Soal Revisi Pembahasan RUU Penyiaran, Akademisi Unmuh Jember Angkat Bicara

Dwi Sugesti Megamuslimah
Dwi Sugesti Megamuslimah

Wednesday, 15 May 2024 18:21 WIB

Soal Revisi Pembahasan RUU Penyiaran, Akademisi Unmuh Jember Angkat Bicara

JEMBER, TADATODAYS.COM - Pembahasan Rancangan undang-undang (RUU) Penyiaran di Badan Legislatif (baleg) DPR RI menuai banyak kontroversi. Bagaimana tidak, RUU tersebut berpotensi menjegal kerja jurnalisik sebagai salah satu kontrol sosial. Terlebih yang berkenaan dengan jurnalisme investigasi.

Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jember (Unmuh Jember), Suyono, menyatakan bahwa penayangan jurnalisme investigatif harus dijamin kebebasannya.

"Terlepas dari perdebatan bentuk medianya, yang jelas jurnalisme investigasi merupakan produk pers, yang harus dijamin kebebasannya," katanya Rabu (15/5/2024).

Suyono juga menyebut, sudah waktunya anggota DPR RI melakukan reorientasi tugas pokok dan fungsinya sebagai anggota dewan.

Menurutnya, DPR RI merupakan representasi kedaulatan rakyat. "DPR harusnya menjadi kepanjangan tangan rakyat dan menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya," sambungnya.

Namun pada praktiknya, lanjutnya, DPR RI selama ini lebih banyak menyuarakan kepentingan Pemerintah untuk melindungi kekuasaan atau keberlangsungan penguasa dan kepentingan kelompok elit lainnya.

DPR RI selalu reaksioner menyikapi setiap perkembangan yang terjadi. Terutama perkembangan media yang bertransformasi dengan cepat seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

"Sikap anggota dewan seperti ini, tentu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020, yang menyebutkan bahwa penyusunan sebuah regulasi baru harus melibatkan partisipasi publik," urainya.

Sementara, sejumlah pakar media, dan lembaga media, termasuk Dewan Pers, mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses pembahasan draf revisi RUU Penyiaran, baik dalam proses dengar pendapat, maupun proses pembahasan lainnya.

Adapun, pasal yang dianggap paling krusial adalah, Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran yang dianggap bertentangan dengan semangat UU No.40 Tahun 1999, tentang Pers. Karena dalam pasal tersebut berisi larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi. 

Suyono menilai, pasal ini tampak sebagai reaksi penguasa untuk membatasi aktivitas jurnalisme yang dikembangkan para jurnalis media, melalui siaran podcast dengan memanfaatkan media baru (new media), melalui platform media sosial.

Beberapa media di Jakarta dan kota lainnya, mengembangkan jurnalisme investigasi sebagai bahan perbincangan dan diskusi publik melalui media sosial. Informasi dan data lengkapnya ditulis dan dipublikasikan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik.

Memang selama ini, di ranah hukum masih menjadi perdebatan, terkait definisi penyiaran. Siaran terprogram maupun siaran langsung, yang dipancarkan melalui media sosial, dianggap sebagai produk webcasting (internet/jaringan yang terhubung) dan bukan produk penyiaran (menggunakan sinyal). 

Praktisi jurnalistik itu  berharap anggota Baleg DPR RI, segera mengundang Dewan Pers, pakar jurnalistik/penyiaran, dan organisasi profesi wartawan, untuk melanjutkan pembahasan draf revisi RUU Penyiaran tersebut.

"Pelibatan media, diharapkan dapat meredam gejolak di kalangan awak media, sekaligus mengakhiri polemik terkait kontroversi RUU Penyiaran yang semakin tajam," katanya. (dsm/why)


Share to