Mendengar Asa Petani Kopi Lereng Raung Jember: Pemerintah Hadirkan Sistem Distribusi Sendiri

Dwi Sugesti Megamuslimah
Dwi Sugesti Megamuslimah

Thursday, 06 Nov 2025 18:10 WIB

Mendengar Asa Petani Kopi Lereng Raung Jember: Pemerintah Hadirkan Sistem Distribusi Sendiri

SIAP GILING: Biji kopi siap giling milik Zaenal Hosen di lereng Gunung Raung, Jember.

JEMBER, TADATODAYS.COM - Di balik aroma khas kopi dari lereng Gunung Raung, Jember, tersimpan kisah perjuangan petani. Mereka tidak hanya harus menghadapi cuaca tak menentu, tetapi juga permainan harga oleh tengkulak.

Salah satunya dialami Zaenal Hosen (52), petani asal Desa Sumberbulus, Kecamatan Ledokombo. Zen, begitu ia biasa disapa, telah 13 tahun menggantungkan hidup dari kebun kopi di ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut.

ARABICA: Tanaman kopi jenis arabica milik warga yang ditanam di lereng Gunung Raung.

Zen menanam kopi robusta di lahan seluas 10 hektar milik keluarga yang berada di kawasan Perhutani. Ia memulai usahanya pada 2012, setelah meninggalkan tanaman tembakau dan jagung yang kala itu tidak lagi menjanjikan. “Dulu semua teman-teman nanam, jadi saya ikut. Awalnya juga enggak gampang,” ujarnya saat ditemui, Kamis (6/11/2025) sore.

Kini, kebun kopi yang ia kelola mampu menghasilkan hingga 150 ton biji kering (ose) per tahun. Namun, di balik produktivitas itu, tantangan yang dihadapi tidak kecil. Cuaca ekstrem, harga pupuk tinggi, hingga fluktuasi harga jual menjadi masalah rutin.

Menurutnya, pupuk subsidi yang semestinya terjangkau justru sering dijual mahal oleh pengepul, mencapai Rp300 ribu hingga Rp400 ribu per kuintal. “Kalau enggak dipupuk, hasilnya enggak bagus. Tapi harga pupuknya juga berat,” keluh Zen.

Masalah lain yang paling memukul adalah permainan harga oleh tengkulak. Zen menuturkan, harga kopi pernah turun hingga Rp5.000 hanya dalam sehari. “Kita enggak bisa tahan lama, tetap dijual. Butuh uang,” ucapnya pasrah.

KOPI: Zaenal Hosen saat menggiling dan membersihkan biji kopi.

Selama ini, hasil panennya dipasarkan di wilayah sekitar, termasuk ke pengepul dan konsumen lokal. Harga biji kopi dijual antara Rp70 ribu hingga Rp75 ribu per kilogram, sementara kopi bubuk kemasan setengah kilogram dijual Rp100 ribu. “Kopi kami murni, bukan campuran. Tapi kalau dijual murah, ya rugi,” katanya.

Zen berharap, ada peran lebih besar dari Pemkab Jember dalam membantu petani, terutama untuk menjaga stabilitas harga dan menyalurkan pupuk bersubsidi secara tepat sasaran. Ia juga mendorong pemerintah daerah membentuk sistem distribusi kopi agar harga tidak dikuasai tengkulak. “Kalau bisa, pemerintah punya tempat sendiri buat jual kopi dari petani. Biar enggak dipermainkan pengepul,” pintanya.

Meskipun menghadapi banyak kendala, semangat Zen tak pernah surut. Ia tetap menjaga kualitas dengan memastikan biji kopi yang dipetik mayoritas sudah matang. “Yang penting petik tua. Kebanyakan merah, walau masih campuran,” ujarnya. (dsm/why)


Share to