Sound Horeg di Persimpangan Hiburan dan Teror Suara: Kajian MUI Jember Bongkar Dampaknya

Dwi Sugesti Megamuslimah
Wednesday, 09 Jul 2025 14:20 WIB

SOUND: Parade sound horeg milik brewog audio. (Foto: Dokumen instagram brewog audio)
JEMBER, TADATODAYS.COM - Getaran bass menembus tembok rumah, mengguncang kaca jendela, memaksa anak-anak terjaga hingga larut malam. Bagi sebagian warga Jember, ini bukan lagi hiburan yang memeriahkan hajatan, melainkan teror suara yang terus datang tanpa kenal waktu.
Fenomena inilah yang menjadi perhatian serius Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jember melalui kajian khusus tentang sound horeg.
Ketua Kajian Sound Horeg MUI Jember Moh. Lutfi Nur Cahyo menegaskan, penggunaan sound system berdaya tinggi dalam hajatan sudah melampaui batas wajar. “Ambang batas kebisingan yang aman di area publik itu 65 sampai 85 desibel. Di lapangan kami temukan yang tembus 130 desibel,” jelasnya kepada tadatodays.com, Rabu (9/7/2025) siang.
Kajian itu dilakukan sepanjang Juni 2025. Tim turun langsung mengukur kebisingan di berbagai titik strategis seperti di dekat masjid, sekolah, dan permukiman padat. Pengukuran menggunakan sound level meter untuk memastikan akurasi data.
Menurut Lutfi, suara yang terlalu keras tidak hanya memecah malam tapi juga merusak kenyamanan hidup.
Lutfi menyatakan, salah satu penyebab kesalahpahaman di masyarakat adalah kurangnya pengetahuan tentang perbedaan mendasar antara sound system biasa dan sound horeg.
“Sound system itu wajar sebagai pendukung hiburan. Tapi sound horeg itu ketika sound system diatur volumenya melampaui batas dan frekuensi bass-nya dipaksa naik untuk menimbulkan getaran yang terasa sampai rumah orang lain,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa dalam praktik sound horeg, pengaturan audio sengaja dibuat ekstrem untuk adu gengsi antarkomunitas, bukan untuk mendukung keperluan hiburan secara wajar.
Kajian MUI tidak berhenti pada pengukuran teknis. Mereka juga melakukan survei wawancara terhadap lebih dari 50 responden lintas kecamatan, usia, dan profesi.

Mayoritas responden mengaku terganggu. Gangguan tidur menjadi keluhan paling banyak. Bahkan tidak sedikit warga yang terpaksa meninggalkan rumah saat ada hajatan yang menggunakan sound horeg.
“Ada ibu hamil yang harus mengungsi ke rumah saudara. Lansia juga stres. (Dampak sound horeg, red) Ini sudah merusak hak dasar orang untuk istirahat,” ujar laki-laki yang juga Dosen Fakultas Syariah UIN KHAS Jember itu.
Selain fisik, kebisingan berlebihan juga memicu ketegangan psikis. Anak-anak yang takut, orang tua yang marah, dan warga yang memilih diam karena khawatir terjadi konflik.
Salah satu klaim yang kerap muncul dari penggemar sound horeg adalah bahwa aktivitas mereka merupakan bagian dari budaya lokal. MUI Jember menolak tegas narasi itu.
“Sound system itu wajar sebagai pendukung hiburan. Tapi ketika di-setting berlebihan hingga bass-nya menembus rumah orang lain, itu bukan budaya. Itu hanya solidaritas komunitas penggemar yang salah kaprah,” kata Lutfi.
Baginya, inti masalah adalah kurangnya empati dan simpati pada warga sekitar.
Di beberapa daerah, kata dia, larangan aktivitas sound horeg sudah lebih dulu diputuskan. Terlebih bagi sound horeg yang mengganggu, MUI Jember belum mengeluarkan fatwa resmi.
Menurut Lutfi, pihaknya menunggu keputusan MUI Jawa Timur agar tidak terjadi perbedaan sikap yang membingungkan umat. Meski demikian, ia menilai langkah pemerintah daerah jauh lebih mendesak. “Minimal ada surat edaran Bupati. Syukur kalau bisa perda. Karena ini masalah lintas sektoral,” tegasnya.
Sementara, Ketua MUI Jember KH Abdul Haris mengaku tengah dalam perjalanan menghadiri rapat bersama Komisi Fatwa MUI Jawa Timur terkait sound horeg. "Saya sekarang sedang perjalanan ke Surabaya untuk menghadiri rapat komisi fatwa Jatim tentang sound horeg," katanya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon. (dsm/why)

Share to
 (lp).jpg)