Muhammad As’adi: Meretas Jalan Jadi Pendidik, Raih Sederet Prestasi sebagai Guru dan Kasek

Zainul Rifan
Zainul Rifan

Monday, 18 May 2020 23:02 WIB

Muhammad As’adi: Meretas Jalan Jadi Pendidik, Raih Sederet Prestasi sebagai Guru dan Kasek

BERI ARAHAN: Muhammad As’adi yang menjabat sebagai Kepala MTsN Paiton punya sederet prestasi yang bisa dibanggakannya sebagai pendidik maupun kepala madrasah.

Muhammad As’adi tak menyangka jalan hidupnya bakal seperti saat ini. Menjadi kepala sekolah dan pendidik dengan sederet prestasi. Padahal dulu ia berangkat dari keluarga tidak mampu. Namun, dorongan semangat sang ayah-lah yang membuatnya termotivasi.

MUHAMMAD As'adi meretas jalan saat ini melalui bangku pesantren. Tepatnya di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton. Hal itu diakui oleh bapak empat anak ini kala bertemu dengan tadatodays.com di kediamannya, di Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo.

Di sela kesibukannya mengurusi sekolah yang dipimpinnya, pria kelahiran Pamekasan Madura ini bersedia ditemui sekadar berdiskusi. As’adi kemudian menceritakan pengalaman hidupnya. Terutama jenjang pendidikan dari SD hingga SMA yang ia habiskan di kampung halamannya.

Namun, selepas SMA, anak kedua dari tujuh bersaudara pasangan Mawardi dan Halimatus Sa'diah ini berniat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Malang. Maklum, As’adi yang berprestasi sejak duduk di bangku SD bermimpi melanjutkan studi di kota pendidikan tersebut.

BERPRESTASI: Muhammad As’adi menunjukkan piala dan plakat usai terpilih sebagai Juara II Lomba Kepala Sekolah Berprestasi tingkat nasional di tahun 2016.

Namun, orang tuanya tidak membolehkannya ke Malang dan menyuruhnya untuk mondok. Sampai kemudian, ia melabuhkan harapannya meretas masa depan dengan menjadi santri di Ponpes Nurul Jadid. Tentunya, sembari melanjutkan pendidikannya di Institut Agama Islam Nurul Jadid (IAINJ) yang saat ini sudah beralih status menjadi Universitas Nurul Jadid (Unuja).

As'adi mengaku bahwa keluarganya bukanlah orang mampu. Meski begitu, modal semangat dari dirinya dan orang tuanya sehingga tetap bertekad berangkat ke Pulau Jawa tahun 1997.  Ia berangkat dengan uang saku dari hasil kerja kerasnya sebagai buruh tani tembakau milik tetangganya kala itu.

Sesampai di IAINJ Ia merasa bingung, karena jurusan yang diinginkannya sejak duduk di SD yakni matematika tidak ada di perguruan tinggi tersebut. Sehingga dengan terpaksa, ia mengambil jurusan Bahasa Arab. Alasannya, hanya ingin mudah belajar kitab dan agar saat pulang ke kampung halamannya tidak malu pada tetangga.

Lucunya, saat dites Bahasa Arab, As’adi menjawab pakai Bahasa Indonesia. Maklum, saat itu ia belum bisa berkomunikasi dengan Bahasa Arab. Namun, saat itu takdir berpihak padanya sehingga diterima di jurusan tersebut.

“Sampai di Nurul Jadid saya bingung. Karena tidak ada jurusan matematika. Hingga saya mengambik jurusan Bahasa Arab. Modalnya hanya semangat dan tekad,” terang lelaki kelahiran 21 Maret 1979 ini.

Karena pilihannya terhadap jurusan Bahasa Arab itulah, teman-temannya mengejeknya karena jurusan yang diambilnya katanya tidak prospek. Namun ia tetap bertekad agar jurusan yang dipilihnya dapat menjadi ilmu yang bermanfaat.

Satu tahun berlalu menjadi mahasiswa, tiba-tiba ada kabar bahwa ayahandanya mengalami kecelakaan hingga patah tulang paha. Mendengar kabar itu, ia kemudian pulang. Sesampainya di rumah, ia semula hendak berhenti mondok dan kuliah. Alasannya, harus menggantikan ayahandanya menjadi tulang punggung keluarga.

PROFESIONAL: Pengalamannya sebagai santri serta pernah menjabat sebagai kepala sekolah sebelumnya, membuat As’adi tak canggung dipercaya sebagai Kepala MTsN.

Namun hal itu ditolak oleh ayahnya. Sang ayah tetap meminta dirinya untuk tetep melanjutkan studinya tersebut. “Nak, yang biayai kamu itu bukan saya tapi Allah SWT. Sudah kamu lanjutkan dan pasrahkan semuanya sama Allah,” kata As'adi menirukan pesan sang ayah.

Karenanya, ia pun memutuskan tetap melajutkan studinya. Hingga pada saat semester 3 yakni pada tahun 1998, ia mendapatkan beasiswa penuh sampai lulus wisuda. Ia termasuk dari 70 persen teman-temannya yang saat itu mendapat beasiswa.

Saat itu juga dipasrahi yayasan untuk mengajar di MI dan MTs Azzainiyah II Karanganyar-Paiton, sampai lulus di IAINJ sampai tahun 2001. Meski sudah lulus dari perguruan tinggi, ia tidak pulang ke tanah kelahirannya, melainkan tetap berada di pondok. Karena setahun sebelum lulus, ia mendapat tugas untuk menjadi kepala MI Azzainiyah I Randumerak.

Betapa bangganya As’adi. Apalagi yang melantik langsung adalah KH. Zuhri Zaini, selaku Pengasuh Ponpes Nurul Jadid. Amanah itu ia sandang hingga 2003. Setelah itu, ia diangkat menjadi kepala MTs Azzainiyah I Randumerak menggantikan Syaiful Abdi, kawannya.

Kemudian Pada tahun 2004, MTsN Paiton (saat ini menjadi MTsN 1 Probolinggo, Red) membutuhkan guru Bahasa Arab. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, As’adi pun mendaftar dan ternyata diterima. Tak berselang lama menjadi guru di sekolah tersebut, ada pendaftaran CPNS yang dilaksanakan Kemenag.

Takdir berkata baik. As’adi diterima sebagai PNS. Meski begitu, ia tetap melaksanakan amanahnya menjadi kepala sekolah di MTs Azzainiyah I Randumerak, sampai pada masa jabatannya selesai di tahun 2005. Di tahun yang sama ia mempersunting Vera Susanti, istrinya yang memberikannya 4 anak.

SAYANG KELUARGA: Potret kebersamaan Muhammad As’adi dan sang istri Vera Susanti, bersama keempat anaknya.

Lalu pada tahun 2009, Ia melanjutkan kembali studinya ke pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Malik Ibrahim (Maliki) Malang dengan progam beasiswa penuh. Tak hanya biaya studi, ia juga mendapat uang untuk biaya hidupnya selama kuliah hingga lulus tahun 2011.

Sederet prestasi ditorehkannya selama berkarir sebagai pendidik. Mulai juara 1 guru berprestasi tingkat MTs tahun 2012, Juara I Lomba Kepala Sekolah Berprestasi tingkat provinsi, dan Juara II Lomba Kepala Sekolah Berprestasi tingkat nasional di tahun 2016.

Prestasi sebagai kepala sekolah berprestasi diraihnya kala ia dipercaya sebagai kepala sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Brani Kulon, Kecamatan Maron, yang saat ini menjadi MIN II Probolinggo. Hingga akhirnya pada tahun 2017, ia diangkat menjadi kepala MTsN I Probolinggo sampai saat ini.

Prestasinya sebagai kepala sekolah juga mengantarkannya untuk studi banding ke luar negeri. Tepatnya ke Universitas Jonsu, Finlandia. Kesempatan ini diberikan sebagai penghargaan yang diberikan oleh Direktorat Jendral Guru dan Tenaga Pendidik (GTK) Kemendikbud.

Sejatinya, perjalanan studinya tak mulus-mulus amat. Saat di pesantren ia mengaku pernah tidak punya uang untuk makan. Sehingga harus makan sisa nasi gosong masakan temannya yang melekat di penanak nasi. Ia juga bercerita tak memegang uang saku lebih karena memang jarang dikirim oleh orang tuanya.

“Pernah sekali saya tidak punya uang untuk makan. Lalu saya makan nasi gosong sisa masakan teman. Kalau dalam bahasa Madura itu rek kerek,” kenangnya. (zr/sp)


Share to