Waket LDNU Jatim: Tak Semua Lembaga Pendidikan Bisa Disebut Pesantren

Andi Saputra
Andi Saputra

Sabtu, 21 Jan 2023 15:54 WIB

Waket LDNU Jatim: Tak Semua Lembaga Pendidikan Bisa Disebut Pesantren

JEMBER, TADATODAYS.COM - Wakil Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Jawa Timur Prof. M. Noor Harisudin mengingatkan, tidak semua lembaga pendidikan berbasis Islam bisa langsung disebut sebagai pondok pesantren (ponpes). Menurutnya, untuk bisa disebut sebagai ponpes, lembaga pendidikan harus memenuhi kriteria, sebagaimana diamanatkan UU  RI  nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren.

“Jika tidak memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang ada dalam undang-undang tentang pesantren, ya belum bisa disebut sebagai pesantren,” katanya kepada tadatodays.com, Jumat (20/1/2023).

Profesor yang juga pengasuh Ponpes Darul Hikam Jember itu mengatakan, pada pasal 6 ayat 1 UU Pesantren, ponpes boleh didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan atau masyarakat.

Selanjutnya, pada ayat 2, pendirian pesantren wajib memenuhi sejumlah ketentuan. Di antaranya, berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil'alamin dan berdasarkan Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika.

Menurutnya, kewajiban untuk berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil'alamin sangat fundamental bagi berdirinya sebuah pesantren. Karakteristik rahmatan lil'alamin tersebut menganjurkan model dakwah pesantren yang santun, lemah lembut, dan mengajak melalui cara-cara yang baik sehingga semua kalangan bisa tergerak.

Kemudian pendirian pesantren berdasar pasal dan ayat dimaksud juga wajib memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 21; yakni, memberitahukan keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai dengan domisili pesantren, serta mendaftarkan keberadaan pesantren kepada menteri. “Dalam hal ini di daftaran kementerian agama,” ujar Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember itu.

Pemberitahuan kepada para pihak itu, katanya, adalah bentuk asas keterbukaan sehingga pihak para pihak dan masyarakat pada umumnya bisa ikut memantau aktivitas pesantren “Sesuai aturan atau tidak, memenuhi unsur-unsur atau tidak, sesuai dengan NKRI atau tidak,” jelasnya. 

Prof Haris, sapaan akrabnya, juga mengingatkan prihal kehati-hatian memberi gelar kiai pada seseorang. Sebab, jika sudah tidak bisa dijadikan teladan atau sudah tidak bisa dihormati karena sebab tertentu. “Mohon maaf, misal melakukan pencabulan,” katanya.

Menurutnya kurang tepat jika masih disebut sebagai seorang kiai, terlebih kehadiran pesantren haruslah memberi kemaslahatan. “Apa maslahatnya jika sudah melakukan demikian, itu bukan kiai dan tempatnya juga bukan pesantren, pesantren tidak begitu,” katanya. (as/why)


Share to