Rawon Saminah, Kuliner Legendaris Pasuruan yang Berusia Lebih Setengah Abad

Amal Taufik
Amal Taufik

Monday, 13 Oct 2025 12:00 WIB

Rawon Saminah, Kuliner Legendaris Pasuruan yang Berusia Lebih Setengah Abad

RAWON: Sajian sepiring nasi rawon dan sate komoh di Rawon Saminah, Kota Pasuruan.

PASURUAN, TADATODAYS.COM - Kota Pasuruan memiliki beberapa penjual rawon terkenal dan legendaris. Salah satunya Rawon Saminah.

Tadatodays.com mengunjungi Rawon Saminah pada Minggu (12/10/2025) pagi. Warung rawon legendaris ini berdiri di salah satu bedak di Pasar Besar. Jika ingin ke sini, pengunjung bisa lewat jalan masuk pasar sisi timur.

Derap langkah pengunjung yang riwa-riwi diselingi suara knalpot sepeda motor, dan sesekali terdengar teriakan pedagang di luar, menjadikan otentisitas warung legendaris ini kuat.

Penanda warung Rawon Saminah adalah dua lembar tirai berwarna kuning. "Sejak dulu depot rawon Saminah buka di Pasar Besar," kata Nur Hidayati, pemilik warung. Ia adalah generasi ketiga penerus keberlanjutan warung Rawon Saminah.

Saminah adalah nama istri dari paman kakeknya, Adnan. Pada tahun 1957, Adnan dan Saminah mendirikan Rawon Saminah. Kebetulan pada waktu itu Adnan adalah petugas keamanan di Pasar Besar.

KULINERAN: Menikmati Rawon Saminah di Kota Pasuruan.

Saat itu memang warung rawon ini didirikan untuk menyasar segmen petugas pasar di jam sarapan, sehingga memilih jam buka pada jam 06.00 WIB. Tutupnya pun tak pernah kelewat siang. Biasanya jam 09.00 atau maksimal 10.00 WIB atau 10.30 WIB sudah tutup.

Sampai sekarang pun demikian. Jika pengunjung datang terlalu siang, warung pasti sudah tutup. "Sejak dulu hingga sekarang warung ini bukanya tidak sampai siang. Mulai 07.00 WIB, maksimal sampai jam 10.30 WIB," ujar Nur.

Rawon adalah makanan yang berusia lebih dari 1.000 tahun. Pada abad ke-10, masyarakat Jawa kuno sudah mengenal sup berwarna eksotik ini. Nama rawon tercatat dalam prasasti Prasasti Taji (901 Masehi) yang ditemukan di Kabupaten Ponorogo.

Sejarawan Universitas Padjajaran, Fadly Rahman, dalam bukunya yang berjudul 'Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makan Indonesia' (2016) menulis tentang bahan-bahan makanan yang dikonsumsi masyarakat Jawa Kuno pada abad ke-10.

Di antaranya beras, kerbau, ayam, dendeng. Prasasti lain menyebut pula sumber nabati dan hewani masyarakat Jawa kuno yakni ikan gurami, ikan kakap, daging kijang, daging babi, kecambah, kedelai, sawi dan lainnya.

Bumbu-bumbu yang dimanfaatkan antara lain, jahe, garam, bawang putih, merica, kencur, kemiri. Ketika bumbu dipadukan, masyarakat Jawa kuno sudah menghasilkan beragam makanan seperti sambel, santen, pecel, pindang rarawwan (rawon), rurujak, hingga kurupuk (kerupuk).

"Ternyata banyak jenis bahan makanan dan makanan olahan yang disebutkan dalam sumber tertulis pada abad ke-10 masih ada dalam sumber tertulis berabad-abad kemudian, bahkan hingga kini. Misalnya, pecel, rawon, lalab, pindang," demikian tulis Fadly Rahman.

Rawon memang sangat mudah dijumpai hampir di semua daerah di Jawa Timur. Tetapi di Pasuruan, rawon punya ciri khas yang mungkin tidak semua daerah punya. Itu adalah sate komoh.

Sate komoh di Pasuruan berisikan tiga potongan daging sapi, biasanya bagian has dalam. Ukuran potongannya sebesar dua jempol tangan orang dewasa. Daging itu dimasak bersama bumbu halus seperti bawang merah, bawang putih, kemiri, lengkuas, kunyit, jinten.

Setelah dimasak dan bumbu meresap, lalu daging ditusuk bambu dan dibakar sebentar. Selesai dibakar, sate dihidangkan dengan tekstur daging yang sangat empuk, sedikit lembap, dan rasa rempah yang kuat.

Di Rawon Saminah, sate komohnya terkenal lebih kering. Proses masak dilakukan dua kali. Daging yang sudah dibumbui, ditiriskan sebelum dibakar. Ada tambahan irisan daging susu tiap tusuk. "Daging diulet dulu kemudian lalu dipanaskan hingga bumbu kering," ujar Nur.

Pagi itu hadir sepiring nasi yang sudah diguyur kuah rawon dengan tauge yang sambal yang tampak seperti garnish. Aromanya harum rempah. Warna kuahnya pekat. Dan ketika disesap tanpa nasi, hidup terasa begitu indah.

Hadir pula satu tusuk sate komoh. Warnanya agak kemerahan. Meski besar dan tebal, teksturnya sangat empuk. Ramah untuk gigi. Bagian luar daging terdapat bekas pembakaran yang memberi cita rasa kering dan smoky. Rasanya medok, kuat. Cocok sebagai pendamping rawon.

"Untuk bumbu rawon, ya bumbu rawon pada umumnya, hanya cara memasaknya saja yang berbeda. Perlu disimpan dulu 2 sampai 3 hari agar rasa rawon makin enak," ujarnya.

Suud (72), warga Kelurahan Bangilan yang juga masih keluarga pendiri Rawon Saminah menuturkan, sejak tahun 1950-an berdiri di Pasar Besar, warung neneknya itu sudah ramai pelanggan.

"Saking ramainya, untuk kulakan daging sapi itu harus ke Malang. Kenapa begitu, karena kalau kulakan di Pasuruan, khawatir yang lain tidak kebagian, karena memang volumenya banyak," ujarnya.

Ia bahkan pernah dalam satu hari kulakan 3.000 butir telur bebek. Ribuan telur bebek itu akan dimasak telur bumbu bali di warung Rawon Saminah. Wajan tempat memasak dagingnya pun juga berukuran besar. "Seingat saya sangat besar. Orang dewasa bisa masuk ke wajan itu," kata Suud.

Menurut dia, pegawai Rawon Saminah saat itu cukup banyak, mulai bagian dapur hingga bagian melayani pelanggan. Pada tahun 1950-an itu, warung Rawon Saminah sudah menyajikan sate komoh.

Pada tahun 1978, Pasar Besar sempat dilanda kebakaran. Ketika kebakaran terjadi, Suud baru saja pulang dari bermain sepakbola di stadion. Dalam perjalanan pulang, ia mendapat kabar tersebut lalu bergegas ke Pasar Besar membantu menyelamatkan barang-barang di warung neneknya.

"Setelah kejadian itu, warung Rawon Saminah pindah, tetapi tetap di komplek Pasar Besar," imbuhnya.

Doni (45), salah satu pelanggan Rawon Saminah mengatakan, dirinya sejak kecil sering diajak orang tuanya makan di warung tersebut. Menu rawon dan sate komoh adalah perpaduan kesukaannya sejak kecil.

Ia mengapresiasi generasi penerus yang konsisten mempertahankan cita rasa yang diciptakan pendirinya. Doni yang mengaku kini bermukim di Jawa Barat, tiap pulang kampung ke Pasuruan selalu berkunjung ke Rawon Saminah. "Di Jawa Barat, sekalipun ada orang Jawa Timur yang jual rawon, rasanya jauh tidak bisa menandingi enaknya dengan Rawon Saminah," katanya.

Lebih dari sekadar sajian sarapan, Rawon Saminah adalah penanda waktu. Di setiap sendok kuah hitam dan harum itu, tersimpan jejak tangan-tangan yang menjaga cita rasa lintas generasi. Di tengah riuh pasar yang terus berubah, warung ini tetap menjadi ruang bagi orang Pasuruan untuk pulang pada rasa yang sama sejak puluhan tahun silam. (pik/why)


Share to