Dilema Kehamilan Tidak Diinginkan: Antara Stigma Sosial dan Kurangnya Akses Perlindungan

Dwi Sugesti Megamuslimah
Thursday, 20 Feb 2025 07:22 WIB

BAYI DI IRIGASI: Bayi laki-laki yang ditemukan di dekat aliran irigasi sawah di Kecamatan Jelbuk saat berada di Puskesmas setempat, pada 31 Desember 2024 lalu.
JEMBER, TADATODAYS.COM - Dalam tiga bulan terakhir, Kabupaten Jember diguncang tiga kasus pembuangan bayi yang menggemparkan masyarakat. Dua dari tiga bayi yang ditemukan sudah dalam keadaan meninggal dunia.
Fenomena ini menyingkap persoalan sosial yang lebih luas. Mulai dari tingginya angka kehamilan tidak diinginkan (KTD), relasi kuasa yang timpang, hingga stigma sosial terhadap perempuan yang hamil di luar nikah.
RANGKAIAN KASUS PEMBUANGAN BAYI
Kasus pertama terjadi pada 31 Desember 2024 di Kecamatan Jelbuk. Bayi laki-laki ditemukan tanpa busana di dekat saluran air persawahan. Tragisnya, tali pusar bayi tersebut masih melekat, menandakan bahwa ia baru saja dilahirkan sebelum akhirnya dibuang.
Pada 25 Januari 2025, jasad bayi perempuan ditemukan mengapung di aliran Sungai Tanggul, Desa Darungan, Kecamatan Tanggul. Bayi dengan berat 2,2 kg dan panjang 50 cm itu diduga baru dilahirkan kurang dari 24 jam sebelum ditemukan dalam kondisi meninggal dunia.
Terbaru, pada 2 Februari 2025, warga Desa Sidomulyo, Kecamatan Semboro, dikejutkan dengan penemuan jasad bayi laki-laki di aliran Sungai Bondoyudo. Bayi tersebut ditemukan oleh seorang pemancing yang langsung melaporkan kejadian itu kepada warga sekitar.
Tren meningkatnya kasus pembuangan bayi ini mendorong Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKAB) Jember untuk melakukan berbagai upaya pencegahan.
Kepala DP3AKAB Jember Poerwahyudi, menyatakan bahwa kehamilan yang tidak diinginkan menjadi faktor utama di balik fenomena ini. “Kami tengah menyiapkan rumah aman bagi perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan. Harapannya, mereka bisa menjalani proses kehamilan dengan aman dan bayi yang lahir mendapatkan haknya,” ujar Poerwahyudi, Selasa (18/2/2025).
Rumah aman ini nantinya akan menjadi tempat perlindungan bagi perempuan yang tidak memiliki dukungan keluarga atau mengalami tekanan sosial dan ekonomi. Selain itu, DP3AKAB bekerja sama dengan psikolog dan lembaga bantuan hukum untuk memberikan pendampingan, baik dari segi mental maupun hukum.
BAYI DI TANGGUL: Jasad bayi yang ditemukan mengapung di sungai Tanggul pada 25 Januari 2025. (foto: istimewa)
PEREMPUAN MENANGGUNG BEBAN SENDIRIAN
Namun, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jentera Perempuan Jember menilai bahwa pembuangan bayi bukan hanya soal moralitas atau keterbatasan ekonomi. Masalah ini juga berkaitan dengan relasi kuasa yang timpang dan stigma sosial terhadap perempuan.
Ketua LBH Jentera Perempuan Jember Fitriyah Fajarwati menyoroti bahwa dalam banyak kasus, perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan sering kali menanggung beban sendirian.
“Dalam kasus pembuangan bayi, perempuan selalu menjadi pihak yang paling disorot. Jarang sekali ada yang bertanya, siapa ayah dari bayi itu?” ujar perempuan yang akrab disapa Fitri itu.
Fitri menjelaskan bahwa laki-laki kerap menghindari tanggung jawab atas kehamilan yang terjadi, sementara perempuan harus menghadapi konsekuensi sosial yang berat, mulai dari pengucilan keluarga, stigma negatif, hingga tekanan untuk menggugurkan kandungan atau membuang bayi setelah melahirkan.
Fitri juga mengungkapkan bahwa dalam beberapa kasus, perempuan berada dalam relasi kuasa yang tidak menguntungkan, baik dalam bentuk ketimpangan ekonomi, ketergantungan emosional, hingga menjadi korban kekerasan seksual.
“Ketika seorang perempuan hamil di luar nikah, tekanan sosialnya luar biasa. Bahkan dalam kasus aborsi, ada perempuan yang melakukannya lebih dari sekali karena berada dalam hubungan yang tidak setara dan tidak bisa berkata ‘tidak’,” terangnya.

Menurut LBH Jentera, kurangnya pendidikan seksualitas di masyarakat juga menjadi faktor utama yang membuat generasi muda kurang memahami kesehatan reproduksi dan risiko dari hubungan seksual yang tidak bertanggung jawab.
“Pendidikan seks masih dianggap tabu. Padahal, ini bukan soal mengajarkan anak untuk berhubungan seksual, melainkan membekali mereka dengan pengetahuan tentang tubuh, hak-hak reproduksi, serta cara mencegah kehamilan yang tidak diinginkan,” urainya.
UPAYA PENCEGAHAN DAN SOLUSI
Dalam menghadapi fenomena ini, DP3AKAB Jember berencana menghidupkan kembali Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) sebagai pusat konseling bagi keluarga dan perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan.
Layanan ini diharapkan dapat menjadi ruang aman bagi perempuan untuk mendapatkan pendampingan psikologis dan edukasi terkait kesehatan reproduksi.
Selain itu, LBH Jentera Perempuan Jember telah menyediakan layanan perlindungan bagi perempuan yang mengalami KTD. Mereka dapat ditampung di rumah aman hingga proses persalinan selesai, dengan opsi mengembalikan bayi kepada keluarga atau mencari orang tua asuh yang bersedia merawatnya.
Namun, Fitri menegaskan bahwa upaya pencegahan harus dilakukan secara lebih sistematis dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, dan keluarga.
“Kalau ada akses yang jelas bagi perempuan untuk mencari bantuan, setidaknya mereka tahu ke mana harus pergi. Jangan sampai karena ketakutan dan tekanan sosial, mereka akhirnya memilih jalan yang berisiko, baik bagi dirinya maupun bayinya,” jlentreh Fitri.
Sementara itu, bagi pelaku kekerasan seksual atau pihak yang dengan sengaja membuang bayi, proses hukum tetap akan ditegakkan melalui kerja sama antara DP3AKAB Jember, kepolisian, serta lembaga bantuan hukum.
BAYI DI SUNGAI: Jasad bayi laki-laki yang ditemukan di sungai Bondoyudo, Jember pada 2 Februari 2025. (foto: Polsek Tanggul)
REGULASI TERKAIT ABORSI
Terkait aborsi, Kepala DP3AKAB Jember Poerwahyudi menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang Kesehatan, aborsi diperbolehkan dalam kondisi tertentu. Seperti jika terjadi kehamilan akibat kekerasan seksual atau jika kehamilan mengancam nyawa ibu.
Saat ini, batas usia kehamilan yang diizinkan untuk aborsi adalah enam minggu. Namun, dalam KUHP terbaru yang akan berlaku pada 2026, batas usia kehamilan yang dapat diaborsi diperpanjang menjadi 15 minggu.
DP3AKAB berharap adanya sinergi antara pemerintah, organisasi masyarakat, serta media dalam menyosialisasikan solusi yang telah disiapkan, sehingga kasus pembuangan bayi di Jember dapat ditekan.
“Kami ingin menekankan bahwa kehamilan tidak diinginkan, bukanlah akhir segalanya. Ada solusi yang bisa diambil. Ada tempat bagi mereka untuk berlindung, dan ada hak yang harus diperjuangkan bagi sang ibu maupun bayi yang dikandungnya,” pungkasnya.
Kasus pembuangan bayi di Jember menjadi cerminan bagaimana isu ketimpangan gender, kurangnya pendidikan seks, dan tekanan sosial, masih menjadi tantangan besar. Perlu kerja sama lintas sektor untuk memastikan bahwa perempuan tidak lagi menjadi korban utama dalam persoalan ini. (dsm/why)




Share to
 (lp).jpg)