Tagihan PDAM Membengkak, Warga Kota Probolinggo Kirim Surat Aduan ke DPRD

Hilal Lahan Amrullah
Hilal Lahan Amrullah

Thursday, 23 Jul 2020 16:32 WIB

Tagihan PDAM Membengkak, Warga Kota Probolinggo  Kirim Surat Aduan ke DPRD

PDAM: Kantor PDAM di Jalan Hayam Wuruk Kota Probolinggo. Pada Maret-Mei PDAM tidak melakukan pembacaan meteran air. Hal inilah yang diduga menyebabkan lonjakan tagihan di bulan Juni 2020.

KANIGARAN, TADATODAYS.COM - Berbagai keluhan warga kepada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Probolinggo masih berdatangan. Setelah persoalan krisis air, kali ini mengenai tagihan tarif air yang melonjak. Hal itu yang membuat Komisi II DPRD Kota Probolinggo berencana memanggil pihak PDAM untuk mengklarifikasi apa penyebab dari tagihan air yang meningkat drastis dan di atas normal.

Adalah HR, 59, warga Kelurahan/Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo mengaku terkejut usai melakukan pembayaran PDAM untuk pemakaian bulan Juni 2020. Pasalnya tagihan yang meningkat drastis. “Rata-rata biasanya tiap bulan Rp 40 ribu. Paling tinggi biasanya Rp 50 ribu, di bawah 44 meter per kubik, namun sekarang melonjak hingga Rp 126 ribu,” terang HR, 59, warga Kelurahan/Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo.

Menurutnya lonjakan tagihan tersebut disebabkan karena selama masa pandemi Covid-19, yaitu Maret dan April, meteran air tidak dikontrol oleh petugas PDAM. Sehingga biaya tagihan PDAM bulan itu diambil dari rata-rata. Sedangkan Bulan Juni mulai dikontrol seperti biasa, sehingga sisa di bulan sebelumnya terakumulasi di Juni. “Lonjakan akumulasi itu menyebabkan tarif progresif naik. Padahal saya memakai air berkurang. Kadang saya pakai pompa air sendiri, saya tinggal sendiri. Kadang anak-anak saya tidak datang, PDAM tidak bisa menghitung,” keluhnya.

Pihaknya mengaku telah melayangkan surat aduan kepada sejumlah pihak. Yaitu kepada Wali Kota Probolinggo, Ketua DPRD Kota Probolinggo, dan Dewan Pengawas PDAM Kota Probolinggo pada 2 Juli 2020. Namun hingga saat ini belum ada tanggapan.

Menanggapi hal tersebut Ketua Komisi II DPRD Kota Probolinggo, Sibro Malisi menyampaikan bahwa surat pengaduan itu sudah masuk kepada Ketua DPRD setempat. Kemudian surat tersebut diteruskan kepada komisi yang membidangi. “Kebetulan PDAM itu mitra kerja Komisi II, maka surat itu turun ke Komisi II,” terangnya.

Politisi Partai Nasdem itu mengaku berencana menggelar hearing Rabu (22/7), tetapi bersamaan dengan cut off-nya kantor DPRD setempat, maka hearing belum bisa dilaksanakan. “Tetapi surat itu sudah kita pelajari bersama teman-teman Komisi II tentunya. Ada beberapa persoalan yang memang mendasar, ini perlu stimulus serta butuh kebijakan. Karena ini berpotensi merugikan konsumen, pelanggan dalam hal ini,” jelasnya.

Menurutnya PDAM setempat tidak melakukan pembacaan meteran di masa pandemi dimulai Maret, April, dan Mei. Sedang Bulan Juni, dimulai kembali pembacaan meterannya di tagihan Bulan Juli. Tetapi tagihan itu tetap dilakukan oleh PDAM setempat di masa pandemi. “Tetap muncul tagihan, dengan asumsi pemakaian atau penggunaan rata-rata,” terangnya.

Adapun yang menjadi masalah yaitu ketika penggunaannya rata-rata. Karena penggunaan PDAM itu antara penggunaan 5 meter kubik dengan 21 meter kubik tarifnya berbeda. “Ada potensi kerugian. Taruhlah masyarakat pada bulan Maret menggunakan 19 meter kubik, sementara bulan berikutnya berdasarkan hitungan rata-rata, dia hanya menggunakan 15 meter kubik, maka tagihan yang muncul pada Maret dan April sebesar 15 meter kubik saja. Karena penggunaannya berdasarkan hitungan rata-rata, maka ada 4 meter kubik yang tersimpan dan tidak tertagih,” terangnya.

Sementara pada Bulan April, masyarakat menggunakan 17 meter kubik, yang ditagih tetap sama 15 meter kubik, maka ada dua meter kubik yang tidak tertagih. Sehingga sudah ada 6 meter kubik tidak tertagih. “Kemudian pada tagihan Bulan Juni taruhlah ada 18 meter kubik, tapi yang ditagih 15 meter kubik, maka ada 3 meter kubik yang tidak tertagih lagi. Pada bulan Juni, dilakukan pembacaan meteran. Akhirnya yang tidak tertagih ditambah tagihan bulan Juli menjadikan tagihan membengkak, yang semula per meter kubik Rp 1200 akhirnya Rp 1800 kali 30 hari,” jelasnya.

Menurutnya asumsi dan dugaannya, hal itulahyang mengakibatkan lonjakan tagihan para pelanggan. Karena pihaknya juga mengalami hal yang sama. “Kalau saya rata-rata 30 ribu sampai 40 ribu, malah saya ditagih Rp 279 ribu, saya dilema. Tapi ada pengaduan, bukan hanya saya yang merasakan,” jelasnya.

PDAM setempat pada Maret lalu telah menyampaikan kepada Komisi II, bahwa masyarakat diminta melakukan pembacaan meteran sendiri, kemudian dikirimkan kepada PDAM setempat. Karena sosialisasi rendah, dari 20 ribu pelanggan, tidak lebih 10 persen atau 1000-an  pelanggan yang melakukan ikhtiar itu. “Sayangnya sosialisasi ini tidak dipahami oelh seluruh pelanggan. Seandainya pembacaan meteran itu dilakukan, maka tagihannya disesuaikan dengan pembacaan meteran. Jadi masyarakat diminta memfoto sendri kemudian dikirim ke nomor induk yang disiapkan PDAM, sehingga PDAM menagih berdasarkan pembacaan meteran,” jelasnya.

Pihaknya menambahkan kalau hal tersebut dibiarkan, ada dugaan kerugian konsumen. “Karena ada tarif progresif. Harusnya kita tidak memakai sekian. Mungkin hasil swab dalam seminggu ini selesai,  mungkin surat non aktif kantor dicabut, kami agendakan untuk mengundang. Rencananya, yang kami undang adalah dewan pengawas, Manajemen PDAM, termasuk sekretaris daerah selaku koordinator pengawas, bagian administrasi perekonomian,” jelasnya.

Pihaknya nanti akan melihat kebijakan adanya pembacaan meteran dan tidak adanya pembacaan meteran, itu sudah menjadi kebiajkan direksi atau tidak. “Ranahnya pada keputusan bahwa ada pengumpulan tagihan setelah tiga bulan tidak dilakukan, kenapa masyarakat tidak diberikan subisdi. Ini akan kami tanyakan,” ungkapnya. (hla/hvn)


Share to