Muhammad Saifuddin: Belajar di Ponpes Setelah Gagal Masuk STAN
Muhammad Muslih
Monday, 04 May 2020 23:46 WIB
Sejak kecil, belajar di pondok pesantren bukan menjadi cita-cita Muhammad Saifuddin, Anggota DPRD Kota Pasuruan. Justru nyantri menjadi tujuan akhir setelah gagal mendaftar di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Malang atau yang saat ini berubah nama menjadi Politeknik Keuangan Negara (PKN).
MUHAMMAD Saifuddin atau yang akrab dipanggil Ipung bercerita, kisah kegagalannya masuk STAN selalu terkenang. Lantaran, alasan ia tidak masuk STAN bukan tidak lolos tes. Namun, karena keterbatasan ekonomi saat itu. Padahal keinginan untuk menjadi Akuntan Negara sudah ia cita-citakan sejak masuk SMKN 1 Pasuruan tahun 1990 hingga menjelang lulus tahun 1992.
Walaupun sudah disiapkan tiga bulan sebelumnya dengan berjualan jajan di sekolah, uang pendaftaran sejumlah 25 ribu yang menjadi salah satu syarat pendaftaran kala itu gagal ia penuhi. “Waktu itu saya hanya mengumpulkan sebanyak 15 ribu. Itupun saya sisihkan dari jualan kue setiap hari di sekolah,” ujarnya mengawali cerita tentang kisahnya dulu.
Jualan kue menjadi rutinitas Ipung remaja. Karena memang kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. Maklum orang tua Saifuddin hanya seorang kiai kampung dan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa. “Dari setiap julan, saya sisihkan 500 rupiah untuk ikut bersaing menjadi mahasiswa STAN,” kenangnya.
Begitu gagal masuk STAN, Alumni SMKN 1 Kota Pasuruan itu kemudian melanjutkan mencari pekerjaan di Kota Surabaya. “Kebetulan ada teman saya di sana jadi guru, menawari jadi TU, saya pun berangkat ke sana,” tuturnya.
DILANTIK: Muhammad Saifudin berpose istrinya pada saat Pelantikan Anggota DPRD Kota Pasuruan Periode 2019 - 2024.
Begitu orang tuanya tahu Ipung akan berangkat bekerja ke Surabaya, Ibunya pun memberikan bekal berupa beras setengah sak. “Jadi beras itu saya pikul mulai dari rumah di Pasuruan hingga turun dari Bus di Bungurasih. Saya tahu ibu tidak tega anaknya pergi ke luar kota apalagi ke daerah yang belum tentu diterima bekerja,” lanjutnya.
Ternyata ia gagal diterima di TU sekolah tersebut karena pesaingnya banyak. “Saya pun melamar kemana-kemana hingga akhirnya ke perusahaan Maspion. Begitu sudah antri lama, ternyata ijazah saya tidak ditemukan,” katanya.
Akhirnya Saifuddin pun stress dan pulang kembali ke Kota Pasuruan. “Memang doa orang tua itu mujarab. Kata ibu saya, beliau memang tidak ridho saya kerja Surabaya,” kenang pria yang hobi akuntansi ini.
Begitu di rumah, oleh sang ayah, dirinya disarankan untuk mondok. “Sudah ndak usah kemana-mana mondok saja,” ucapnya menirukan perintah bapaknya waktu itu.
Cita-cita menjadi seorang akuntan negara pun akhinya ia tumbangkan. Saifuddin kemudian mengubah haluan menjadi sorang santri. Ponpes Darul Ulum, Karangpandan, Kabupaten Pasuruan menjadi pilihan.
Saat nyantri awalnya memang sempat nangis dan minder. Maklum di usia yang tergolong tua belajar agama di pesantren terbilang telat. “Ketika awal mondok temen temen saya kecil semua. Saya agak minder,” ucapnya.
Namun, perasaan minder terus ia tenggelamkan. “Yang awalnya saya tidak tahu alfiah dan nahwu , akhirnya perlahan banyak belajar. Saya pun mulai terbiasa,” kata Wakil Sekretaris DPD Golkar Kota Pasuruan ini.
Saifuddin pun dibimbing langsung oleh Kiai KH. Hafidz Hasyim yang merupakan santri dari KH. Romly Tamim. Selama di pondok, kebiasan santri ia lakoni. Yang paling diingat ketika ngeliwet (masak nasi). Tradisi ngeliwet ini bersama teman-teman pondok paling susah untuk dilupakan. “Jadi ngeliwet bareng , makan juga bareng. Padahal kala itu ikannya hannya tempe tapi rasanya nikmat,” tegasnya.
Ketika di pondok, pelajaran yang paling berkesan adalah pembentukan mental spiritualnya. “Intinya anak pondok itu ngadep nang gusti Allah. Kedua mandiri," katanya.
Ia pun lantas memberikan dua pesan KH. Hafidz Hasyim. Kalau ingin manfaat santri harus ingat dua hal. Yang pertama hidmah intafak dan hidmah irtafak. “Pondok dan guru bisa menjadikan manfaat dan mulia," pungkasnya.
BERSAMA KELUARGA: Muhammad Saifudin bersama istri dan ketiga anaknya di kediaman mereka.
Terbersit Cita-cita Menjadi Anggota Dewan, Setelah Rawat Puluhan Anak Punk
KEHIDUPAN Saifuddin, sebelum menjadi Anggota DPRD Kota Pasuruan berliku. Niat menjadi Anggota DPRD tidak ada dalam dirinya maupun keluarga. Keinginan itu muncul setelah merawat anak punk dirumahnya.
Ya, sebelum menjadi legislator Saifuddin sempat merekrut puluhan anak punk untuk diberi pekerjaan dan ngaji dirumahnya. “Awalnya cuma dua orang, kemudian tambah banyak,” katanya.
Karena jumlah terus bertambah, ia pun kemudian menyewa lahan di jalan Sunan Ampel, Kecamatan Purworejo untuk dibuatkan basecamp. Lalu, melalui dana pinjaman, lahan itu disulap menjadi sebuah rumah baru bagi mereka sekaligus memberinya pekerjaan. “Mulai tembel ban, warung hingga kopi,” tegasnya.
Awalnya, usaha ini cukup berhasil. Tapi lama-kelamaan modal juga ikut habis. Di tengah-tengah kebingungannya, dirinya sempat meminta bantuan wakil rakyat dan pemerintah setempat. “Pada waktu itu tidak ada yang peduli, akhirnya kami pun berdoa supaya ada yang ditakdir jadi wakil rakyat. Ada yang naik pohon cherry dan lainnya untuk berdoa, setelah semua jalan sudah buntu,“ ungkapnya.
Setelah itu, tidak berselang lama kemudian, Saifudin yang tidak mengenal politik berkenalanan dengan pengurus partai Golkar. “Dari sinilah jalan politik saya dimulai. Saya mulai kenal pak Setiyono, ketua Golkar Kota Pasuruan,” ujarnya.
Hubungan itu terus berlanjut, sampai ditawari menjadi calon legislatif untuk memenuhi kuota. “Sampai datang ke rumah, saya bingung, karena modal tidak ada,” ujar suami Oktaviani Winih Asih, yang kala itu menerima pinangan untuk menjadi calon legislatif.
Menjadi caleg, sama sekali bukan cita-cita Ipung. Apalagi modal tidak punya sepeserpun. “Tapi kerena dipaksa, akhinya kami menandatangi dan mendaftarkan diri. Semuanya dibantu termasuk biaya pendaftaran hingga baliho promosi,” ungkapnya.
Setelah menjadi legislator, hingga saat ini Saifuddin belum merasa puas. Karena perjuangan yang dicita cita kan belum terwujud. “Kalau ngomong puas belum, karena kita belum melakukan apa-apa,” ujarnya.
Tapi di periode pertama, cita-citanya untuk memberikan reward bagi kepentingan agama sudah berhasil dilakukan. Yakni salah satunya memberikan reward bagi anak yang punya potensi di bidang agama mulai kesenian hingga hafal Alqur’an. “Ya itu salah satu apresiasi kami,” katanya.
Karena itu pula, akhirnya banyak oarang yang mau mengajikan anaknya. “Sebab kalau belum bisa ngaji nilai rapot maupun ijasah tidak diberikan oleh sekolah,” tegasnya. (mm/hvn)
Share to