Farid Gaban: Media Berubah, Jurnalisme Tidak, karena Ada Etik

Andi Saputra
Andi Saputra

Wednesday, 29 Jun 2022 08:18 WIB

Farid Gaban: Media Berubah, Jurnalisme Tidak, karena Ada Etik

DISKUSI: Farid Gaban dan Dandhy Dwi Laksono dalam diskusi “Bicara Media Hari Ini’ yang diselenggarakan oleh ADAB Foundation dan Aksara Media, di salah satu kafe di Jember, Selasa (28/6/2022) malam.

JEMBER, TADATODAYS.COM - Jurnalisme tidak akan pernah mati, meski saluran media telah berubah dengan cepat.  Namun demikian, terdapat sejumlah syarat agar jurnalisme tetap hidup. 

Hal itu dinyatakan jurnalis senior Farid Gaban, dalam sesi diskusi bertajuk “Bicara Media Hari Ini’ yang diselenggarakan oleh ADAB Foundation dan Aksara Media. Diskusi tersebut digeber di salah satu kafe di Jember, Selasa (28/6/2022) malam. 

Farid menyebutkan, terdapat dua kemampuan yang lekat dengan jurnalisme. Pertama, kemampuan teknik jurnalisme, seperti menulis, memilih diksi, menyunting berita, merekam audio visual atau editing. Kedua, kemampuan etik jurnalisme, yakni sebuah ketaatan akan prosedural terhadap kode etik jurnalistik, meliputi independensi, keakuratan, keberimbangan, dan pertanggung-jawaban kepada publik.

Menurutnya, yang membuat jurnalisme akan tetap hidup adalah kemampuan yang kedua, yakni  kemampuan etik jurnalisme. Alumnus Center for Foreign Journalist, Reston, Virginia, Amerika Serikat itu  berpendapat, saat ini banyak orang memiliki kemampuan teknik jurnalisme, namun tidak dengan kemampuan etik jurnalisme. Untuk itu, pihaknya berpesan agar para jurnalis berpegang teguh pada kode etik.

“Jurnalisme memiliki sisi yang lain, yaitu sisi etik. Media berubah, tapi jurnalisme tidak, karena ada etik,” kata Farid. 

Lebih lanjut, Farid mengatakan bahwa jurnalisme adalah metode mencari kebenaran dengan cara yang prosedural. Oleh karenanya, profesi jurnalis bertanggung jawab kepada publik, bukan kepada perusahaan media, atasan, atau kelompok  tertentu.

“Kode etik itulah proseduralnya. Ada wawancara, riset, membandingkan, verifikasi dan lain-lain,” katanya.

Sementara, Dandhy Dwi Laksono selain mempertegas pendapat Farid, juga memberikan pemaparan lebih luas mengenai perkembangan media hari ini. Dandhy yang seorang jurnalis investigasi mengatakan, tugas jurnalisme menurutnya belum bisa tergantikan, meski media sosial memberikan pengaruh yang cukup besar dalam perkembangannya. Sisi kebenaran yang lebih akurat masih di tangan seorang jurnalis.

Ia mengakui, posisi jurnalis terkadang tersandra oleh perusahaan media, sehingga terkadang unsur independensi yang dimaksud dalam kode etik harus tergadaikan. Dandhy menceritakan pengalamannya selama 9 tahun bekerja di media mainstream, sampai sempat berpindah media sebanyak 11 kali. Alasannya sama, karena idealisme jurnalisme tidak sepenuhnya bisa diterapkan.

Oleh karena itu, pada tahun 2009 Dhandy memutuskan untuk mendirikan media alternative, yaitu sebuah rumah produksi film dokumenter  yang diberi nama “Watchdoc Documentary”. Produk film dokumenternya kental akan jurnalisme investigasi.

Mantan Head of Assignment Desk RCTI itu mengungkapkan, karya yang diproduksi oleh Watchdoc bukanlah murni karya jurnalisme. Ia memilih menyebutnya sebagai sebuah karya film. Namun, unsur jurnalisme tetap kental di setiap karya film dokumenternya, lantaran mengangkat isu yang faktual dan berasal dari data terverifikasi sebelumnya.

Pria asal Kabupaten Lumajang itu kemudian menambahkan, saat ini merupakan masa yang baik untuk mendorong kemajuan jurnalisme di Indonesia, karena saluran menyebar informasi telah tersedia. Untuk itu, dirinya mengajak setiap orang untuk menjadi media, dengan bekal dua kemampuan yang disyaratkan oleh Farid Gaban.

“Saya berhenti berharap kepada media besar, kalau berbicara keberpihakan.  Sekarang lebih berfikir bagaimana memproduksi tontonan alternatif, karena teknologi sudah memungkinkan. Kita adalah media itu sendiri,” ucap Dandhy menutup perbincangan panjang diskusi malam itu. (as/why)


Share to