Anis Yulia Rachman dan Bahasa Isyarat, Perjalanan Menyentuh Dunia Tuli

Dwi Sugesti Megamuslimah
Dwi Sugesti Megamuslimah

Thursday, 29 May 2025 10:36 WIB

Anis Yulia Rachman dan Bahasa Isyarat, Perjalanan Menyentuh Dunia Tuli

ISYARAT: Penerjemah bahasa isyarat, Anis Yulia Rahman, saat memandu siswa-siswi tampil lagu isyarat di Lippo untuk memperingati hari disabilitas internasional.

“Kenali dulu dunia mereka. Karena ini bukan soal teknik, tapi soal empati. Bahasa ini bukan sekadar alat komunikasi, tapi bentuk pengakuan. Bahwa mereka ada, dan mereka berhak dipahami.”

JEMBER, TADATODAYS.COM - Kalimat itu meluncur tenang dari bibir Anis Yulia Rachman, perempuan 29 tahun yang dikenal sebagai salah seorang juru bahasa isyarat di Jember. Sudah hampir satu dekade Anis Yulia Rachman mengabdikan dirinya dalam dunia tuli.

Anis, sapaan akrabnya, berasal dari Pulau Sapudi, Madura. Ia adalah anak tengah dari tiga bersaudara. Sejak abahnya meninggal pada tahun 2016, Anis tinggal bersama umi dan adik bungsunya di Madura. Kini, Anis menetap di Jember dan bekerja sebagai guru honorer di SLBN Branjangan, sembari terus melibatkan diri dalam komunitas tuli di berbagai ruang.

Bagi Anis, bahasa isyarat bukan sekadar kumpulan gerak tangan yang dipelajari untuk mengisi ruang-ruang formal. Ia adalah bahasa rasa. Bahasa yang lahir dari keinginan untuk benar-benar hadir, mendengarkan dalam diam, dan mengerti dalam keterbatasan.

Semua bermula dari tahun 2016. Kala itu, Anis dipercaya menjadi koordinator pertunjukan seni dalam rangka perayaan Hari Disabilitas Internasional di Jember, yang sekaligus menandai pengesahan Undang-Undang Disabilitas. Sebuah pementasan kolaboratif yang seluruhnya dimainkan oleh teman-teman tuli atau tunarungu, mulai dari pembacaan puisi, tarian, hingga musik.

“Waktu itu saya nggak tahu apa-apa soal bahasa isyarat. Tapi saya mendampingi mereka dari awal. Setiap hari, satu bulan penuh,” kenangnya, Rabu (28/5/2025) sore.

Dari kebingungan itu, tumbuh rasa ingin tahu. Dan dari interaksi langsung, perlahan muncul pemahaman. Kata demi kata, isyarat demi isyarat, Anis belajar langsung dari sumbernya: teman-teman tuli sendiri.

Meski ia adalah lulusan Pendidikan Luar Biasa, saat kuliah dulu tidak ada mata kuliah bahasa isyarat. “Baru angkatan setelah saya yang dapat pelajaran itu. Jadi saya belajar otodidak, sambil praktik langsung,” sambungnya sambil sedikit terkekeh.

Proses belajar Anis bukan sekadar memahami struktur bahasa. Ia menyelami kehidupan sehari-hari teman-teman tuli. Mulai mengamati cara mereka berkomunikasi, bercanda, bertukar cerita, bahkan berselisih paham. “Bahasa mereka tumbuh dari budaya dan konteks. Tiap daerah bisa beda. Dan bahasa itu terus berkembang, sama seperti kita,” kata Anis.

HBI: Anis saat memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional tahun 2018.

Tak hanya itu, Anis juga berbagi tantangan yang sering ia hadapi, terutama ketika bertemu dengan komunitas tuli dari luar daerah. “Misalnya untuk kata ‘makan’, ada yang gesturnya seperti menyuap, ada juga yang seperti mencubit nasi. Itu tergantung budaya. Jadi kita nggak bisa saklek. Harus lentur, harus peka,” jelasnya.

Kini, Anis aktif menjadi juru bahasa isyarat dalam berbagai forum publik. Mulai dari acara pemerintahan, seminar, hingga layanan kepolisian. Ia juga mengajar di SMP Luar Biasa, mengajar anak-anak tuli dengan metode yang sangat personal.

"Kalau satu kelas campur antara tuli, netra, dan autis, itu yang bingung justru gurunya. Karena pendekatan tiap anak berbeda. Jadi seringnya satu-satu,” katanya sambil tersenyum.

Ada satu pengalaman yang hingga kini masih sering terjadi. Karena fasih menggunakan bahasa isyarat, banyak orang yang mengira Anis juga tunarungu. “Pas lagi ngobrol pakai isyarat, terus pas ke kasir, Mbaknya heran, ‘Lho, Mbak bisa ngomong?’ Sering banget itu,” ujarnya lalu tertawa.

CERITA: Anis saat kegiatan temu cerita menjadi relawan JBI untuk anak muda Jember.

Namun di balik semua dinamika itu, ada hal yang selalu ia tekankan kepada siapa pun yang ingin belajar bahasa isyarat. “Kenali dulu dunia mereka. Karena ini bukan soal teknik, tapi soal empati,” ulang Anis, mantap. “Kalau kita cuma belajar dari YouTube tanpa interaksi langsung, kita mungkin tahu gesturnya, tapi belum tentu paham maknanya.”

Baginya, setiap gerakan dalam bahasa isyarat adalah pengakuan bahwa komunitas tuli ada, dan layak mendapatkan akses yang setara. “Mereka punya bahasa sendiri. Kalau kita tidak belajar memahami, artinya kita ikut membatasi ruang hidup mereka. Padahal mereka juga warga negara yang punya hak dipahami.” jlentrehnya.

Di Jember sendiri, juru bahasa isyarat yang aktif hanya sekitar tujuh orang. Sebagian besar bekerja jauh dari sorotan. Tapi Anis tetap percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari hal kecil. Dari tangan-tangan yang belajar bicara, dari mata yang mau menatap lebih dalam, dan dari hati yang bersedia memahami bahwa sunyi pun punya suara.

Bagi Anis, yang paling penting dari semua ini adalah membangun empati. “Kenali dulu dunia mereka. Karena ini bukan soal teknik,” ujarnya.

Ia menyarankan siapa pun yang ingin belajar bahasa isyarat untuk terlebih dahulu membuka diri terhadap pengalaman hidup teman-teman tuli. “Kalau kita bisa memahami mereka, itu artinya kita sudah turut memperjuangkan hak mereka untuk didengar dan dimengerti,” katanya. (dsm/why)


Share to