Zawawi Imron Membedah Misteri dan Kekuatan Bahasa

Iqbal Al Fardi
Iqbal Al Fardi

Friday, 23 Jun 2023 13:01 WIB

Zawawi Imron Membedah Misteri dan Kekuatan Bahasa

ORASI KEBUDAYAAN: Zawawi Imron bersama Eko Suwargono saat memberikan orasi kebudayaan.

JEMBER, TADATODAYS.COM - Pada Selasa (20/6/2023) pagi, penyair D. Zawawi Imron memaparkan orasi kebudayaan di hadapan civitas akademika Universitas Jember (Unej) di aula lantai 5 gedung Soedjarwo Unej. Sastrawan asal Pulau Garam ini banyak menyinggung persoalan kebahasaan.

“Tidak diragukan lagi, KH. Zawawi Imron ini telah menyerap sari-sari pati kehidupan yang berasal dari langit dan bumi, dan jadi esensi bahasa syairnya,” moderator Dr. Eko Suwargono yang juga seorang budayawan membuka acara tersebut.

Tetiba, “Saya mau tanya dulu adik-adik mahasiswa, apa bedanya kamu dengan Garuda, tahu? Kalau Garuda cukup di dadaku, tapi kamu yang dalam hatiku. Nah, itulah misteri dan kekuatan dari bahasa. Hanya dengan mengatakan seperti itu, anda tiba-tiba menjadi akrab dengan saya.” Sapaaan “si Celurit Emas” itu disambut hiruk tepuk tangan.

Polemik bahasa selalu muncul di setiap generasi, tak luput pula di era milenial ataupun Gen Z. Karenanya Zawawi mengatakan untuk menggunakan bahasa dengan baik. “Jadi, generasi apapun kalau bahasanya rusak, budaya pun akan ikut rusak,” tegasnya.

Pria kelahiran Sumenep, Madura itu lihai dalam menerangkan perihal bahasa di depan hadirin. Dalam orasi itu, ia kerap menyisipkan lelucon untuk menjembatani penjelasannya.  Kata ‘senyum’ ia paparkan dengan luwes.

Menurutnya, senyum adalah sedekah, tetapi orang dilarang senyum sendiri tanpa alasan yang jelas. Penjelasan itu membuat orang di ruangan tertawa ringan. “Jadi itulah, bahasa itu perlu dicari secara kreatif untuk menemukan nilai-nilai, sehingga bahasa itu menjadi alat untuk rukun dan damai,” jelasnya.

Tak luput, Zawawi turut menyentuh topik kebahasaan generasi milenial yang menguasai kuota ruangan itu. Ia menjelaskan perkara satu-dua kata dengan begitu sederhana.

“Kata ‘adil’ dari zaman nabi Adam sampai Adam Malik ya tetap seperti itu. Orang modern belum bisa memberikan (tafsir, red) kata adil seperti zamannya nabi Adam. Itu artinya, kalau bicara tentang nilai, itu memang ada yang tidak bisa diperbarui dan tidak bisa diganti dengan kata-kata lain. Keadaban, kebudayaan, tidak ada kata barunya sekarang,” paparnya sederhana.

Meski tak satupun orang Indonesia yang mendapatkan penghargaan Nobel Sastra, Zawawi mengatakan bahwa sudah seharusnya masyarakat berbangga dengan sastra Indonesia. Sebab, ia menyebutkan bahwa karya sastra terpanjang di dunia ialah epos I La Galigo atau dikenal juga sebagai Sureq Galigo asal masyarakat Bugis.

Selain itu, penulis buku puisi Nenek Moyangku Air Mata ini mengisahkan cerita penciptaan puisinya yang berjudul “Amboi”. Ia mendapatkan inspirasi dari seorang wanita di pulau Saparua di kepulauan Maluku.

Wanita itu, Zawawi mengisahkan, merupakan seorang guru SD berumur 40 tahun. Ia menemukan sebuah ‘mutiara’ di dada wanita itu. “Sehingga ia bisa memberikan saya inspirasi puisi di tahun 2014 kemarin,” ceritanya seraya mengenang momen tersebut.

Kemudian, Zawawi membacakan pusisinya dengan khidmat. Lantas, para hadirin hening seketika seolah tersihir oleh puisi yang dibacakan langsung oleh si Celurit Emas itu.

“Tersenyumlah lagi, Sonya. Ajari beta kelembutan papeda! Agar hatiku yang garang seperti parang mau bersujud kepada Tuhan. Jangan marah Sonya! Kalau beta ingin berbisik di telingamu. Beta ingin menyatakan cinta kepada Indonesia,” ucapnya disambut semarak tepuk tangan.

Zawawi mengatakan bahwa ia menemukan sebuah pantun berbahasa Madura di Jember yang tidak ia temukan di Madura sekalipun. “Namen magik tombu sokon. Tabing kerrep benyak kalana. Mompong gik odik koddhu parokon. Ma’ ollè salamet tèngka salana,” baca Zawawi.

Jika diterjemahkan arti dari pantun tersebut, begini artinya “Menanam biji asam tumbuh sukun. Gedek rapat banyak kalajengkingnya. Selagi hidup harus rukun. Agar selamat tingkah lakunya,”. Zawawi menjelaskan bahwa maksud dari puisi tersebut ialah tidak ada rumus pertengkaran dalam kearifan Indonesia.

Berbahasa dalam perspektif Zawawi

BAGI sebagian orang, umur hanyalah angka, pun Zawawi Imron. Penyair tersebut kini sudah menapaki usia ke-78. Bahkan, buku puisinya yang berjudul “Mengekalkan Puisi pada Kopi” masuk ke daftar 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2021 kategori pusi.

Bagi Zawawi, bahasa memiliki daya magisnya sendiri. Zawawi Imron mengisahkan bahwa Presiden RI Pertama Soekarno pernah mengenang puisi fenomenal Chairil Anwar berjudul “Aku”.

“Bung Karno dulu kalau ngomong ‘saudara-saudara sebangsa, setanah air, salah seorang penyair kita Chairil Anwar namanya, mengatakan Aku mau hidup seribu tahun lagi. Aku kagum kepada kalimat ini saudara,’” jelasnya kepada tadatodays.com. Ia mengatakan, dari puisi Chairil pun, Soekarno juga ingin hidup seribu tahun lagi.

Meski demikian, Zawawi menceritakan, Soekarno yakin bahwa cita-cita kemerdekaan akan hidup 100 tahun lagi. “Itu artinya, kata-kata yang tidak sekadar formal, tapu mampu memotivasi kehausan atau dahaga masyarakat yang memang membutuhkan kalimat yang inspiratif dari para pemimpin,” jelasnya.

Untuk itu, Zawawi menyarankan agar bahasa yang inspiratif dan penuh hikmah muncul dari para pemimpin. Menurutnya, apa yang membuat bahasa hari ini terkesan begitu kaku ialah bahasa hanya digunakan sebagai lat komunikasi.

“Tapi, yang saya inginkan adalah bahasa sebagai penyambung rasa keindahan antara satu dengan yang lain. Jadi kalau seorang sakit itu yang satu punya rasa simpati yang tertusuk padamu berdarah padaku,” ungkapnya.

Merespons fenomena pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa asing, Zawawi berpendapat bahwa perlu adanya karya yang menarik sehingga dapat melanggengkan bahasa Indonesia. “Silakan juga mengadopsi bahasa asing, tapi memang kalau sangat perlu, ya,” ujarnya.

Hal itu diperlukan, lanjutnya, terutama bagi generasi milenial, jika suatu bahasa sudah kehilangan rohnya. Menurutnya, penggunaan dwi bahasa, terlebih bahasa asing dan Indonesia, dapat menyegarkan bahasa.

“Jadi, dibutuhkan bahasa yang menjadi segar kembali. Jadi, pengalaman ini bisa menyegarkan bahasa, kalau mereka diajak untuk membenahi negara. Mereka jangan dilepas, harus kita ajak komunikasi dengan cara-cara saya tadi itu,” katanya. (iaf/why)


Share to