Di sela kesibukannya mengisi acara demi acara dan diskusi via online, Gus Fayadl menyempatkan diri untuk bisa menemui tadatodays.com. Meski sempat menjadwal ulang hingga dua kali karena kesibukannya yang amat padat. Hingga akhirnya, Jumat (8/5/2020) tadatodays.com berhasil menemui Gus Fayadl.
MAGNET: Alumnus Universite Paris ini juga menjadi magnet bagi jurnalis yang meminta pendapatnya terkait lingkungan
Ditemui di rumahnya yang berada di dekat pintu masuk Pos 2 Ponpes Nurul Jadid, ia mulai bercerita tentang jenjang Pendidikan yang dilaluinya. Mulai dari MI Nurul Mun'im, Karanganyar Paiton dan kemudian merantau ke Madura untuk nyantri di Ponpes Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, di tahun 1996.
Selain nyantri, ia juga menempuh pendidikan formalnya di MTs Anuqayah. Setelah lulus pun, Gus Fayadl masih tetap mendiami pesangtren sembari melanjutkan pendidikannya ke MA Annuqayah. Tak kurang 6 tahun ia menjadi santri. Setelah itu, ia melanjutkan studinya di Fakultas Ushluhudin IAIN Sunan Kalijaga.
Saat di pesantren, Gus Fayadl mengaku bukan termasuk santri yang lurus-lurus saja. Ia mengaku tergolong anak yang nakal dan sering bolos ngaji. Karena itulah, saat ini ia merasa ilmunya kurang cukup. Namun, bolos ngaji bukan untuk bersenang-senang. Ia diam-diam keluar pondok untuk membaca buku.
Gus Fayadl mengaku lebih suka membaca atau belajar otodidak dari pada mendengarkan atau menyimak. Hal yang justru jadi tradisi di pesantren. Meski jarang ikut mengaji, ia mengaku tetap berusaha semaksimal mungkin untuk memahami ilmu yang ada di pesantren. Caranya dengan banyak membaca.
“Nyaris semua ilmu yang saya pelajari itu hampir sebagian besar saya belajar otodidak. Dalam arti menjelajah sendiri. Kebiasaan belajar sendiri itu yang masih saya lakukan sampai sekarang,” tutur lelaki kelahiran 14 Oktober 1985 ini.
SATU TUJUAN: Bersama aktivis FNKSDA, Gus Fayadl terus menggelorakan semangat mencintai lingkungan.
Saat di pesantren ia sering meminjam buku-buku koleksi perpustakaan pribadi Prof. Dr. Kyai Abd. A'la yang sekarang menjadi pengasuh Ponpes Annuqayah. Kebanyakan yang dipinjam adalah buku filsuf barat. Rasa ingin tahunya yang tinggi, serta ingin berbeda dengan teman sebayanya, membuatnya melahap lebih banyak literatur.
Setelah lulus dari perguruan tinggi, ia kemudian kembali ke Ponpes Nurul Jadid. Sekitar tahun 2010, Gus Fayadl kemudian mengabdi menjadi dosen di Unuja. Setahun berselang, ia Kembali nyantri di Ponpes Ciganjur Jakarta. Di Jakarta hanya bertahan 8 bulan, karena pada tahun 2012 ia melanjutkan studi pasca sarjananya ke luar negeri.

Prancis menjadi destinasi Pendidikan magisternya. Yakni di Universite Paris8 atau Universitas Vincennes di Saint-Denis dengan mengambil konsentrasi Filsafat Kontemporer. Tidak sampai satu tahun, ia kemudian pulang sejenak untuk menikah dengan istrinya yang bernama Mabruroh. Ussai menikah, baru Gus Fayadl Kembali ke Paris hingga lulus.
DISKUSI: Seminar menjadi salah satu medium perjuangan Gus Fayadl dalam mengelola isu-isu lingkungan.
“Saya itu banyak berutang budi sama Prof. Dr. Kyai Abd. A'la. Koleksi perpustakaannya sering saya pinjam. Buku-buku literatur barat sebenarnya. Kyai A'la ini putranya pengasuh, sekarang belia menggantikan ayahnya menjadi pengasuh (Annuqayah, Red),” jelasnya. Memilih Paris juga karena dorongan literatur yang dibacanya.
Paris dalam sudut pandang positif menurut Fayadl, merupakan kota budaya yang sarat dengan ilmu pengetahuan. Selama di Paris, ia juga tak menghentikan kebiasaannya: berdiskusi. Rata-rata yang menjadi teman diskusinya adalah kawan-kawannya dari Afrika dan Asia.
Kecintaannya pada NU juga membuatnya terlibat dalam struktur kepengurusan PCI NU Perancis. Tercatat ia pernah menjabat Ketua Tanfidziah PCI NU Perancis. Ia juga aktif sebagai pengurus di organisasi yang didirikan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Perancis. Yakni Perhimpunan Masyarakat Islam Indonesia Perancis (Permiip).
Selama di Perancis, Gus Fayadl juga sering berinteraksi dengan TKI. Bahkan, ia menjadi guru ngaji para mualaf-mualaf dari berbagai negara. Baik dari Perancis sendiri ataupun dari negara lainnya. “Jadi ada beberapa orang yang belajar ngaji ke saya. Ada yang mualaf, ada juga yang Islam tapi kurang lancar ngajinya,” katanya.
Dari sederet pengalaman itulah, Gus Fayadl mengakui bahwa menjadi suluh peradaban itu tidak mudah. Terutama mengubah kebiasaan yang buruk menjadi baik. Termasuk soal mengkampanyekan kepedulian masyarakat pada lingkungan. “Tapi kita bisa belajar untuk meningkatkan kualitas diri,” ujarnya optimistis.
PRODUKTIF: Gus Fayadl menunjukkan buku karangannya berjudul Derrida dan Filsafat Negasi, dua di antara sederet buku yang ditulisnya.
Berkat pengalamannya itu, Gus Fayadl berhasil menuangkan ide dan gagasannya dalam buku. Ada sejumlah buku yang berhasil ia tulis. Dua di antaranya berjudul “Derrida”, judul yang ia ambil dari nama seorang filsuf Perancis bernama Jacques Derrida yang terkenal dengan teori dekonstruksinya. Buku berikutnya yakni berjudul Filsafat Negasi.
Sebagai alumni filsafat, tentu tak heran jika Gus Fayadl kenyang dengan teori Derrida, Michel Foucault, Jurgan Habermas, Friedrich Nietzsche, Jean Francois Lyotard, dan sederet filsuf barat lainnya. Tak hanya menekuni filsafat, Gus Fayadl sendiri juga concern pada isu-isu lingkungan. Terutama konflik pengelolaan SDA seperti udara, air, tanah.
Gus Fayadl juga rajin mengujungi daerah-daerah yang terdapat konflik agraria untuk berinteraksi dengan korban konflik. Persoalan itu kemudian dibawanya dalam ranah diskusi agar melahirkan solusi. Hingga kemudian ia ikut terlibat dalam Front Nahdliyin untuk Kedaulatan SDA. Ia juga aktif menulis di media sebagai sarana edukasi pada pubik.
Karena itu, pada santri maupun mahasiswanya, Gus Fayadl mengimbau agar menunjukkan kepedulian dan kepekaannya pada lingkungan. Karena pada dasarnya, agama juga memberikan perhatian dan perlindungan pada keberlangsungan alam dan isinya. “Berpikirlah jauh melampaui zaman, agar kita tahu kemana perkembangan dunia setelah ini,” jelasnya. (zr/sp)




Share to
 (lp).jpg)