Wacana Penghidupan Dwi Fungsi ABRI, Berikut Pandangan Pengamat di Jember

Dwi Sugesti Megamuslimah
Thursday, 21 Mar 2024 17:21 WIB

APEL: Prajurit Kodim 0824 Jember. (Dok. Kodim 0824 Jember)
JEMBER, TADATODAYS.COM - Pemerintah akan membuka pintu bagi anggota TNI/Polri untuk mengisi jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai kelanjutan UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Hal tersebut menuai polemik. Pasalnya, memunculkan kekhawatiran akan bangkitnya Dwi Fungsi ABRI. Namun apakah demikian?
APA ITU DWI FUNGSI ABRI?
Dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merupakan kewenangan yang diberikan pada anggota tentara pada masa kepemimpinan presiden Soeharto.
Sesuai namanya, dwi fungsi berarti memiliki peran ganda. Selain sektor pertahanan, TNI di masa itu juga diberi ruang untuk masuk dalam pemerintahan. Bahkan para pimpinan militer saat itu menduduki jabatan fungsional seperti Bupati, Menteri dan yang lainnya.
Seiring perkembangan, dwi fungsi ABRI dianggap menciptakan 'rezim otoriter yang melemahkan demokrasi' sehingga dihilangkan setelah reformasi 1998 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Saat itu tentara dikembalikan ke barak untuk fokus menjalankan tugas utama sebagai penjaga pengamanan teritorial negara.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember Ahmad Suryono berpendapat, anggapan penghidupan kembali dwi fungsi ABRI tersebut memang mengkhawatirkan namun masih terlalu jauh. Meskipun memang ada beberapa klausul yang perlu ditambah agar penafsirannya tidak meluas.
"Kekuatan militer saat ini belum menjadi pengendali sepenuhnya, beda dengan masa orde baru. Kekhawatiran itu tentu ada, tapi menurut saya hal itu masih terlalu jauh untuk kesana," katanya saat ditemui tadatodays.com, Kamis (21/3/24) siang.
Kendati demikian, ada beberapa hal yang menarik perhatian Suryono terkait RPP UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN ini. Aparatur sipil negara semestinya harus berdasarkan kualifikasi atau bersifat merit sistem.
"Pada bagian pertimbangan ada yang cukup menarik pada poin A, ASN itu memiliki sifat integritas, profesional, netral. Kemudian poin b pertimbangan ada kalimat, orientasi ASN itu pelayanan, akuntable, kompeten dan kolaboratif," tambahnya.
Pada dasarnya, lanjut Suryono, undang-undang tersebut memang sudah tidak setara pada awalnya. Bukan dari struktur ketetatanegaraan, tapi tidak setara dari personilnya. Suryono menilai terdapat pasal yang bersifat resiprokal. Sedangkan anggota TNI/Polri adalah mereka yang mendapat pelatihan dan pendidikan khusus.
"Di pasal 20 disebut bahwa TNI/Polri bisa menjabat sebagai ASN dan sebaliknya. kata kuncinya adalah Merit sistem. pertanyaannya, apakah ASN kita memiliki keahlian yang sama dengan para TNI/Polri? ini kan Resiprokal," sambungnya.
Ada beberapa hal yang disoroti oleh Suryono. Salah satunya terkait penentu peraturan selanjutnya yang tertulis dalam UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN akan diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP).
Harusnya perlu adanya batasan-batasan dengan sifat-sifat tertentu yang memang cocok bagi masing-masing penempatan yang kemudian akan menjadi bahan bahasan dengan DPR. Tanpa adanya batasan itu, penafsiran terkait rencana peraturan tersebut akan semakin meluas.
"Jangan cuma instansi pusat tertentu, buat barikade barikade yang jelas apa saja kualifikasi yang dibutuhkan pada msing-masing instansi. Kenapa muncul pasal 19 ayat 3 yang tidak memberi penjelasan yang cukup," tegasnya.
Hal itu menjadi catatan besar yang harus dibenahi pemerintah. "Mungkin maksudnya baik tapi UU ini tidak membuat kesetaraan lebih dahulu, tidak memuat ruang cukup terkait bidang yang akan diisi," terang Suryono.
KETAKUTAN JIKA TNI/POLRI MASUK PEMERINTAHAN
Filosofi dari TNI/Polri berbeda dengan ASN. Terdapat kultur yang kontras antara keduanya. ASN ditempa untuk melayani serta mengayomi masyarakat, sementara TNI/Polri memiliki budaya hierarki yang jelas antara atasan dan bawahan. Hal ini menurut Suryono akan melahirkan sebuah resiprokral asimetris.

"TNI/Polri terbiasa dengan pengamanan negara, apakah terbayang nantinya mereka akan melakukan layana yang sama dengan para ASN? sifat pembawaan orang itu dibangun berdasarkan dimana dia ditempatkan sehari-hari," urainya.
Terpisah, Koordinator Bidang Pendidikan, Politik dan Hukum PAR Alternatif Ahmad Deni Rofiqi berpendapat adanya RPP UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN ini berpotensi mengkhianati amanat reformasi.
"Amanat reformasi sudah jelas, salah satunya tentang penghapusan dwi fungsi ABRI. Adanya RPP ini membuka peluang masuknya kembali TNI/Polri ke pemerintahan, tentu saja itu mengkhianati amanat reformasi," tegasnya saat dihubungi melalui sambungan seluler.
RPP ini, lanjut Deni, bisa menjadi salah satu upaya negara mengembalikan dwi fungsi ABRI yang tidak lepas dari unsur politik. Dirinya mempertanyakan terkait urgensi dari pemerintah terkait dikeluarkannya RPP tersebut.
"Upaya negara megembalikan dwi fungsi abri adalah satu hal untuk kembali pada zaman orde baru. Kalau pun dalam RPP ada batasan dan hanya ada dalam instansi tertentu, pertanyaannya satu, urgensinya apa? saya tidak menemukan sisi urgensi sama sekali, kalau pun ada ya kepentingan politik," tegasnya.
KETAKUTAN KETIKA TNI/POLRI MASUK PEMERINTAHAN
Deni mengkhawatirkan, apabila nantinya TNI/Polri kembali masuk dalam birokrasi, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi instansi negara tidak maksimal. Hal tersebut lantaran TNI/Polri tidak berhubungan dengan kegiatan sipil, mereka fokus pada fungsi pertahanan dan pengamanan.
"Ketika TNI/Polri kembali dalam urusan spil, dikhawatirkan akan terjadi usaha usaha kekuasasan untuk mempertahankan elektabilitas. Tanpa dimasukkan dalam bagian masyarakat sipil pun mereka bisa mengontrol, apalagi kalau diberi ruang lebih," katanya.
Ada 6 poin yang harus diperhatikam soal prajurit TNI/Polri yang bisa mengisi jabatan ASN tersebut, yakni:
1. Hanya untuk jabatan ASN tertentu pada instansi pusat tertentu
2. Prajurit TNI dan anggota Polri yang menduduki jabatan ASN pada instansi pusat tidak dapat beralih status menjadi ASN
3. Khusus bagi prajurit TNI dan anggota Polri yang merupakan talenta terbaik di lingkungan TNI/Polri
4. Harus memenuhi kualifikasi pendidikan, kompetensi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak/pengalaman jabatan yang relevan, kesehatan, integritas, dan persyaratan jabatan lain
5. Pangkat paling kurang setara dengan tingkatan jabatan ASN yang akan diduduki sesuai persetujuan menteri serta berusia paling tinggi satu tahun sebelum batas usia pensiun TNI/Polri
6. Dilakukan melalui mekanisme manajemen talenta apabila terdapat kebutuhan. (dsm/why)

Share to
 (lp).jpg)