Sakit Fisik, Sakit Psikis, Sama Perlu Diobati

Iqbal Al Fardi
Iqbal Al Fardi

Wednesday, 21 Jun 2023 17:57 WIB

Sakit Fisik, Sakit Psikis, Sama Perlu Diobati

JUMAT (9/6/2023) lalu, seorang ibu di Kecamatan Silo membunuh seorang anaknya yang masih berumur 6 tahun dengan cara digorok. Sepekan berikutnya, tepatnya Sabtu (17/6/2023) seorang ibu lainnya asal Kelurahan Bintoro, Kecamatan Patrang diduga membunuh dua anaknya masing-masing dengan cara dijerat dan dipukul menggunakan benda tajam.

Kedua ibu tersebut diduga memiliki gangguan mental. Terlebih, usai membunuh anaknya, keduanya melakukan bunuh diri. Hal tersebut mengigatkan atas permasalahan mental di sekitar.

Apa penyebab gangguan mental dan bagaimana penanganannya? Untuk itu, tadatodays.com meminta pendapat seorang psikolog klinis dewasa sekaligus staf pengajar Fakultas Psikologi Panca Kursistin Handayani, S.Psi., M.A pada Senin (19/6/2023). Berikut wawancaranya.

---------------------

Apa respons anda terhadap dua kejadian tersebut?

Prihatin ya, yang jelas tuh kelihatan sekali. Dalam satu bulan ada kejadian yang itu hampir sama gitu. Meskipun mungkin dinamika kasusnya berbeda. Ya, saya juga tidak terlalu detail mengetahui. Tapi tampaknya mirip sekali gitu. Intinya, ya itu sangat memprihatinan sekali.

Artinya bahwa dampaknya memang masyarakat itu juga sudah harus perlu untuk sadar betul, ya. Aware betul terkait kesehatan mental, terkait kesehatan jiwa, karena ternyata hal seperti itu ada di sekitar kita. Bahkan juga, bisa jadi itu mengenai diri kita dan orang-orang terdekat kita. Nah itu yang mungkin menjadi bahan juga buat kita dan jadi pelajaran. Semoga itu tidak akan terjadi lagi hal yang seperti itu.

Jenis gangguan jiwa apa saja yang biasanya dialami oleh seseorang?

Di Jember, kasus-kasus yang banyak itu kaitannya dengan skizofrenia. Itu gangguan jiwa berat jadi yang di mana mereka sudah enggak bisa bedain nyata dan tidak. Biasanya ngomong sendiri gitu ya dan seterusnya. Kemudian depresi, baik itu yang depresi ringan ataupun depresi berat dan juga bipolar gitu ya. Itu juga juga ada dan biasanya gangguan kecemasan. Kalau kecemasan itu juga banyak, fobia.

Meskipun jarang ya, orang-orang yang datang datang ke psikiater atau psikolog karena fobia. Tetapi ada gitu, ada beberapa. Termasuk yang paling banyak itu panik, gangguan serangan panik. Kemudian psikosomatik, jadi orang-orang yang merasa dirinya sakit, tapi sebenarnya ketika datang ke dokter sudah ke mana-mana, tapi enggak ditemukan.

Tapi yang datang berobat itu biasanya kalau di masyarakat kita, terutama di Jember,Tapal Kuda kan kebanyakan berobatnya ke (RSD, red) Soebandi karena memang rujukan rumah sakit, rujukan utamanya. Yang kebanyakan datang ya mereka yang sudah parah, mereka yang memang butuh obat. Kalau cuman kaitannya dengan gangguan kecemasan bahkan depresi itu mereka masih belum datang, karena menurut mereka bayar, ya mahal. Mereka lebih aware ketika sakit fisik.

Nah itu mungkin yang perlu edukasi buat masyarakat kita,k arena sakit fisik ataupun sakit mental sakit psikis itu kan ya sama-sama perlu diobati perlu ditangani. Karena ketika psikis kita sakit, otomatis kita juga enggak bisa berfungsi, enggak bisa kerja, sekolah, dan seterusnya. Nah mungkin itu yang masih belum disadari betul. Baru kalau sudah parah, sudah membahayakan diri sendiri dan orang lain, keluarga sudah angkat tangan, baru datang ke dokter. Nah itu sebenarnya yang sedikit terlambat.

Apalagi kalau sampai seperti kasus yang ini, kan malah berbahaya untuk sekitar. Ini bukan hanya depresi, kalau di berita-berita kan diasumsikan menderita depresi dan sebagainya. Kemungkinannya gejala psikotik. Psikotik itu adalah gangguan jiwa berat. Nah ditandai dengan itu tadi keterangan bahwa sebelum-sebelumnya sudah dengar suara-suara misalnya.

Kemudian ada banyak riwayat-riwayat perilaku aneh yang itu mungkin tidak umum. Satu lagi, biasanya kalau pun kita depresi biasa itu kan tidak membunuh orang lain, tidak membahayakan orangnya. Tetapi biasanya, arahnya adalah ke diri sendiri karena putus asa, karena tidak ada harapan, pesimis dan sebagainya.

Apa penyebabnya?

Nah kalau ditanya penyebabnya, sebenarnya sangat personal. Artinya, ketika kita bilang penyebabnya itu apakah sama antara satu kasus dengan yang lainnya, tidak begitu. Tetapi kalau di masyarakat kita, apalagi masyarakat menengah ke bawah, biasanya problemnya itu hampir-hampir sama. Ini kaitannya dengan stress-source sehingga kemudian dia menjadi terganggu. Nah penyebab stresnya itu biasanya adalah masalah sehari-hari yang mungkin tidak semua orang dengan mengalami masalah itu kemudian akan sama responsnya.

Nah, kebetulan karena mungkin ada ada hal-hal tertentu yang kerentanan psikologisnya atau mungkin support sistemnya yang kurang dan sebagainya, akhirnya karena masalah yang itu mungkin biasa aja Itu bisa bisa menjadi pemicu. Nah, kebanyakan kalau di masyarakat menengah ke bawah itu masalah yang paling sering jadi pemicu, bukan penyebab utama, tapi pemicunya itu adalah masalah ekonomi.

Ketika ada keterbatasan keuangan yang membuat mereka menjadi bingung untuk mengatasi kebutuhan gitu, akhirnya banyak utang dan sebagainya. Apalagi ada yang terjerat pinjol (pinjaman online, red) dan seterusnya. Nah itu biasanya menjadi pemicu.

Tetapi tidak sedikit juga yang penyebabnya karena masalah relasi, relasi dengan pasangan. Jadi seringkali masalah perselingkuhan, kemudian ketidaksediaan, ketidakpercayaan, atau masalah-masalah kalau dengan pasangan itu katanya dengan ketidakpuasan, jadi kecewa. Dulunya begitu kemudian sekarang begini misalnya, atau ada hal yang itu tidak cocok setelah pernikahan kaitannya dengan mungkin mengasuh anak, pertengkaran yang tidak berujung dan sebagainya.

Kemudian selain relasi dengan pasangan biasanya juga relasi dengan keluarga. Jadi kan, kadang-kadang pernikahan itu tidak cuma sekedar urusan keluarga inti, tapi juga ada keluarga di luar keluarga inti. Mungkin konflik-konflik di dalam keluarga itu juga bisa menjadi pemicu.

Nah sebenarnya kalau bicara tentang depresi, itu kan kaitannya dengan rasa kecewa, sedih untuk sesuatu yang sudah terjadi, biasanya begitu. Nah itu ada ketidakpuasan atau ada problem yang itu tidak terselesaikan yang kemudian menjadi stress source, menjadi sesuatu yang untuk menekan psikologisnya sementara dia tidak tidak bisa menangani itu.

Kalau sampai kasusnya seperti dua ibu ini, saya yakin itu tidak tiba-tiba gitu loh. Saya yakin itu sudah ada jalan cerita yang sudah lama. Sakit yang perjalanan gangguan yaitu sudah sudah menahun kalau bahasanya kronis. Jadi makanya, kenapa ini butuh pengobatan, mestinya kalau sampai kemudian tidak ada pengobatan rutin atau bahkan sampai putus obat gitu, itu memang sangat berbahaya. Itu bisa menjadikan ke episode awal.

Nah ketika sudah ke episode awal bahkan lebih buruk dari sebelum sakit gitu ya, dari penyakit yang awal. Nah itu berbahaya memang, baik untuk dirinya sendiri ataupun orang lain, ketika itu tidak tertangani. Jadi kalau ditanya penyebabnya memang complicated (rumit, red) ya bisa sangat rumit gitu dan masing-masing orang bisa berbeda.

Apa saja tahapan gejala gangguan jiwa?

Kalau mau cerita tentang tahapan, tapi minimal sebenarnya yang perlu masyarakat tahu tentang kesehatan mental itu adalah bahwa kita perlu mengenali tanda-tanda kapan kita itu merasa terganggu, kapan kita merasa tidak nyaman itu kita harus aware tentang itu. itu harus harus bisa mengenali tanda-tanda itu baik pada diri kita sendiri maupun orang-orang sekitar kita.

Nah, kan yang seringkali lewatnya tuh di situ. Seperti saya bilang di depan tadi, orang itu cenderung meremehkan ketika ada gangguan-gangguan secara psikis. Jadi, ketika kita sedih berkepanjangan kemudian sampai kita enggak bisa tidur, jengkel, marah, benci yang akhirnya membuat kita membenci semua orang atau kita membenci situasi menyalahkan orang dan sebagainya. Itu kan sebenarnya tanda-tanda awal.

Ketika ada sesuatu yang tidak beres atau ada sesuatu yang itu tidak nyaman di diri kita, menjadi tekanan, kadang-kadang diri kita sendiri itu menganggap itu bukan sesuatu yang perlu diperhatikan. Kadang-kadang ada yang bilang “jangan lebay lah cuman seperti itu”.

Padahal yang namanya perasaan itu enggak bisa diremehkan meskipun peristiwanya itu sederhana. Masing-masing orang punya makna yang beda, merasakan atau menghayati sebuah peristiwa itu beda-beda karena sangat tergantung pada pengalaman sebelumnya pada pengalaman masa lalunya itu seperti apa.

Tiga itu sih sebenarnya. Tanda-tanda pertama adalah sebuah perasaan, sebuah kondisi psikis yang itu perlu diwaspadai, ketika itu kemudian berlebihan secara frekuensi sering. Kemudian yang kedua, berlebihan secara intensitas. Yang ketiga itu tadi, enggak bisa kita kendalikan. Nah itu sebenarnya tanda-tanda awal bahwa “oke ini ada sesuatu nih”.

Nah kadang-kadang, kita enggak sadar. Kita enggak memperhatikan tanda-tanda seperti itu sehingga akhirnya sampai kemudian sudah menjadi gangguan. Nah ketika sudah sudah menjadi gangguan itu tidak hanya mengganggu dirinya sendiri nanti, tapi juga sudah mengganggu orang lain orang lain. Kalau terganggu itu bisa dari tataran menjengkel kan sampai dengan tataran membahayakan. Baru kalau sudah seperti itu, baru dibawa ke dokter.

Kadang-kadang sudah seperti itu saja enggak dibawa ke dokter, kadang-kadang ya. “Ya udahlah nanti kan mungkin sembuh”. Ada yang dimarahi, ada yang kemudian di ditolak,malah tidak dianggap dan sebagainya.

Nah masyarakat kita, terutama di daerah wilayah timur, ya Jember dan sekitarnya itu kan masih lebih percaya pada orang tua dalam tanda kutip orang pintar, kemudian dukun,para normal. Ketika sudah dibawa kemana-mana, baru pilihannya ke dokter. Nah ke dokter itu biasanya banyak yang sudah parah. Karena itu tadi, pertolongan pertamanya itu ya ke orang pintar.

Parahnya lagi, di masyarakat kita tuh masih banyak juga yang kemudian dipasung di Jember.Tahun kemarin itu ada gerakan dari Dinas Kesehatan, bebas pasung karena di Jember insidensi pasung itu masih banyak, terutama untuk gangguan berat yang dianggap membahayakan. Itu ya enggak manusiawi, ditaruh di kandang gitu enggak ada penutupnya misalnya. Jadi dipasungnya itu jauh dari rumah, kadang kan dekat sungai.

Nah mungkin itu, PR, ya. PR untuk kita, kami juga yang bergerak di bidang kesehatan mental ini untuk memberikan edukasi ke masyarakat karena nggak mudah. Nggak mudah untuk kemudian menyadarkan mereka bahwa ini bisa sembuh loh sebenarnya, meskipun sembuhnya dalam tanda kutip ya. Ketika tidak berobat rutin ya masih bisa kambuh lagi, tapi ini bisa ditangani dan membuat mereka bisa berfungsi lagi seperti orang biasa. Nah itu masyarakat belum aware.Semoga itu membuka kesadaran masyarakat bahwa kita enggak bisa tutup mata gitu loh.

Kalau di sekitar kita itu adalah yang seperti itu dan kita perlu perhatian enggak “urusan lo urusan lo” gitu. Kalau kita punya tetangga yang sekiranya memang mengalami hal seperti itu kita perlu untuk membantu, meskipun itu juga enggak mudah.

Di sini Itu kan menganggap ini adalah urusan pribadi. Kalau ada orang ikut campur kadang-kadang juga marah, sehingga seringkali kalau kita mau bantuin orang seperti itu membawa dia ke rumah sakit atau membawa dia ke dokter ee dengan cara paksa dan dalam tanda kutip. Kadang-kadang kita butuh bantuan Dinas Kesehatan atau puskesmas setempat.

Nah itu kayaknya yang perlu disampaikan ke masyarakat bahwa jangan diam kalau kita menemukan hal-hal seperti itu! Jangan tutup mata, tutup kuping, karena itu adalah tanggung jawab kita sebenarnya sebagai masyarakat. Edukasi ini butuh butuh perjuangan panjang!

Kapan seseorang butuh untuk konsultasi atau memeriksakan mental secara berkala?

Ketika itu sudah mengganggu dirinya dan juga mengganggu orang lain. Meskipun itu tadi saya bilang tidak banyak orang menyadari gitu. Kapan sih kita harus ke dokter? Ketika kita sudah merasa enggak bisa tidur, enggak enak makan, sudah kepikirannya kemana-mana, enggak bisa kerja dan sebagainya. Ya itu sudah saatnya untuk datang ke psikolog untuk yang bukan gangguan jiwa berat ya.

Jadi kita bisa datang sendiri mencari pengobatan dan itu harus segera! Jangan ditunggu sampai kita benar-benar ada ide-ide bunuh diri! Nah itu kan sudah butuh obat

Kadang-kadang orang itu malu ya. Jadi urusan kesehatan mental itu kaitannya dengan stigmatis. Nah dikatakan kita kita Enggak normal gitu, “aku enggak gendeng”. Nah, bahasa itu tuh masih sangat (sering didengar, red). Padahal kan sebenarnya kita datang ke psikolog,psikiater itu tidak selalu nunggu gila kan.

Nah itu kadang-kadang yang masih, satu, gengsi. Yang kedua takut stigma, takut orang menganggap kamu sakit jiwa. Itu kayaknya sesuatu yang yang buruk gitu yang menunjukan kelemahan. Nah itu = itu juga yang sebenarnya harus ada edukasi bahwaitu bukan menunjukkan kita lemah, gila, enggak selalu. Nah, terutama kalau sudah gangguan jiwa berat ketika keluarga sudah enggak bisa mendampingi,bingung mau diapain.

Kalau berobat itu harus rutin. Bedanya dengan obat fisik itu adalah kalau obat psikiatri atau obat  psikofarmaka itu minumnya harus benar-benar sesuai dengan resep dokter. Kalau dia biasanya masih psikiater itu ngasih obatnya untuk dosis awal. Itu ada yang bulanan ada yang dua mingguan, tergantung hasil. Ketika berbeda, itu kaitannya dengan otak loh. Obat psikiatri itu kan sebenarnya memanipulasi kerja otak.

Contohnya yang ibu di Bintoro ini, padahal cuma sebulan dia enggak minum obat tapi dampaknya seperti itu. Itu yang yang mungkin masyarakat juga kadang-kadang tidak terjelaskan terutama pada saat berobat. Mungkin perawatnya enggak sempat gitu loh untuk jelasin bahwa ini minumnya harus begini kalau enggak gitu dampaknya begini mungkin bisa jadi begini. Ada juga keluarga pasien yang udah dibilangin nanti kalau ada dampak sampingan, misalnya mual, pusing atau nggak bisa noleh, itu segera telepon.

Apakah ada gangguan jiwa secara kolektif? Dalam skala kecil, mungkin lingkup keluarga.

Kalau katanya dengan keluarga itu mungkin. Namun bahasanya bukan gangguan jiwa secara kolektif, tapi ini kecenderungan genetis. Jadi Ketika kita punya histori keluarga yang mengalami gangguan, nah itu kita punya kecenderungan untuk terganggu. Tapi, sekali lagi kecenderungan ya.

Gampangnya itu kita punya bakat dalam tanda kutip. Sehingga, ketika kita mengalami stres, kita mengalami problem yang berat dan sebagainya itu kita lebih rentan untuk mengalami gangguan dibandingkan orang yang enggak punya sejarah keluarga. Jadi itu yang genetisnya, tapi tidak otomatis kalau bapaknya gila pasti nanti anaknya gila, tidak begitu. Nah itu mungkin yang yang seringkali masyarakat salah.

Di situ dianggap gangguan jiwa keturunan. Yang dimaksud genetis itu bukan bukan keturunan seperti itu. Dia memang punya kecenderungan gangguan mental yang itu diturunkan tetapi tidak otomatis kemudian dia pasti akan juga mengalami itu.

Masing-masing orang kan punya, kalau bahasa psikologinya itu coping stress. Coping stres itu  kemampuan untuk meng-handle problem atau mengatasi. Nah, masing-masing orang itu punya itu. Dari mana? Dari proses belajar dia terhadap lingkungan dari kekuatan psikis dan sebagainya. itu masing-masing orang bisa beda, bahkan di satu keluarga.

Nah, sehingga ada yang punya history terganggu gitu ya tidak semua anaknya yang itu terganggu. Coping stress ini yang kemudian berfungsi.

Kaitannya dengan kolektif itu mungkin ada di satu masyarakat, banyak ya yang gangguan. Saya pernah ngalami dulu itu ada salah satu kecamatan yaitumemproduksi dalam tanda kutip orang-orang sikizofernia. Banyak pasien-pasien yang datangnya dari kecamatan itu. Kalau orang awam akan menganggap “oh iki penghasil orang gila”.

Gangguan kolektif sebenarnya tepatnya sih bukan begitu, tapi lebih ke arah ada situasi-situasi di daerah itu itu yang apa rentan atau beresiko untuk kemudian memunculkan gangguan macam-macam. Bisa kaitannya dengan sosial ekonomi, kaitannya dengan budaya setempat yang itu sangat menuntut harus begini, harus begitu.

Normalnya, aturannya itu yang yang bikin mudah stres atau lingkungan-lingkungan itu yang sering terjadi konflik. Perbedaan dikit carok, perbedaan dikit jadi premanan, modelnya seperti itu. Itu juga bisa bisa menjadi lingkungan yang tidak kondusif untuk kesehatan mental. Misal, banyak yang nganggur, budaya kemiskinan itu sudah mengakar sehingga mereka lebih banyak gini (sambil menengadahkan tangan, red) daripada ngasi.

Jadi kalau kemudian bisa menularkan dan sebagainya Itu sebenarnya sih tidak kurang tepat dikatakan begitu kalau menurut saya. (iaf/why)


Share to