Naskah Kuno di Jember Belum Dapat Perhatian Lebih

Iqbal Al Fardi
Iqbal Al Fardi

Monday, 03 Jul 2023 16:55 WIB

Naskah Kuno di Jember Belum Dapat Perhatian Lebih

UNDANG-UNDANG (UU) nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan pada pasal 7 huruf i menyatakan, “Naskah kuno berisi warisan budaya karya intelektualbangsa Indonesia yang sangat berharga dan hingga saat ini masih tersebar di masyarakat dan untuk melestarikannya perlu peran serta pemerintah.”

Namun, pemerintah daerah Jember disebut belum mengarsipkan satupun naskah kuno. Padahal pada pasal 10 ayat C dalam UU tersebut menyatakan bahwa pemerintah daerah berwenang mengalihmediakan naskah kuno yang dimiliki masyarakat untuk dilestarikan dan didayagunakan. Jangankan mengalihmediakan, disebut-sebut bahkan tidak ada satupun manuskrip kuno di Jember yang teridentifikasi oleh pemkab.

Apalagi, peran pemerintah daerah masih minim untuk menggali atau melestarikan benda-benda bersejarah. Hal tersebut tercermin salah satunya pada iktikad pemkab dalam membangun museum daerah yang tidak jelas hingga kini.

Sejauh apa ikhtiar pemkab Jember dalam pelestarian naskah kuno? Untuk itu, tadatodays.com mewawancarai seorang pustakawan dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dinpusip) Kabupaten Jember Fatchur Rochman pada Kamis (20/6/2023) lalu. Berikut ini wawancaranya. 

--------------------

Menurut anda, seberapa besar potensi Jember memiliki manuskrip kuno?

Kalau menurut logika, secara geografis, posisi Jember ini kan di Tapal Kuda ada di tengah. Jadi, masuk akal kalau dulu peradaban ini ngumpul di tengah. Toh, nyatanya Jember juga dikelilingi beberapa gunung. Jadi biasanya orang dulu, orang kuno itu mencari yang tengah. Jadi itu hitungan kita yang pertama.

Yang kedua, nyatanya setelah munculnya tulisannya teman-teman termasuk tanggal kelahirannya, Pemerintah Kabupaten Jember yang tanggal 1 Januari itu itu masih bisa ditelusuri lebih jauh karena ada sejarah yang memastikan bahwa Hayam Wuruk pernah datang.

Nah itu terus yang berikutnya Jember ini juga menjadi, bahasa Jembernya itu, bahasa pandalungan. Buktinya, ada pesantren-pesantren di sini itu yang tua. Itu tiga kan. Nah, dari Talangsari Mbah Muhammad Shiddiq, yang dari Mlokorejo Kiai Abdullah, yang jalur Kencong Kyai Jauhari.

Di masing-masing pesantren itu alumninya juga kan bukan hanya dari lingkup sekitar saja, banyak yang dari luar. Jadi saya mengartikan bahwa Jember ini sebagai tempat berkumpul adalah strategis. Yang kedua, ada kemungkinan ceritanya Jember juga dibawa oleh para santri itu. Jadi, kiai itu ada tata adabnya.

Kita menghormati guru itu kan biasanya sampai apapun punyanya, bahkan sampai terompahnya sekalipun. Kalau ada sesuatu yang melekat dari kiai itu biasanya kadang dibuat jimat. Dari dari bahan fisik seperti itu saja dihormati, apalagi yang bentuk tulisan.

Terus satu lagi tentang kenapa potensi naskah kuno itu sampai saat ini saya anggap bertebaran? Karena setelah kita melihat dari yang kita telusur pas ada itu ceritanya nyambung dengan daerah lain. Contohnya yang masih aktif di Boemi Poeger (Museum Boemi Poeger, red) itu dari pemilik yang sekarang menceritakan jalurnya dari Lasem, dari Rembang. Terus yang akhirnya muncul juga, teman-teman yang menceritakan seperti dari kelompok senimannya seni itu kalau naskah kuno nanti perlu kita telusuri. Jadi, saya katakan menyebar.

Sebetulnya, budaya di pesantren itu bisa kita gali lebih dalam lagi berarti Kyai yang betul-betul mengamalkan ataupun men-syiarkan Islam itu kepada santrinya pasti ada tinggalannya tinggalan yang wujud tulisan. Kalau dilihat data data jumlah pesantren yang ada di Jember kategorinya luar biasa. Jadi, otomatis kalau kita mau menelusuri dari satu jalur aja, pesantren dulu ya, itu saya yakin banyak dan tersebar.

Belum dari kelompok Hindu, kalau saya nafsir itu pasti ada. Asalkan kita mau mau hunting ya, mencari jejaknya.

Ada berapa naskah kuno yang sudah diarsipkan oleh Dinas Perpustakaan dan Arsip?

Yang kita laporkan itu masih di bawah hitungan 10, dan itu sifatnya laporan. Laporan itu tanpa dukungan, katakan foto ya atau tampilan yang lebih lengkap. Jadi selama ini, kita hanya memetakan saja. Kalau sudah nanti ada perhatian dari pihak pengambil kebijakan, dan itu harus di-DPA-kan istilahnya, daftar pelaksanaan anggaran.

Kalau ada anggarannya, pasti SDM-nya perpus itu nanti bergeraknya bisa masif. Selama ini kan karena ada tumpukan pekerjaan, yang harusnya bisa diprioritas lebih dulu. Padahal, naskah kuno ini banyak, nilai yang luar biasa bagi generasi yang datang. Kalau dioper ke prioritas satu, terus anggaran kita pasang tidak hanya informasi saja sifatnya.

Saya katakan informasi itu laporan jumlahnya dan tempatnya itu tertulis gitu saja. Tapi kalau mencari deskripsinya, nah, belum sampai selengkap itu. Sifatnya informasi hanya saya hitung saja. Saya anggap saja hitungan lokasi.

Contohnya, ini ya pengalaman kita, kita menginformasikan di Puslit Kopi Kakao itu ada. Tapi setelah kita datang ke sana, pihak yang bertanggung jawab ini sifatnya kalau di struktur organisasi orang yang levelnya rendah. Kalau kalau kita nembus langsung ke atas, kayak dipingpong gitu lho. Jadi itu yang birokrasi seperti itu yang akhirnya mengangkat kita mencari deskripsi lebih lengkap. Itu kesulitannya. Berarti selama ini hanya by address aja. By name, by description itu yang kita harapkan.

Usaha pencarian naskah kuno tersebut sudah dilakukan sejak kapan?

Kalau lebih serius lagi ini mulai setahun ini. Sudah mau naik gerakan mulai ada pandemi. Terus, membahas tentang pelestarian itu lebih intensif, baik forumnya meeting zoom maupun kita tatap muka. Itu akhirnya mulai.

Orang itu kan istilahnya witing trisna jalaran saka kulina. Semakin sering kita mengingatkan kepala itu, pimpinan, makin sering rapat masalah ini, mungkin kalau hanya satu kali dua kali, ininya lupa itu yang membuat terabaikan dan akhirnya ada jadi prioritas.

Selama ini, siapa mayoritas pemilik naskah kuno? Apakah individu atau lembaga?

Kalau dipersentase, bisa saya prediksi lebih banyak dari lembaga, contohnya yang pesantren. Tapi yang dari atas nama lembaga, sebetulnya umpama kita pendekatannya bagus, koordinasinya bagus dan bahasa birokrasinya itu diseriusi sih jadi.

Saya punya rumus dalam hal ini. Bahasa kita, bahasa daerah Jember itu, apa caen se setong, apa kata yang satu. Yang satu itu, kalau keluarga ya kepala keluarga, kalau kendaraan ya driver, kalauorganisasi kepala kantornya.

Apakah manuskrip kuno di Jember banyak yang dibawa keluar atau dicuri?

Kalau dari grup-grup yang saya ikuti ada informasi, saya dapat gambarnya, ini dijual. Jadi dengan ada gambar terus ada cerita itu kan ada.

Saya nebak ada yang memberi nilai pada barang-barang yang nilainya tidak ternilai itu berarti ada transaksi penjualan seperti itu. Ya itu berbarengan dengan, kita makin intens garap (mencari naskah kuno, red)

Apakah kemungkinan sebelum itu naskah kuno banyak dicuri?

Kalau sudah harganya tinggi kan bisa-bisa jadi mulai dulu. Kan orang dalam bisnis itu semakin makin berputar orang makan banyak yang mau beli nilainya makin tinggi.

Saya mengartikan seperti itu, menunjukkan bahwa masyarakat Jember ini belum mau belajar. Sebenarnya, kalau masyarakat Jember itu cerdas kan harus belajar dengan benar. Belajar dengan benar itu salah satunya apa yang dipesankan dari orang kuno kayak naskah kuno itu maksudnya kan kita tidak lupa. Dalam ilmu lingkup santri atau pesantren itu kan ada istilahnya tata tertib atau kitabnya namanya Ta'lim Muta'lim.

Berarti kalau kita menghargai naskah kuno ini, ilmu kita, informasi itu tidak syukur ada. Tapi dengan barengnya datangnya serangan teknologi digital, teknologi informasi, kalau masyarakat ini belum siap akhirnya kan gampang dibujuki (dibohongi, red).

Jika begitu, apakah peran pemerintah daerah dalam mengedukasi masyarkat perihal naskah kuno ini dirasa minim?

Saya ngitungnya seperti ini, apa caen se setong. Saya lanjutkan teori itu ya itu karena se setong salah. Contohnya aja organisasi ini harusnya melayani, kalau di pemerintah nyatanya jadi rebutan, yang jadi kepala di situ nggak tahu kalau di belakangnya ada main. Tapi yang didudukkan, orang yang dulu mendukung bupati contohnya ya.

Konsep seperti itu kan sudah di luar konsep melayani. Jadi orang sukses itu, siapapun yang menjadi pemimpin itu yang punya mental melayani. Selama ini, yang jadi menjabatkan karena dia melayani yang atas bukan ke umatnya.

Jadi, jangan ditaruh di perpus, tapi backgroundnya ‘orang yang dulu sudah dukung saya ditaruh’ di perpus, dibuang. Orang yang punya karakter luar dalamnya mengerti pekerjaan tapi mindsetnya bukan kepingin, bahasa Jembernya: ngatok ataupun penjilat ataupun supaya karirnya sukses, enggak. Tapi mindsetnya ya apa membentuk sesuai undang-undangnya. Yang saya tahu ya, itu di konsiderannya undang-undang perpus membentuk masyarakat pembelajar seumur hidup.

Jadi kalau mindsetnya sama, mendukung hanya apa katanya Bupati ‘belum sempurna tidak apa-apa’. Kalau konsep kembali ke Muslim, siapa yang menempatkan orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kiamatnya. (iaf/why)


Share to