Student Loan: Jalan Pintas menuju Jerat Utang?

Tadatodays
Tadatodays

Monday, 27 May 2024 20:29 WIB

Student Loan: Jalan Pintas menuju Jerat Utang?

DALAM terang surya yang terbit setiap pagi, kita menatap harapan di cakrawala. Pendidikan, ibarat mercusuar yang memandu kapal-kapal muda kita menuju pelabuhan masa depan yang cerah. Namun, di tengah gemerlap impian ini, pemerintah kita berencana menebarkan awan kelabu dengan kebijakan student loan, seakan melukiskan bayangan muram di langit biru harapan.

Di negeri adidaya Amerika Serikat, kebijakan student loan telah menjadi monster yang menghisap darah generasi mudanya. Dengan utang mahasiswa yang telah mencapai angka USD 1,7 triliun pada tahun 2023, mencengkeram 43 juta jiwa dalam belenggu finansial yang sulit dilepaskan. Sistem pembayaran pendidikan yang telah berlangsung sejak tahun 1960-an ini berasal dari saldo pinjaman federal USD 1,6 triliun atau sekitar Rp 25.977.922. triliun dan menyumbang 93,1 persen dari semua utang pinjaman mahasiswa.

Dari laporan yang sama, 20 tahun setelah masuk kuliah, setengah dari peminjam mahasiswa ternyata masih berhutang USD 20.000 masing-masing saldo pinjaman yang belum dibayar. Mahkamah Agung AS sendiri membatalkan rencana Presiden Joe Biden untuk menghapus tunggakan USD 20.000 pinjaman tersebut.

Oleh karena itu, peminjam diharapkan melakukan pembayaran atas pinjaman tersebut yang mana terus menghasilkan bunga lagi untuk pertama kalinya dalam tiga tahun. Padahal, para peminjam juga harus memperbaiki kondisi finansial mereka selama beberapa jeda pembayaran. Sungguh kisah ini berakhir dengan kepahitan dan penderitaan. Apakah kita ingin meniru jejak mereka? Ataukah kita masih mampu berpikir jernih dan mencari jalan yang lebih bijaksana?

Indonesia, tanah air dengan mayoritas penduduk yang hidup dalam strata ekonomi menengah ke bawah, ibarat hamparan sawah yang subur namun rentan terhadap badai. Kebijakan student loan bukanlah hujan yang menyuburkan, melainkan badai yang bisa merusak tanam-tanaman muda yang baru bertunas. Dalam kebijakan ini, pemerintah seakan mengundang derita, menawarkan secercah harapan yang ternyata berujung pada beban berat di pundak generasi penerus.

Pendidikan adalah hak asasi, anugerah yang harus dijaga dan dipelihara oleh negara, bukan komoditas yang diperjualbelikan melalui utang. Dalam filosofi pendidikan yang sejati, pengetahuan seharusnya menjadi sayap yang membebaskan, bukan rantai yang mengikat. Namun, dengan kebijakan ini, pemerintah tampaknya lebih memilih untuk memenjarakan harapan di balik jeruji utang.

Mari kita memandang lebih dekat, di negeri Paman Sam, lulusan-lulusan muda terjerat dalam utang yang membelenggu masa depan mereka. Mereka terpaksa menunda impian, menahan langkah untuk membeli rumah, menikah, atau bahkan memulai keluarga. Bayangkan penderitaan yang akan menimpa generasi muda kita jika kebijakan ini diterapkan di Indonesia. Bukankah ini bagaikan menghamparkan duri di jalan yang seharusnya membawa kita menuju kemajuan?

Pemerintah, dalam kebijakannya, harus lebih bijak. Kita harus belajar dari kesalahan negara lain dan menghindari langkah-langkah yang dapat mencelakakan masa depan anak bangsa. Alih-alih memberatkan mahasiswa dengan beban utang, seharusnya pemerintah berfokus pada cara-cara lain untuk menurunkan biaya pendidikan, memperluas program beasiswa, dan menyediakan bantuan keuangan yang memadai.

Solusi yang lebih bijak dan adil adalah dengan memperkuat sistem beasiswa. Beasiswa harus menjadi prioritas utama, menjangkau lebih banyak mahasiswa dari keluarga kurang mampu dan memastikan bahwa mereka dapat mengakses pendidikan tinggi tanpa harus memikirkan utang. Pemerintah juga harus mendorong sektor swasta untuk berkontribusi dalam penyediaan beasiswa dan bantuan pendidikan.

Selain itu, efisiensi dalam pengelolaan dana pendidikan harus ditingkatkan. Universitas harus diaudit secara berkala untuk memastikan bahwa dana yang ada digunakan dengan efektif dan efisien. Pengeluaran yang tidak perlu harus dipangkas, dan dana tersebut harus dialokasikan untuk menurunkan biaya pendidikan.

Pemerintah juga harus menjalin kerjasama dengan sektor industri untuk menciptakan program magang yang dibayar dan pekerjaan paruh waktu bagi mahasiswa. Ini tidak hanya akan membantu mahasiswa membiayai pendidikan mereka, tetapi juga memberikan pengalaman kerja yang berharga dan meningkatkan keterampilan mereka sebelum lulus.

Dalam jangka panjang, reformasi pendidikan harus dilakukan untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja, dan pendidikan vokasi harus diperkuat untuk memastikan bahwa lulusan memiliki keterampilan yang relevan dan dapat segera terserap oleh dunia kerja.

Pendanaan pendidikan juga harus dialokasikan secara lebih adil dan merata. Pemerintah harus memastikan bahwa sekolah-sekolah di daerah terpencil dan kurang berkembang mendapatkan dana yang cukup untuk meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Ini adalah investasi jangka panjang yang akan membuahkan hasil yang signifikan bagi pembangunan negara.

Pemerintah harus memahami bahwa pendidikan adalah pondasi utama bagi kemajuan bangsa. Kebijakan yang salah dalam bidang ini bisa berakibat fatal, menghancurkan harapan generasi muda dan menghambat perkembangan negara. Oleh karena itu, kebijakan student loan harus ditolak dengan tegas. Kita harus mengupayakan solusi yang lebih bijak, adil, dan berkelanjutan.

Mungkin, dalam memandang masa depan, kita harus meneladani pepatah lama: "Gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak." Kita harus berhenti meniru kebijakan yang jelas-jelas gagal di negara lain, dan mulai membangun kebijakan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bangsa kita sendiri. Pendidikan harus menjadi sayap yang membebaskan generasi muda kita, bukan rantai yang mengikat mereka dalam utang yang berkepanjangan.

Pemerintah, dalam kebijakannya, harus mendengar suara hati nurani rakyat. Mereka harus mengingat bahwa setiap kebijakan yang mereka buat akan berdampak pada masa depan anak-anak bangsa. Ayolah gunakan solusi yang lebih bijak dan adil. Pendidikan harus menjadi jembatan emas menuju masa depan, bukan lembah derita yang harus dilalui dengan menggadaikan kebebasan finansial.

*) Penulis adalah Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Mahasiswa Doktoral Universitas Negeri Surabaya


Share to