Kisah Monica Nur Hafifi Putri, Setiap Hari Menerjang 8 Kilometer Medan Berat ke SD-nya

Dwi Sugesti Megamuslimah
Dwi Sugesti Megamuslimah

Thursday, 26 Oct 2023 12:51 WIB

Kisah Monica Nur Hafifi Putri, Setiap Hari Menerjang 8 Kilometer Medan Berat ke SD-nya

Foto-foto: Dwi Sugesti Megamuslimah/tadatodays.com

Monica Nur Hafifi Putri, menjadi salah satu cerminan masih adanya potret buram akses pendidikan di Jember. Meski rumahnya berjarak tempuh hanya sekira 13 menit dari kantor Bupati Jember, Fifi saban harinya harus berjuang keras demi menjangkau sekolahnya. Selain jaraknya jauh, medan jalan pun ekstrem.   

--------------------

JARUM jam masih menunjuk pukul 5 pagi. Tetapi Fifi, sapaan Monica Nur Hafifi Putri, sudah harus berangkat ke sekolah. Tidak ada acara bermalas-malasan bagi Fifi. Bila tidak ingin terlambat tiba di sekolah, ia harus sudah berangkat sepagi itu.

Fifi duduk di bangku kelas III SDN Bintoro 03 yang terletak di Dusun Mojan, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Patrang. Sekolah tersebut berjarak sekitar 8 kilometer dari rumah Fifi di Dusun Sekarang, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Patrang. Untuk menjangkau sekolah itu, setiap harinya Fifi berjalan kaki menerjang medan ekstrem, jauh pula.

SEMANGAT: Dengan tas ransel kesayangannya, Fifi berjalan kaki menapaki jalan naik-turun curam.

Gadis kecil berusia 9 tahun itu mengawali perjalanan ke sekolahnya tiap pukul 5 pagi. Ia menembus hawa dingin, melewati jalan setapak yang naik-turun curam membelah bukit sejauh 5 kilometer. Setelah melewati beberapa kebun milik warga, kaki mungil gadis ini masih harus menyeberang sungai tanpa jembatan.

Sebenarnya di sungai itu ada jembatan bambu buatan warga. Tetapi kondisi jembatan bambu itu sudah banyak lapuk dan keropos. Karena itu, warga tidak menggunakan lagi jembatan tersebut. Mereka memilih menyeberang sungai dengan cara menapak antar bebatuan. Itu pula yang dilakukan Fifi. 

Menyeberang sungai pada saat musim kemarau, masih dimudahkan air yang tidak terlalu dalam. Bebatuan jadi menonjol. Tetapi bila musim penghujan tiba, debit air sungai meningkat, bahkan tidak jarang meluap dan banjir. Bebatuan bisa tertutup air. Maka, terbayang semakin berat dan berbahaya perjuangan Fifi menuju sekolahnya.

Fifi baru bisa melihat pemukiman warga setelah menyeberangi sungai ini. Apakah aman? Tentu saja keselamatan gadis kecil ini terancam. Ia bisa saja terpeleset oleh dedaunan kering yang berserakan di sepanjang jalan, maupun ancaman binatang buas seperti ular yang kerap bersembunyi di balik rindangnya pepohonan.

Apa hanya selesai disitu? Tidak. Itu baru separo lebih perjalanan Fifi. Untuk sampai ke sekolahnya, Fifi masih harus berjalan kaki lagi sejauh 3 kilometer menyusuri kerasnya jalan raya. Fifi baru tiba di sekolah setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1 sampai 1,5 jam.  Padahal, Kelurahan Bintoro hanya berjarak tempuh 13 menit dari kantor Bupati Jember.

Fifi adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, yang semuanya adalah perempuan. Dua kakak Fifi dulu juga mengenyam pendidikan di SD yang sama. Kini, kedua kakak Fifi tengah melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren di wilayah Jember timur.

Samhari, 53, sang bapak, bekerja serabutan. Sedangkan sang ibu, Sumiati, 37, ikut membantu mencari nafkah dengan menjadi penggembala kecil. Setiap harinya Sumiati sibuk mencari rumput untuk pakan ternak yang digembalakannya. 

Tentang perjuangan putrinya berangkat sekolah sepagi itu, Sumiati menyebutnya sebagai keharusan. "Ya kalau lebih dari itu pasti terlambat. Jadi, saya bangun jam tiga pagi untuk masak dan siap-siap antar anak. Karena jalannya jauh, jadi harus berangkat pagi," kata Sumiati sambil menyajikan segelas teh hangat kepada jurnalis tadatodays.com yang berkunjung di rumahnya, Rabu (25/10/2023).

Sumiati memang masih menyempatkan diri mengantar Fifi berangkat sekolah. Tetapi Sumiati hanya bisa menemani Fifi sampai di area kebun. Sebab, di area kebun itu pula Sumiati biasa mencari rumput.

Sementara, menjalani perjalanan berat setiap hari berangkat dan pulang sekolah tidak membuat Fifi mengeluh. Tidak seperti teman-temannya yang bisa diantar-jemput sekolah naik motor. Gadis kecil itu tetap bersemangat sekolah dengan ransel merah muda kesayangannya. "Enggak capek, soalnya nanti di sekolah ketemu temen-temen, bisa belajar bareng," tutur gadis berlesung pipi itu renyah penuh semangat.

JEMBATAN: Melintasi jembatan bambu kecil menjadi salah satu rute wajib Fifi selepas menyeberang sungai.

MEMBUTUHKAN JEMBATAN

SEMBARI menyiapkan makanan, Sumiati terdengar mengeluhkan susahnya akses jalan. Bahkan sepeda motor pun tidak bisa melintasi jalur tersebut. Untuk menjalankan aktivitas, suami Sumiati harus menitipkan motor di rumah saudaranya yang berada diseberang sungai.

Kesulitan akses ini dirasakan oleh sekitar 35 kepala keluarga yang tinggal di pemukiman Dusun Sekarang itu.  Selain itu, rata-rata warga dusun itu masih tidak memiliki kamar mandi maupun jamban. Untuk kepentingan MCK, warga masih harus pergi ke sungai atau sumber mata air. Keluarga Fifi adalah salah satunya.

"Keluarga saya nggak punya kamar mandi. Jadi untuk mandi, nyuci dan keperluan air, masih dari sumber," kata Sumiati.

Selain itu, Sumiati mengaku khawatir terhadap putrinya yang kerap berjalan sendirian untuk sekedar pulang dari sekolah atau pulang-pergi ke TPQ. Terutama karena tidak adanya jembatan yang membentang di sungai yang menjadi akses satu-satunya menuju pemukiman warga.

Padahal, selain medan berat, tidak ada penerangan di sepanjang jalan. "Saya sering kepikiran kalau Fifi pulang dari TPQ, karena pulangnya jam 8 malam. Kadang saya jemput, kadang anaknya pulang sendiri. Mana jalannya nggak ada lampu, penerangannya cuma pakai senter dari HP," keluh perempuan yang karib disapa Bu Sum itu.

Sumiati melanjutkan cerita, selama Fifi bersekolah sampai hari ini, terhitung baru dua kali mendapat bantuan dari program Kartu Indonesia Pintar (KIP) di sekolahnya. Selebihnya tidak pernah. Bahkan kedua anaknya yang lain tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Baik itu bantuan buku, seragam maupun keperluan sekolah lainnya. "Semua kami usahakan sendiri mbak," ucap Sumiati dengan mata berkaca-kaca.

SUNGAI: Menyeberangi sungai menjadi bagian paling sulit dan rawan yang harus dilalui Fifi setiap berangkat dan pulang sekolah. Bila musim hujan datang, menyeberang sungai tidak lagi mudah.

SADAR PENTINGNYA PENDIDIKAN

MENDAPAT pendidikan yang layak adalah hak setiap warga Negara Indonesia. Hak ini dilindungi oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.  Maka, menjamin setiap warga negara bisa mengakses pendidikan, juga menjadi kewajiban negara. Termasuk penyediaan infrastruktur berupa akses jalan. 

Sumiati mengaku dirinya dan suaminya bukan dari kaum pendidikan. Suaminya bahkan sama sekali tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Tetapi Sumiati dan suaminya sadar betul pentingnya pendidikan.

Karena itu, Sumiati dan suaminya tidak pernah putus semangat mengantar anak-anaknya menuju gerbang pendidikan. Sumiati pun bersyukur, ketiga anaknya memiliki semangat yang selaras dengan harapan dan cita-citanya.

"Sebenarnya harapan saya sederhana. Saya cuma nggak mau anak saya nanti seperti saya. Saya enggak sekolah. Jadi, anak saya harus sekolah, bagaimanapun caranya. Biar nanti nggak gampang dibohongi orang, kerjanya juga gampang," ucap Sumiati, lalu tersenyum. (dsm/why)


Share to