Rumah Saleh, Rumah Pergerakan
Mochammad Angga
Thursday, 10 Jun 2021 15:15 WIB
Sebuah rumah tua di pangkal Jl Dr Saleh Kota Probolinggo telah digubah menjadi Museum Dr Saleh. Rumah itu dulu merupakan tempat tinggal Dr Mohammad Saleh, seorang dokter pribumi pertama di Probolinggo. Namun, Dr Saleh bukan cuma mengabdikan diri kepada bangsanya melalui tugas kedokteran. Di rumahnya, Dr Saleh juga melibatkan diri dalam pergerakan kebangsaan.
DALAM riwayat ringkas yang tertera di Museum Dr Saleh, disebutkan bahwa Mohammad Saleh merupakan anak termuda dari 5 bersaudara pasangan Sastrodikromo dan Hj. Nalirah. Mohammad Saleh lahir di Simo, Jawa Tengah pada tanggal 15 Maret 1888.
Dokter Saleh yang menjadi salah satu tokoh pendiri pergerakan organisasi pribumi pertama, yaitu Boedi Oetomo itu memperistri Emmah Naimah. Emmah Naimah yang terlahir di Jakarta pada 1883, merupakan putri termuda dari 4 bersaudara pasangan Daeng Moehsin dan Masnoon.
Dari pernikahannya dengan Emmah Naimah, Dr Saleh memiliki 11 anak, yang terdiri atas 8 laki-laki dan 3 perempuan. Jika Mohammad Saleh mengabdikan diri kepada bangsa melalui bidang kedokteran, maka putra-putranya banyak yang mengabdi di ketentaraan dan kedokteran.
Berikut ini putra-putri Dr Saleh secara berurutan: Soeratmi Saleh lahir 1905; Soeratman Saleh lahir 1907; Marsekal Muda TNI (Anumerta) Prof. Dr. Abdurahman Saleh lahir 1909.
Berikutnya, anak keempat ialah Haroen Al-Rasyid Saleh lahir 1911; Ir. Mohammad Effendi Saleh lahir 1912; Mayjen TNI (Purnawirawan) Dr. H. Abdul Aziz Saleh lahir 1914; dan Mochtar Saleh lahir 1917.
Disusul kemudian Brigjen TNI (Purnawirawan) Dr. Alibasah Saleh lahir 1919; Soemartini Saleh lahir 1920; Marsekal Muda TNI (Purnawirawan) Dr. H. Abubakar Saleh lahir 1923; dan anak terakhirnya yaitu Soehartini Saleh yang lahir pada 1928.
Dokter Mohammad Saleh wafat pada 2 Maret 1952. Sedangkan sang istri lebih dulu meninggal dunia, yaitu pada 26 Juli 1949. Keduanya meninggal dunia di Probolinggo dan dimakamkan di pemakaman Astono Mulyo di kelurahan Wiroborang, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo. Dua putri Dr Saleh juga dimakamkan di pemakaman Astono Mulyo, yaitu Soeratmi Saleh dan Soehartini Saleh.
***
Minggu 2 Mei 2021, seorang pemerhati sejarah dan cagar budaya asal Malang Tjahyana Indra berkunjung ke Kota Probolinggo. Indra bersama istrinya, Endah Retno Sujito, menyempatkan diri singgah di Museum Dr Saleh.
Pria yang bekerja di pabrik gula ini menyebut ketokohan Dr Saleh tidak bisa dilepaskan dari sosok pahlawan nasional Abdulrahman Saleh. Nama putra Dr Saleh itu bahkan diabadikan menjadi bandar udara di Malang.
Berdasar catatan sejarah yang dipahami Tjahyana Indra, sejak ditugaskan di Probolinggo, dr Mohammad Saleh tinggal di sebuah rumah bekas pegawai dinas Hindia Belanda. Rumah itu terletak di Jalan Laoet Nomor 1. Rumah itu kemudian dikenal sebagai rumah milik Dr Saleh. Nama Jalan Laoet telah diganti menjadi Jalan Dr Saleh. Dan rumah Dr Saleh kini telah diubah menjadi Museum Dr Saleh.
Indra menuturkan, selama mengabdi di Probolinggo, Dokter Mohammad Saleh tidak hanya menjadi seorang dokter yang diperintahkan oleh Pemerintah Belanda kala itu. Dokter Saleh diam-diam juga melibatkan diri dalam pergerakan kebangsaan.
Sebagai anak priyayi, Mohammad Saleh mampu mencapai pendidikan di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) atau Sekolah Dokter Bumi Putera. Tamat dari STOVIA, Mohammad Saleh juga bersahabat degan Dr. Soetomo. Di masa prakemerdekaan, Dr Saleh dan Dr Soetomo sama ditugaskan Pemerintah Kolonial Belanda di berbagai wilayah.
Dokter Mohammad Saleh ditugaskan mulai dari Jakarta, pindah ke Boyolali, Kolonedale, Bondowoso, Pasuruan dan akhirnya sampai di Probolinggo. Dokter Mohammad Saleh ditugaskan di Probolinggo saat usianya sudah tidak muda lagi.
Sedangkan Dr Soetomo yang pernah ditugaskan di Surabaya, masih sering berkunjung di Probolinggo untuk bertemu Dr Saleh.
Pertemuan dua dokter itu tidak sekedar bernostalgia. Mereka membincang kondisi rakyat, dan berusaha mengambil peran nyata dalam pergerakan kebangsaan. Pada kunjungan Dr Soetomo di rumah Dr Saleh di tahun 1935 berbuntut pada gagasan pembentukan Parindra atau Partai Indonesia Raya.
Dalam catatan sejarah, awal abad ke-20 ditandai dengan lahirnya perjuangan gaya baru. Penerapan politik etis atau politik balas budi oleh kolonial Belanda melahirkan kaum terpelajar di Indonesia. Nah, kaum intelektual bumiputera inilah yang menggerakkan perlawanan dengan mengedepankan pikiran dan organisasi, tidak lagi melalui kekerasan dan bersifat kedaerahan.
Dr Mohammad Saleh dan Dr Soetomo bergerak di aras dan zaman tersebut. Masa-masa ini disebut sebagai era pergerakan nasional. Organisasi Boedi Oetomo (BO) menjadi perhimpunan kebangsaan yang mengawalinya.
Pada saat berusia 20 tahunan, masih menempuh pendidikan di STOVIA, Mohammad Saleh menjadi salah satu tokoh pendiri BO bersama Soetomo. Beberapa nama tokoh lain yang dicatat sebagai pendiri BO Bersama Soetomo dan Mohammad Saleh adalah Soeradji Tirtonegoro, Goenawan Mangoenkoesoemo, Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, Raden Ongko Prodjosoedirdjo, dan Raden Mas Goembrek.
Selanjutnya, banyak tokoh besar lainnya yang bergabung dengan organisasi BO, yaitu Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara), Tjipto Mangoenkoesomo, Tirto Adhi Soerjo, Pangeran Noto Dirodjo, dan Raden Adipati Tirtokoesoemo.
Organisasi Boedi Oetomo disebutkan menjalankan peran penting dalam mengawali era pergerakan nasional, sebelum lahirnya organisasi besar lain seperti Indische Partij (IP) dan Sarekat Islam (SI).
Organisasi Boedi Oetomo yang terlahir pada 1908 berakhir pada 1935 setelah perhimpunan ini melebur ke dalam Partai Indonesia Raya (Parindra) di bawah pimpinan Soetomo. Nah, proses kelahiran Parindra juga kerap dibincang Dr Soetomo bersama Dr Mohammad Saleh di rumah Dr Mohammad Saleh di Jalan Laoet Nomor 1 Probolinggo.
Bersama murid STOVIA di Probolinggo, golongan priyayi itu berkumpul di rumah Dr Saleh. Perkumpulan-perkumpulan pergerakan itu membuat rumah Dr Saleh disebut sebagai rumah pemersatu, atau "Rumah Bhineka Tunggal Ika".
Lebih lanjut, Tjahyana Indra menyebutkan bahwa Rumah Bhineka Tunggal Ika ini bukan hanya tempat untuk pengobatan yang dilengkapi apotek. Dari rumah dengan infrastruktur kuno itu juga lahir gagasan awal berdirinya Parindra.
Menurut Tjahyana Indra, sebelum tahun 1945, golongan pemuda semakin kuat keinginannya mengantar bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Terlebih pasca perang dunia kedua, banyak negara berhasil merdeka berkat perjuangan rakyatnya sendiri.
Ide tentang kemerdekaan Indonesia semakin menguat. Perkumpulan Nusantara seperti pemuda Kalimantan dan Sumatera bahkan juga berfokus kepada kemerdekaan. Maka, Rumah Bhineka Tunggal Ika di Jalan Laoet Nomor 1 Probolinggo menjadi tempat ide-ide pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan kerap dibahas. "Karena masa-masa itu marak pergerakan pemuda," kata Tjahyana Indra.
Tjahyana Indra mengatakan, catatan tentang pembentukan Parindra juga sempat ditulis oleh anak bungsu Dr Mohammad Saleh yaitu Soehartini Saleh atau Soehartini Haroemurti. Tulisan itu tertuang dalam website https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/moehammad-saleh/.
Dalam tulisan itu, kata Tjahyana Indra, Soehartini menyebutkan bahwa Dr. Mohammad Saleh saat berada di garasi rumahnya dengan menegenakan pakaian tidur pada tahun 1937 menempel stiker berbentuk bulat berwarna hijau, merah dan putih, dikaca mobilnya. Itu merupakan simbol Parindra di masa tersebut.
“Di sana Dokter Mohammad Saleh menjadi salah satu pengurusnya (Parindra). Padahal Dokter Mohammad Saleh saat itu sedang diintai oleh intelijen Belanda," ujar Indra yang merupakan putra seorang karyawan pabrik gula.
Tepatnya pada Agustus 1937, Dr Mohammad Saleh ditunjuk sebagai Ketua Pengurus Parindra Cabang Probolinggo.
Menurut Indra, meskipun secara organisasi Parindra berlandaskan kerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda, tetapi secara diplomasi mereka tetap melawan Belanda. Karena itu, Dokter Mohammad Saleh menghimpun tamatan STOVIA untuk bergerak di kancah daerah hingga nasional.
"Berbeda dengan Ir Soekarno. Soekarno menghimpun tamatan mahasiswa teknik untuk bergabung dengan nasional indishe partij," ujarnya
Dalam gerakannya, tambah Indra, Parindra tak cukup dengan menggunakan fisik menuju kemerdekaan Indonesia. Mereka juga masuk dalam sistem yang dibuat oleh Belanda dengan cara masuk menggunakan sistem kepartaian.
"Cara berpikir mereka sudah berbeda, alias berpikir cakrawala orang barat. Sudah tidak berdasarkan ego sektoral, melainkan senasib seperjuangan Nusantara meksipun beragam suku dan ras," ujar Indra.
Rumah Saleh di Probolinggo tidak hanya meninggalkan riwayat tentang sosok seorang dokter pengabdi bernama Dr Mohammad Saleh, tetapi juga mengguratkan riwayat penting tentang pergerakan kebangsaan Indonesia. (ang/why)
Share to