Museum Huruf Menjadi “Living Museum”

Iqbal Al Fardi
Iqbal Al Fardi

Sunday, 09 Oct 2022 19:24 WIB

Museum Huruf Menjadi “Living Museum”

HARI JADI KELIMA: Skrining film Maramba sebagai rangkaian sepekan agenda hari jadi kelima Museum Huruf, Jember.

Menginjak tahun kelima eksistensinya, Museum Huruf Jember menggelar acara dalam sepekan, dari launching koleksi arsip hingga diskusi. Tidak hanya pada momen hari jadinya, museum yang digagas oleh Ade Sidiq Permana dan koleganya, Erik Wijayanto pun aktif mengadakan acara, khususnya literasi. Hal ini sesuai dengan tujuan kedua pendiri, yaitu selain mengenalkan perihal aksara, juga berusaha membuka ruang dialektika di tengah masyarakat Jember.

--------------------

JALAN Bengawan Solo ramai lalu lalang kendaraan bermotor. Bising tak dapat dihindari. Namun, hal itu tidak mengganggu gelaran di Museum Huruf yang lokasinya berada di ruas jalan tersebut. Sebab, agenda mereka diselenggarakan di halaman belakang yang biasa ditempati untuk kegiatan diskusi pada Kamis (1/9/2022) malam. Parkiran di halaman depan dipenuhi oleh sepeda motor.

Agenda pada malam itu ialah screening film “Maramba” karya Riandhani Yudha Pamungkas yang juga alumni dari Prodi Studi Televisi dan Film (PSTF) Fakultas Ilmu Budaya Unej. Film berbentuk documenter tersebut mengangkat pemakaman raja Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ritual pemakaman raja Sumba ialah budaya dari penganut Marapu.

Sayangnya, Rian sendiri belum bisa menghadiri acara malamitu. Acara tetap digelar meski dengan absennya pemilik karya. Untuk memeriahkannya, diundang pula Dwi Pranoto yang tak asing bagi masyarakat sastra dan budaya Jember. Ia tidak sendiri. Ada Ghuiral yang juga lulusan PSTF FIB Unej  turut menemani Pranoto sebagai moderator.

Pukul 20.00, ruang belakang gelap, tersisa temaram cahaya lampu dari luar. Sorotan cahaya dari proyektor mulai menembak layar. Pertanda screening film dimulai. Di pojokan jalan masuk, Erik dan Ade tampak menikmati pemutaran film pilihan Family Sunday Movie (FSM) 2022 tersebut.

Usai agenda itu, seluruh peserta, Erik dan Ade tampak siap untuk mengabadikan momen tersebut. Mereka memilih untuk berfoto di depan gedung Museum Huruf. Jepret! Semua orang berpose dengan gaya masing-masing.

Setelahnya, Ade dan Erik menyalami tamu-tamu yang baru saja datang dan yang sedari tadi mengisi jejeran meja kafe. Seorang dari mereka membawa kue ulang tahun untuk Museum Huruf dan dibagikan kepada pengunjung lainnya.

Ade dengan secangkir kopi dan seiris kue tart di tangannya kemudian menghampiri tadatodays.com. Sedangkan Erik pamit untuk pulang, karena ada masalah kelistrikan di rumahnya.

Kebisingan kendaraan motor di Jalan Bengawan Solo 27 sedari tadi tak kunjung lengang. Ade menuju ke ruang display produk untuk sedikit menghindari hiruk-pikuk. Tak ada seorang pun di sana, hanya Ade seorang yang sedang menyulut kreteknya.

 “Sudah lima tahun Museum Huruf ini berdiri. Tak terasa betul,” ungkapnya sebagai pembuka obrolan. Di setiap ulang tahunnya, Museum Huruf mengadakan kegiatan bertajuk “PekanAksara”. Di tahun kelima ini, tema yang diangkat berjudul “Loka Aksara”.

Untuk perayaan kali ini, Ade menjelaskan bahwa Museum Huruf memublikasi koleksinya yaitu aksara Norse Runes sebagai aksara dari Skandinavia Utara. Museum Huruf memiliki dua koleksi besar, yaitu koleksi dunia dan nusantara.“Setiap tahun di Museum Huruf harus ada koleksi baru,” kata Ade.

Misi utama dari agenda Pekan Aksara, Ade mengatakan, adalah pengenalan cross culture (lintas budaya). Pihaknya menya dari bahwa budaya dominan yang ada di Jember ialah Jawa dan Madura. Sebabnya, dengan konsep tersebut, pihaknya ingin membangun relasi antar budaya. “Kita ingin  mengenalkan sekaligus membangun relasi antar budaya di sini,” ungkapnya.

Dengan tajuk tersebut, Ade menjelaskan bahwa, pihaknya memaknai lima tahun berjalannya Museum Huruf. Hal tersebut kembali kepada tujuan utama pihaknya mendirikan museum, yaitu sebagai melting point (titik lebur) apa saja yang berkaitan dengan keaksaraan, seperti halnya budaya dan sosial. “Hal tersebut menjadi representasi dari Museum Huruf ini,” jelas Ade.

Museum bagi Ade bukan perihal kuantitas, tetapi kualitas. Pihaknya berusaha untuk memunculkan ciri khas dengan cara menggabungkan konsep museum konvensional dan modern. Salah satunya ialah museum sebagai melting poin. Namun, usaha tersebut tidak selalu berjalan mulus.

“Keterbatasan kami yang paling mendasar ialah soal kapital. Kalau terkait program, kita sudah persiapkan dengan baik. Karena kita adalah museum swadaya, semua yang dikerjakan itu distimulasi dari kita sendiri,” jelasnya.

Meski begitu, pihaknya juga terbantu dari kolega yang dimiliki, umunya berbentuk sponsorship.“Kita juga terbantu dari kolega. Sebab itu, kami selalu undang mereka ke acara-acara yang diselenggarakan,” terangnya. Baginya, hal tersebut adalah bentuk manajemen yang mungkin tidak dimiliki oleh lainnya.

Salah satu hal yang menurut Ade belum dicapai ialah apresiasi dari sekitar. Padahal, letak Museum Huruf sendiri berada di pusat pendidikan Jember. “Salah satu yang belum tercapai ialah ‘School Goes to Museum’. Padahal di sini dekat dengan lingkungan akademik dan sudah lima tahun berjalan,” keluhnya.

Untuk itu, Ade mengatakan bahwa sekolah di wilayah lain sudah menjamah ruang pendidikan non konvensional seperti museum. Museum baginya bisa menjadi ruang alternative untuk pendidikan. “Museum bisa menjadi ruang alternative untuk pendidikan, seperti halnya di Jogja,” jelasnya dengan nada tinggi, sebab bisingnya kendaraan di jalan.

Dalam kurun waktu dua tahun ini, Ade mengungkapkan, timbale balik keberadaan museum mulai berdatangan dari institusi kampus. “Contohnya, sekarang mulai ada anak kampus yang PPL di sini. Itu bentuk feedback yang bagus bagi kami. Hanya sekolah yang belum,” katanya.

Terlebih, lanjutnya, di penerapan Kurikulum Merdeka juga turut mengindahkan ruang komunal seperti museum untuk belajar. Sebab itu, Ade merasa bahwa program berkunjung ke museum bagi anak sekolah perlu diwajibkan.

Ade membandingkan dengan sekolah di wilayah yang lebih maju. “Sekolah di wilayah yang lebih maju merasa penting untuk program berkunjungke museum,” ungkapnya sembari menyeruput kopi yang mulai dingin.

Terkait keterlibatan publik, Ade mengatakan, Museum Huruf tidak hanya berfungsi sebagai museum, namun juga ruang publik. Biasanya, usai jam operasional museum, pihaknya terkadang membuka ruang dialektika yang diisi dengan diskusi, kurasi, unjuk karya.

“Kami membuka ruang dialektika usai jam operasional, yang menurut kami hal tersebut perlu diintensifkan oleh museum lainnya,”  jelasnya dengan sedikit menikmati segelas kopi tubruk robustanya.

Salah satu kegiatan di ruang dialektikanya, Ade mencontohkan, saat momen International Women’s Day, Museum Huruf turut mengakomodir kegiatan diskusi mengenaikesetaraan gender. 

Museum Huruf memang museum keaksaraan, tambahnya, tetapi mengikuti isu-isu global dan kemanusiaan adalah perangkat features, sehingga dapat menyambungkan ke tujuannya sebagai melting point. “Isu-isu global dan kemanusiaanadalah features kami,” imbuhnya.

Kemudian terlintas di benak Ade bahwa, konsep museum yang pihaknya bangun disebutnya sebagai “Living Museum”. “Museum yang hidup dan tidak beku. Museum yang bergerak. Museum yang membangun relasi dengan sekitar dan koleganya,” jelasnya dengan nada semangat.

Bagi Ade, jika dirinya ingin pergi ke kota yang tak dikenalnya, ia akan terlebih dahulu mengunjungi museum. Sebab, di museum dirinya akan mengetahui seperti apa karakter kota tersebut, etnografi masyarakatnya, sejarahnya, dan sebagainya. Baginya, kota yang maju ialah kota yang memiliki museum. “Bagi saya, kota yang maju ialah kota yang memiliki museum,” ujarnya. (iaf/why)


Share to