Suara Warga Pakel di Pameran “Atas Nama Tanah Pakel”

Iqbal Al Fardi
Iqbal Al Fardi

Tuesday, 04 Jul 2023 15:24 WIB

Suara Warga Pakel di Pameran “Atas Nama Tanah Pakel”

PERLAWANAN: Pajangan arsip foto perlawanan warga Pakel.

Sejak tahun 1925, warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi memperjuangkan lahan yang dihuninya. Hingga kini, mereka belum mendapatkan kejelasan atas haknya meski telah berulangkali menerima represi. Meski begitu, perjuangan para warga tak kenal surut.

--------------------

SABTU malam 24 Juni 2023, dokumentasi serta beberapa karya seni rupa dan instalasi yang mengangkat isu konflik agraria Pakel memenuhi ruangan di gedung J-Klab, Kabupaten Jember. Muda-mudi memadati acara pameran bertajuk “Atas Nama Tanah Pakel” yang digelar oleh kolektif di Jember.

Di pintu masuk, terdapat sebuah poster yang memanjang ke bawah menutupi setengah jalan. Di poster itu tertulis “RECLAIM THE LAND! RECLAIM THE HISTORY! RECLAIM THE BETTER FUTURE!”. Artinya kurang lebih, “Rebut Kembali Tanah Pakel! Rebut Kembali Sejarah! Rebut Kembali Masa Depan yang Lebih Baik!”.

Saat memasuki ruang pameran, pengunjung akan disuguhi suasana dengan penerangan temaram, sesuai dengan tema yang diangkat. Selain itu, terdapat pula buku berjudul “Atas Nama Pakel” serta pernik lainnya.

Sekitar pukul 20.30, setengah ruangan mulai dikosongkan. Pengunjung segera mengisi ruang kosong itu. Empat orang siap berbincang mengenai konflik panjang perebutan tanah Pakel.

Tiga orang tersebut ialah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jember (FH Unej) Prof. Dr. Dominikus Rato, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur Wahyu Eka dan seorang warga Pakel Vina. Mereka berkumpul dan berbincang mengenai konflik yang terjadi di tanah Pakel. Rangkaian acara malam itu menjadi renungan kembali konflik agraria tersebut.

***

DISKUSI: Sesi diskusi mengenai konflik panjang perebutan tanah Pakel dengan tiga orang pembicara, yaitu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jember Prof. Dr. Dominikus Rato, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur Wahyu Eka, dan seorang warga Pakel Vina.  

PENANGKAPAN TIGA WARGA PAKEL

Terbaru, Vina menerangkan bahwa terdapat tiga warga Pakel yang diringkus oleh polisi. Ketiga orang tersebut yakni Kepala Desa Pakel Mulyadi, Suwarno dan Untung sebagai Kepala Dusun yang ditangkap pada Februari 2023.

“Jadi tiga warga ini kan dikenakan pasal 14, 15 (tentang penyiaran berita bohong UU nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, red) kepolisian. Jadi memang dari awal itu, warga tidak mendatangi surat panggilan,” ungkapnya kepada tadatodays.com via telepon pada Selasa (27/6/2023) malam.

Perihal tidak mengindahkan panggilan kepolisian saat itu, Vina menerangkan, karena menurut tim penasehat hukum, surat pemanggilan tersebut dinilai cacat prosedur. Dari pengiriman surat panggilan tersebut, kata Vina, ternyata diantar via jasa ekspedisi.

“Surabaya-Banyuwangi itu bukan kayak Banyuwangi-Jember yang bisa ditempuh tiga jam. Itu dikirimkan via ekspedisi dan kita tidak tahu itu kapan nyampeknya dan ada kendala apa. Misal sidangnya sekarang, suratnya datang besok atau sidangnya sekarang, suratnya datang sekarang juga,” paparnya.

Selain itu, Vina menjelaskan bahwa surat tersebut diberikan oleh pihak ketiga. “Misal dari ekspedisi dititipkan ke guru, dari guru dititipkan ke orang desa. Dari orang desa baru nyampek ke kita, ke tiga warga ini” ujarnya.

Keterangan tempat dan waktu pada surat tersebut, lanjutnya, tidak jelas. Hal tersebut, menurut Vina, juga menjadi dasar ketiga warga Pakel tidak memenuhi panggilan kepolisian.

Saat penangkapan terjadi, kata Vina, ketiga warga yang ditangkap bersama dua warga lainnya hendak menghadiri pertemuan asosiasi kepala desa. Dalam perjalanannya, terdapat dua mobil yang menghadang memblokade jalan masing-masing di depan dan belakang.

Akhirnya, seorang warga berhasil kabur dan supir diperintahkan untuk membawa mobil desa. “Tiga orang ini dipegang. Satu warga ini berhasil bebas dan minta tolong, telpon ke warga minta jemput. Akhirnya sampai di rumah baru cerita,” katanya.

Usai itu, pihak keluarga mendatangi Polresta Banyuwangi untuk menanyakan perihal penagkapan tersebut. “Setelah ke Polres, keluarga menanyakan apakah ada penangkapan dan lain-lain dan Polres bilang nggak ada. Itu disayangkan juga. Ternyata pada malam itu supirnya disembunyikan di Polres Banyuwangi,” terangnya.

Ketiga warga tersebut ditahan di Polda Jawa Timur selama empat bulan. “Sebelum dilimpahkan ke Kejaksaan, akhinya sekarang dilimpahkan ke pengadilan untuk yang sidang pertama pembacaan dakwaan. Selanjutnya, tim PH mengajukan eksepsi. Sebelum kemarin ini tanggapan JPU ini ditunda,” jelasnya.

***

ARSIP: Pengunjung memperhatikan arsip warga Pakel yang disajikan di arena pameran.

JALAN PANJANG PERJUANGAN PAKEL

Menurut catatan tadatodays dari acara tersebut, di tahun 1925 warga Desa Pakel mengajukan permohonan pembukaan hutan Senagkan Kandang dan Keseran di Desa Pakel seluas 3.200 hektare kepada pemerintah Belanda. Empat tahun setelahnya, Akta 1929 diterbitkan oleh Bupati Banyuwangi Notohadi Suryo sebagai tanda dikabulkannya permohonan tersebut.

Menurut Wahyu Eka, warga Pakel sejak dahulu sudah bermukim di wilayah alas Pakel. “Ditemukan dengan adanya Desa lama namanya Desa Sumberjo atau Sumberja kalau dalam literaturnya. Beberapa orang ini mengajukan untuk penguasaan kawasan hutan untuk permukiman dan pertanian,” jelasnya kepada tadatodays usai agenda.

Namun, Wahyu menuturkan, pemerintah kolonial Belanda saat itu tidak menyambut baik hal tersebut sebab akan melakukan ekspansi lahan perkebunan. “Itu ditandai, sejak tahun 1800an perkebunan mulai dikembangkan, dan sejak 1911 itu mulai masuk perkebunan swasta” terangnya.

Lalu menurut Vina, sejak menerima akta tersebut, warga mendapatkan perlakuan represif. “Banyak oknum yang menghalangi ingin merebut tanah itu. Bahkan bupati saat itu mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan,” jelasnya.

Pada momen tragedi di tahun 1965, lanjutnya, warga Pakel turut diusir. “Tiba-tiba tempat yang dulu dikelola dan dikuasai itu menjadi wilayah Perhutani dan menjadi wilayah yang kini diklaim menjadi PT Bumi Sari,” paparnya.

Dari catatan yang didapat, pada 13 Desember 1985 PT Bumi Sari mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bernomor SK.35/HGU/DA/85. Di keterangannya, PT Bumi Sari memiliki HGU seluas 1189,81 hektare yang mencakupi wilayah Kluncing dan Songgon.

Setelahnya, Wahyu menceritakan bahwa warga Pakel sempat bersurat kepada Presiden Soeharto dan Kepala BPN pada masanya untuk memperjuangkan tanah tersebut. “Sampai periode 2000-an. Di tahun itu mereka juga melakukan reclaiming tidak hanya di wilayah perkebunan, tapi juga di wilayah perhutani saat itu sampai muncul tragedi berdarah. Di tahun 2000-an itu mereka direpresi,” kisahnya.

Upaya represif tersebut dibenarkan adanya oleh Vina. “Kalau penangkapan nyaris banyak orang yang ditahan,” terangnya. Hal tersebut, terang Vina, bukan hanya akibat penguasaan kembali tanah yang dikuasai oleh PT Bumi Sari, tetapi juga Perhutani.

“Sampai ada peristiwa Kampung Janda dan sebagainya itu, akhirnya di tahun 2018 mulailah warga me-reclaiming yang PT Bumi Sari itu. Tapi nyatanya? Ya bisa dilihat sendiri, penangkapan dan bentuk-bentuk kriminalisasi itu ada,” terangnya.

Bentuk represi yang Vina saksikan ialah seperti kekerasan fisik yang dialami warga. “Jadi yang langsung saya rasakan saat aparat datang di tengah-tengah lahan yang dikelola warga, tiba-tiba ditanya oleh warga dan langsung gitu lah. Ada yang kepalanya bocor dan lain-lain di tahun 2022,” katanya.

Tindakan yang tidak memihak kepada warga Pakel, lanjutnya, membuat Vina merasa terpicu keberaniannya. Ia tak hilang asa. “Jadi keberanianku itu bukan hanya berpatokan kepada sebuah kebenaran, tapi juga ketakutan karena memang secara tidak langsung saya menilai hukum di negeri ini bisa dibeli,” ungkapnya.

Ia merasa kecewa akan tindakan yang selama ini dirasakan oleh warga Pakel. “Kita ini tidak minta, kita di sini mau memperjuangkan dan mengambil hak kita itu dipersulit. Apalagi mau minta, kan,” ujarnya.

***

CATATAN: Buku dan catatan warga Pakel, serta pernik lain yang dijual di pintu masuk.

TEGAR DI TENGAH TRAUMA

Tindakan represif berkepanjangan itu menorehkan memori kuat bagi warga Pakel. Meski Vina tidak begitu merasakan tekanan mental yang begitu kuat, tetapi ia menjelaskan bahwa terdapat satu orang yang ia kenal betul mengalami trauma mendalam.

“Kayak misal di sini ada Mbak Mar. Mbak Mar salah satu anak dari Pak Suwarno yang sekarang ditangkap,” ceritanya. Berdasarkan keterangan Vina, Mar sempat kehilangan ayahnya akibat ditangkap pada tahun 2000-an. Kejadian tersebut, terang Vina, membekas di benak Mar yang masih duduk di bangku SD.

Kendati begitu, Vina menjelaskan bahwa trauma yang dialami warga tidak menyusutkan sedikitpun semangat mereka untuk mempertahankan tanah. “Kayak penangkapan kemarin itu menjadi semangat baru buat mereka, bahwasannya kita harus tetap memperjuangkan tanah ini, gitu,” ungkapnya dengan nada tegar.

Hal tersebut, lanjutnya, tercermin saat warga Pakel berkumpul untuk menggalang dukungan moral saat sidang pertama atas dakwaan terhdap tiga warga tersebut. Vina menceritakan, saat berkumpul saat itu ada satu intel yang datang ke rumah warga. Sontak, warga langsung memanggil kawanan lainnya.

“Akhirnya kita sudah komitmen mulai awal. Misalkan satu orang kena, dalam artian ada yang kenapa-kenapa, kita akan langsung keliling bersama-sama. Jadi, sebuah kelemahan itu juga jadi kekuatan bagi warga Pakel. Misal, kita emang trauma tapi ini juga jadi sumber kekuatan dan juga kebersamaan dan juga hebatnya rukun terus,” ungkapnya.

SECERCAH HARAPAN

Persoalan di tanah Pakel tak jauh dari masalah Reforma Agraria (RA). Prof. Dominikus atau Dom menjelaskan bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) tahun1999 menghendaki RA karenanya dibentuklah Peraturan Presiden (PP) sebagai dasar hukum.

“Saya lupa maaf, saya lupa nomornya tapi dari Peraturan Presiden itu ditetapkanlah beberapa objek. itu tidak termasuk di situ (Desa Pakel, red), tidak termasuk objek Reforma Agraria,” jelasnya kepada tadatodays saat ditemui di Unej, Senin (26/6/2023) pagi.

Hal tersebut terjadi, jelas Prof. Dom, karena kemungkinan masih terdapat perusahaan perkebunan dan menyebabkan tanah tersebut masih dalam status quo. Menurutnya, hal tersebut yang membikin pemerintah masih belum berani untuk menetapkan tanah Pakel sebagai objek RA.

“Tetapi kalau pandangan saya masyarakat Pakel bisa mengajukan itu sebagai tanah objek reforma agraria karena mereka kan sudah menduduki tanah itu sejak tahun ‘25 Itu kan baru ada kasus.I tu mereka sudah menduduki itu dan sudah ada izin dari Bupati,” paparnya.

Terkait izin itu, Prof. Dom berpendapat, tidak mungkin Bupati saat itu mengeluarkan Akta 1929 jika terdapat perusahaan yang menduduki tanah Pakel. Ia pun yakin bahwa pada saat itu tanah Pakel masih kosong dan menjadi tanah negara.

Hingga saat ini, Prof. Dom menjelaskan bahwa perusahaan tersebut masih belum berani untuk membuktikan atas kepemilikan tanah tersebut. Hal itu terjadi, lanjutnya, karena perusahaan itu baru masuk setelah masyarakat berada di sana.

“Berarti masyarakat kan masuk lebih dulu. Kalau seandainya masyarakat masuk kemudian ada penolakan bahwa ini tanah milik negara atau milik perkebunan, masyarakat nggak mungkin buka hutan. Oleh karena, itu masyarakat Pakel ini menganggap bahwa itu adalah tanah yasan,” jelas Guru Besar Hukum Adat dari Unej itu.

Jika ditinjau dari hukum adat, Prof. Dom menjelaskan, masyarakat Pakel dianggap sebagai pembuka hutan sehingga disebut tanah yasan. Tanah tersebut, tambahnya, sudah diakui paling tidak diizinkan oleh Bupati saat itu.

Selanjutnya, Prof. Dom mengatakan bahwa jika masyarakat Pakel masih menggunakan istilah HGU, maka mereka akan kalah. “Nah, di Pakel kan tidak ada HGU. Jadi kosong, karena kosong maka tanah negara. Kalau tanah negara, warga negara kan berhak untuk mengelola walaupun haknya belum ada, tetapi itu kan bisa dijadikan tanah yasan dan sudah diakui oleh UUPA (UU Pokok Agraria tahun 1960, red),” paparnya.

Sebab itu, ia menganjurkan agar warga Pakel mengajukan peningkatan hak dari tanah yasan menjadi tanah hak milik. “Sebetulnya negara sudah hadir melalui Bupati Banyuwangi. Hanya saja, setelah Bupati itu turun, orang lain kan masuk. Bupati lain itu tidak mengakui status Pakel,” jelasnya.

Ia membaca bahwa terdapat kepentingan tersendiri. “Mungkin kepentingannya ekonomi politik,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, negara harus melihat dan membuktikan di lapangan bahwa terdapat pemilik atas tanah tersebut. “Bukti itu jangan setelah 1925, harus sebelumnya. Kalau setelah itu, wong masyarakat sudah buka hutan. Itu berarti tanah yasan hak warga Pakel,” jelasnya.

Terbaru di tahun 2019, Wahyu menjelaskan bahwa HGU dikalim mencakup wilayah Desa Banyuwangi. “Cukup aneh bahwasanya kalau bisa perbukitan HGU itu didasarkan pada wilayah yang di mana HGU itu bercokol,” ungkap Wahyu.

Sebab, Wahyu menilai bahwa tidak ditemukan Desa bernama Banyuwangi. “Dari situlah proses janggalnya karena tidak terbuka dan kedua tidak melibatkan masyarakat” jelasnya.

Masyarakat Pakel, Wahyu menjelaskan, adalah korban dari ketimpangan penguasaan lahan. “Dari era kolonial mengajukan pengakuan. Di era orde baru mengajukan pengakuan tapi tidak diakui, malah muncul HGU,” terangnya.

Ia menilai, seharusnya di era reformasi ini menjadi perbaikan atas permasalahan tersebut. “Masih sama, HGU diterbitkan, tapi tidak melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat Pakel. Dan di situlah yang menjadikan munculnya konflik karena salah satunya keberadaan HGU yang seharusnya dilihat dulu kondisi sosial ekonomi masyarakat tapi tiba-tiba diberikan begitu saja,” ujarnya.

Lebih-lebih, Prof Dom membaca bahwa terdapat mafia tanah. Berdasarkan cerita yang ia dapatkan, Prof Dom menuturkan bahwa terdapat dua kawasan di Desa Pakel, yakni perkebunan dan hutan.

“Kalau kawasan perkebunan berarti sudah ada pemiliknya. Kalau kawasan hutan ada dua kemungkinan  bahwa itu adalah tanah negara yang di bawah kuasa Kementrian Kehutanan maka yang berwenang memberi izin Mentri Kehutanan. Kalau di luar kawasan hutan maka yang memberi izin itu BPN. Nah, yang bekerja di sana itu kan saya melihat itu mafia tanah,” paparnya.

Menurutnya, mafia tanah ialah sebuah organisasi tanpa bentuk yang tidak memiliki dasar hukum. Prof. Dom meyakini bahwa mafia tanah tersebut terdiri dari instansi pemerintah dari tingkat bawah hingga nasional.

“Jadi yang mereka punyai, ya kebenarian. Kalau ada yang melawan mereka hadapi. Kalau tidak, mereka ambil tanah itu,” katanya.

Padahal, lanjutnya, di Peraturan Menteri ATR/BPN nomor 21 tahun 2020 yang secara khusus menangani permasalahan mafia tanah. “Jadi, Mentri sudah membentuk tim atau satgas untuk mencegah mafia tanah,” ungkapnya. Ia juga mengatakan bahwa di beberapa kasus, justru penegak hukum yang menjadi mafia tanah.

“Di satu sisi sudah ada dasar hukumnya, Permen ATR Kepala BPN nomor 21 2020. Tapi kalau berhadapan dengan orang yang jabatannya lebih tinggi, maka itu kesulitan,” jelasnya.

Meski begitu, Prof. Dom menjelaskan bahwa masih ada harapan bagi warga Pakel. “Jadi harapannya ini, yang pertama, mereka tidak boleh keluar dari tempat itu, apapun yang terjadi, karena mereka menguasai wilayah,” ujarnya. Selain itu, sudah ada pengakuan dari negara melalui Akta 1929 yang diberikan oleh Bupati Banyuwani pada masanya.

Jika telah ada pengakuan tersebut, Prof. Dom mengatakan bahwa warga Pakel sudah kuat. “Cuman kita lihat pengakuan dari siapa? Misal dari BPN, itu sudah kuat,” jelasnya. Jika sudah begitu, lanjutnya, warga Pakel bisa mengajukan peningkatan hak.

“Tapi memang harus didampingi dengan teman-teman dari lawyer yang punya komitmen terhadap orang kecil,” kata Prof. Dom.  (iaf/why)


Share to