Akademisi Ingatkan Potensi Tumpang Tindih Data Program Sekolah Rakyat

Dwi Sugesti Megamuslimah
Dwi Sugesti Megamuslimah

Wednesday, 11 Jun 2025 07:56 WIB

Akademisi Ingatkan Potensi Tumpang Tindih Data Program Sekolah Rakyat

Ketua Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Jember Muhammad Irfan Hilmi.

JEMBER, TADATODAYS.COM - Program Sekolah Rakyat (SR) yang dicanangkan Kementerian Sosial mendapat sorotan dari akademisi Universitas Jember. Pasalnya, program ini dinilai berpotensi tumpang tindih dengan program pendidikan kesetaraan yang sudah ada.

Ketua Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Jember Muhammad Irfan Hilmi menilai, terdapat "anomali" dari program SR ini. Menurutnya, program pendidikan ini justru dikelola oleh Kementerian Sosial, bukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

"Dalam artian sekolah rakyat itu dikelola oleh Kemensosial bukan Kementerian Pendidikan. Apakah itu akan berlanjut keberlanjutannya, kesinambungannya?" katanya, Selasa (10/6/2025).

Laki-laki yang akrab disapa Irfan itu juga menyebut, jondisi menjadi semakin rumit karena saat ini ada dua program dengan konsep hampir sama. Selain SR dari Kemensos, Kemendikbudristek juga punya program "Sekolah Garuda" dengan target peserta didik yang relatif sama.

"Ada dua sekarang itu. Kemensos dengan sekolah rakyat, Kemendikbudristek ada sekolah Garuda. Saya juga belum tahu apakah perannya di mana," ungkap dosen Unej itu.

Irfan menjelaskan, perbedaan mendasar antara keduanya adalah SR fokus pada masyarakat miskin ekstrem dengan penguatan keterampilan hidup (life skill), sementara Sekolah Garuda lebih berorientasi pada prestasi dan keunggulan.

Lebih lanjut, kekhawatiran lain yang muncul adalah potensi SR bentrok dengan program pendidikan kesetaraan yang sudah mapan. Program seperti Paket A, B, dan C yang dikelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) punya target yang hampir sama.

"Sebenarnya dengan konsep yang saya baca di draf itu ada kesamaan dengan paket A,B,C. Yaitu kesetaraan. Program pendidikan kesetaraan memang dirancang khusus untuk masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi atau waktu. Kurikulumnya juga sudah mengintegrasikan keterampilan hidup, sehingga mirip dengan konsep SR," urainya.

Irfan menekankan pentingnya kejelasan posisi SR dalam tiga jalur pendidikan nasional, yaitu formal, non-formal, dan informal.

"Sekolah rakyat ini mau yang jalur yang mana? Apakah melengkapi jalur formal, apakah melengkapi jalur non-formal atau melengkapi jalur informal? Itu yang harus dipikirkan," tegasnya.

Ketidakjelasan ini berpotensi menciptakan kebingungan di lapangan dan membuat penggunaan sumber daya pendidikan menjadi tidak efisien.

Dalam pelaksanaannya, kata dia, SR juga menghadapi tantangan koordinasi. Meski dikelola Kemensos, Kemendikbudristek tetap terlibat dalam seleksi tenaga pendidik melalui program guru penggerak.

"Jadi seleksi untuk guru penggerak akan dicoba dialihkan atau ditugaskan di sekolah rakyat. Itu juga tantangan, apakah ada beban kerjanya?" Sambungnya.

Dinas Pendidikan daerah juga diminta berperan dalam program yang sebenarnya bukan menjadi kewenangannya. Hal ini menciptakan ambiguitas tanggung jawab.

Untuk menghindari kebingungan dan pemborosan anggaran, Irfan menyarankan perlunya klarifikasi menyeluruh tentang konsep dan posisi SR.

"Ini harus disosialisasikan yang utama ketika akan disampaikan. Apa bedanya? Kan sesuatu yang baru biasanya membawa hal-hal yang berbeda yang belum ada sebelumnya," jlentrehnya.

Fungsi SR ini, kata dia, harus benar-benar saling melengkapi dengan sistem pendidikan yang ada, bukan malah menciptakan tumpang tindih yang kontraproduktif.

Di tengah rencana implementasi SR di Jember yang akan menempati dua lokasi, evaluasi menyeluruh terhadap kebutuhan, positioning, dan koordinasi antar lembaga menjadi kebutuhan mendesak.

"Bagaimana ini terkait dengan hal itu. Mudah-mudahan SR salah satu cara mengurangi, meminimalisir kemiskinan dengan prinsip transparansi dan efektivitas," harap Irfan.

Laki-laki asal Sumedang itu menegaskan, tanpa klarifikasi yang jelas, SR berisiko menjadi program yang justru menambah kerumitan sistem pendidikan nasional, bukannya menjadi solusi bagi masyarakat miskin ekstrem. (dsm/why)


Share to