Tradisi Mencak Sumping: Saat Silat, Kue Pisang, dan Wisatawan Asing Bertemu di Banyuwangi

Mohamad Abdul Aziz
Mohamad Abdul Aziz

Sabtu, 07 Jun 2025 09:52 WIB

Tradisi Mencak Sumping: Saat Silat, Kue Pisang, dan Wisatawan Asing Bertemu di Banyuwangi

MENCAK SUMPING: Senyum Sebastian saat mengikuti gerakan pencak sumping di Glagah, Banyuwangi, Jumat (6/6/2025).

BANYUWANGI, TADATODAYS.COM - Hari Raya Idul Adha 1446 H tahun ini terasa istimewa bagi warga Dusun Mondoluko, Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Sebab, tradisi Mencak Sumping, sebuah pertunjukan pencak silat khas daerah, kembali digelar dengan meriah. Selain warga lokal, tamu istimewa dari luar negeri juga ikut turun gelanggang.

Mencak Sumping digeber pada Jumat (6/6/2025) sore. Sebastian, seorang wisatawan asal Chili, mencuri perhatian penonton. Ia tidak hanya datang menonton, tapi juga ikut turun ke arena, menunjukkan gerakan silat yang membuat penonton bersorak.

“Saya melihat flyer acara ini di media sosial, dan langsung tertarik. Saya tidak menyangka sambutannya akan semeriah ini,” kata Sebastian usai tampil di tengah ratusan pasang mata.

Sebastian pun mengaku bangga bisa turut serta dalam acara budaya yang sarat nilai kekeluargaan dan kehangatan. Pria bertubuh tinggi tersebut disambut hangat oleh warga setempat yang mengajaknya ikut serta dalam berbagai prosesi.

Mencak Sumping bukan sekadar atraksi silat biasa. Para pendekar, mulai dari anak-anak hingga lansia tampil berpasangan untuk menampilkan gerakan-gerakan Pencak Silat Sumping. Iringan musik Banyuwangi yang rancak membuat suasana kian hidup.

Adapun yang membuat acara ini unik adalah hadirnya kue sumping, kudapan tradisional dari pisang yang dibungkus adonan tepung lalu dikukus. Di sela atraksi, pendekar yang kalah akan disumpal dengan kue sumping oleh lawannya. Bukan sebagai penghinaan, tapi bentuk penghormatan dan humor khas lokal.

Tradisi ini bukan hanya soal pertunjukan, tapi juga soal sejarah. Pasalnya, nama Mondoluko sendiri dipercaya berasal dari kisah tokoh lokal bernama Buyut Ido, yang terluka parah (luko) saat melawan penjajah Belanda. Kemudian Tubuhnya “modol-modol” atau terkoyak, yang lalu melekat menjadi nama dusun hingga kini.

Sehari sebelum pertunjukan, warga menggelar ider bumi, yakni ritual bersih desa yang dilakukan malam hari. Mereka berjalan keliling desa sambil mengumandangkan adzan dan istighfar, sebagai bentuk doa dan harapan agar desa selalu dalam lindungan-Nya.

Kini, Mencak Sumping tidak lagi sekadar tradisi lokal. Kehadiran wisatawan seperti Sebastian membuktikan bahwa budaya bisa menyatukan lintas negara dan latar belakang. Banyuwangi pun menunjukkan potensinya sebagai destinasi wisata budaya yang unik dan otentik.

Dengan memadukan seni bela diri, kuliner tradisional, dan kekayaan sejarah, Dusun Mondoluko menawarkan lebih dari sekadar tontonan. tapi pengalaman budaya yang hidup. (azi/why)


Share to