Sawunggaling: Daul Mirip Cerita Joko Berek

Tadatodays
Tadatodays

Monday, 18 Oct 2021 20:56 WIB

Sawunggaling: Daul Mirip Cerita Joko Berek

MIRIP LEGENDA: Latihan rutin kelompok daul Sawunggaling di Kelurahan Wiroborang. Perjalanan eksistensinya mirip legenda Joko Berek.

DARI Kelurahan Wiroborang Kota Probolinggo ada kelompok daul bernama Sawunggaling Collaboration Ethnic.  Kelompok musik daul Sawunggaling bermarkas di Jalan Kyai Mojo nomor 35 A RT 2 – RW 3, Kelurahan Wiroborang,  Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo. Anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok sawunggaling tidak ragu beraktivitas mengasah bakat musiknya, meski masih kerap mendapat cibiran masyarakat.  

Rabu (6/10/21) tadatoday.com mengunjungi kelompok daul Sawunggaling Collaboration Ethnic. Markas yang menjadi tempat berlatihnya ialah sebuah rumah sederhana milik Suheri (64), selaku pendiri kelompok daul Sawunggaling Collaboration Ethnic.  

Sawunggaling Collaboration Ethnic didirikan Suheri tepatnya pada 17 Februari 2019. Kelompok ini dibesarkan Suheri bersama putranya, yaitu Prayogo Bayu Pamungkas (21) yang berperan sebagai pelatih musik.

Kelompok ini mulanya adalah kelompok patrol di bulan Ramadan. Musiknya hanya untuk membangunkan warga untuk makan sahur. Di masa awal, kelompok musik daul ini hanya menggunakan gamelan kenong telok dengan sepeda yang dimodifikasi, kemudian gerobak sampah menjadi kereta sebagai kelengkapan bahan latihan.  

Pada awal berdiri, Sawunggaling hanya memiliki 12 anggota. Tetapi saat ini anggotanya sudah mencapai 44 orang. Mereka terdiri dari kru, pemusik, pelatih, serta 8 orang penari.  Perjalanan dari kelompok patrol menjadi kelompok daul berjalan penuh perjuangan. Alat musik dibeli menggunakan uang hasil Prayogo mengamen bersama saudara kembarnya, yaitu Prayogi.

Selain mengamen di jalan, Prayogo juga  mengumpulkan uang hasil mengajar kesenian gamelan di SMK Ahmad Yani  untuk membeli alat musik. Perlahan-lahan, dengan ditambahi uang dari Suheri, mereka bisa memenuhi peralatan musik untuk daul Sawunggaling. “Asal-usulnya itu dari hasil ngamen dengan saudara kembar saya dan juga mengajar gamelan di sekolah sampai bisa beli alat musik dan terbentuklah Sawunggaling,” jelas Prayogo.

Prayogo bercerita,  acara ngamennya dulu terbilang sukses. Sebab, ia biasa ngamen dengan cara ditanggap. “Itu biasanya saya ngamen sering ditanggap oleh warga sekita. Seminggu sudah dapat 5 tong karena ngamennya juga laris,” kata Prayogo.

Saat ini Sawunggaling sudah terbiasa tampil memenuhi undangan di berbagai acara. Lagunya lebih banyak meng-cover lagu lain yang kemudian diaransemen sendiri. Sedangkan lagu ciptaan sendiri ada satu, yaitu berjudul “Mars Sawunggaling”.   

Prayogo Bayu Pamungkas biasa latihan bersama anggotanya, satu kali dalam seminggu. Tetapi kalau ada undangan tampil, mereka melakukan latihan hingga 3 kali dalam seminggu.  

INOVASI: Selain pemusik, kini daul Sawunggaling berinovasi dengan adanya kelompok penari yang berasal dari anak-anak muda setempat.

Kereta musik daul Sawunggaling sudah ada sejak awal berdiri. Dari mulanya hanya gerobak sampah, kemudian mereka membuat kereta secara swadaya. Tetapi, kereta Sawunggaling sempat patah saat tampil di acara tahunan Semipro (Seminggu di Kota Probolinggo)  tahun 2019. Lalu pada tahun 2020, Sawunggaling sudah bisa membeli chasis mobil untuk dijadikan kereta. “Jadi tahun 2019 masih pakai kereta yang patah kemudian di renovasi, kemudian 2020 sudah membeli casis mobil. Dari situ terbentuk kereta yang lebih layak,” katanya.

Sawunggaling memiliki kereta dengan ikon ayam jago yang dinilai lebih unik. Pemilihan ikon ayam jago ini dilatari legenda Sawunggaling yang menceritakan tokoh si Joko Berek dan ayamnya. Menurut Suheri,  keberadaan Sawunggaling identik dengan karakter si Joko Berek dalam legenda Sawunggaling.  

Kepada Tadatodays.com, Suheri sempat menceritakan ulang legenda Sawunggaling dengan tokoh si Joko Berek. Nah, cerita si Joko Berek itu menurut Suheri, identik dengan apa yang terjadi pada daul Sawunggaling.  “Kalau dilihat dari sisi lain, kami ya orang miskin. Jika dilihat dari keadaan, ya tidak mungkin jadi, tetapi ternyata sekarang bisa jadi begini,” terang Suheri.  

Sedangkan menurut Prayogo, kelompok musik Sawunggaling ini mendapat respons yang berbeda-beda. Di awal mengajak anak muda sekitarnya untuk bergabung, Prayogo malah  diejek dan diremehkan. Akhirnya Prayogo mengajak murid-muridnya untuk merintis Sawunggaling hingga jadi kelompok musik daul. Saat ini,  masyarakat sekitar banyak yang mendukung. Begitu pula pihak RT – RW, bahkan sampai Kecamatan Mayangan. 

Kelompok Sawunggaling diikuti oleh pelajar SD hingga mahasiswa, serta terdapat beberapa orang yang sudah bekerja. Mereka terdiri atas para pelajar yang diajar Prayogo dan remaja setempat.  “Banyak di kalangan pelajar, saya juga mengajar di sekolah Jadi, siapa yang bersedia ikut jadi anggota saya, ya silakan,” kata Prayogo.

Kelompok Sawunggaling terus melakukan pengembangan. Yang terbaru, kelompok ini memiliki tim tari yang dipimpin Rizky Ayu Susanto Putri. “Dulu hanya 1 orang penari. Terus seiring berkembangnya Sawunggaling, butuh 8 orang penari pada acara Semipro 2019,” jelas Ayu, perempuan 27 tahun yang sudah berkecimpung di bidang tari sejak tahun 2019.  

Menurut Rizky, saat ini ada 15 orang penari Sawunggaling. Tetapi penari intinya ada 8 orang. Mereka berusia 10 tahun ke atas. Ada beberapa yang masih pelajar SD, mahasiswa dan pekerja.  

Ditanya kesulitan yang dihadapi, Rizky mengatakan bahwa sebagian anggotanya bukan berlatar penari. Itu membuat Rizky memiliki kesulitan tersendiri dalam mengajarkan dasar-dasar tari. “Kesulitannya mungkin dari penarinya sendiri karena kami tidak merekrut yang harus bisa jadi penari, itu pun bagi saya kesulitannya mengajarkan dasar-dasar tari,” kata Ayu.

Sementara itu, tentang karakter gerakan, Ayu mengatakan bahwa penari Sawunggaling muncul sebagai seni kontemporer. Ayu dan gengnya mengaku senang bisa terlibat sebagai tim tari di kelompok Sawunggaling Collaboration Ethnic.  

Sedangkan soal ciri khas musik Sawunggaling Collaboration Ethnic, Prayoyo menyatakan bahwa kelompokknya menggabungkan karakter musik semua etnis dengan musik modern. Lalu untuk memberikan identitas atau karakter Probolinggo, ada kenong telok.  “Lagu Mars Sawunggaling ada ciri khasnya Probolinggo, kenong telok,” jelasnya.

Kelompok Sawunggaling sudah memiliki pengalaman tampil di berbagai event di banyak daerah. Kelompok ini juga pernah menyabet predikat juara 1 semarak seni dalam Food Festival di BJBR. 

Di akhir perbincangan, Suheri dan Prayogo berharap agar para pemuda dapat terus melestarikan kesenian tradisional, hingga berkembang ke berbagai pelosok nusantara. “Pemuda-pemuda dapat melestarikan seni tradisi karawitan. Walaupun bukan ciri khas Probolinggo, tetapi kita bisa kolaborasi dengan musik kenong telok Probolinggo dan musik daul Madura,” kata Prayogo.

Suheri juga menambahkan, “Harapan saya semoga tetap lanjut, berkembang, dan maju hingga ke pelosok-pelosok.” (ian/why)


Share to