WCDI Jember dan Gaungan Edukasi Permasalahan Lingkungan

Dwi Sugesti Megamuslimah
Dwi Sugesti Megamuslimah

Friday, 17 Nov 2023 17:44 WIB

WCDI Jember dan Gaungan Edukasi Permasalahan Lingkungan

BERSIH-BERSIH: Aksi bersih-bersih sampah WCDI Jember.

JEMBER, TADATODAYS.COM - World Cleanup Day International (WCDI) Kabupaten Jember terus mengajak masyarakat agar peduli terhadap kebersihan. Mengingat persoalan lingkungan merupakan masalah yang hampir terjadi diseluruh daerah. Masalahnya pun beragam, mulai dari pencemaran air, polusi udara, serta masalah sampah yang hingga saat ini belum terselesaikan.

Kota Jember sendiri masih berjibaku dengan persoalan sampah yang terus menggunung. Bagaimana tidak. Kota dengan 2,7 juta penduduk tersebut menghasilkan sekitar 1.300 ton sampah setiap harinya yang dibuang dalam satu tempat, yakni di TPA Pakusari.

WCDI sendiri merupakan sebuah gerakan yang menghimpun banyak komunitas peduli lingkungan di Jember. Nantinya mereka akan melakukan kegiatan cleanup (bersih-bersih) besar-besaran di beberapa titik tertentu.

Gerakan yang dimulai sejak 2019 itu telah melewati proses panjang sampai hari ini. Leader WCDI Jember Parmuji menceritakan tentang sepak terjangnya selama membersamai WCDI Jember selama empat tahun terakhir. Cak Muji (sapaan akrab) mengaku awal mula terbentuk WCDI Jember adalah karena keisengannya mengisi formulir pendaftaran yang diberikan melalui pesan singkat WhatsApp.

“Di grup sebelah itu ada form rekrutmen WCDI dari pusat. Awalnya saya nggak tahu itu apa. Ya saya isi. Nah karena ternyata nggak ada yang daftar lagi, otomatis saya lolos,” katanya saat ditemui tadatodays.com pada Jumat (17/11/2023) siang.

WCDI Jember mengawali aksinya di tiga titik yakni, di jembatan Kecamatan Kaliwates dekat MAN 1 Jember, daerah Kecamatan Balung serta menggandeng komunitas Tanoker Ledokombo. Di luar dugaannya, antusiasme peserta saat itu luar biasa. Bayangkan, ada 2500 peserta yang berpartisipasi di Kaliwates, 1000-an peserta ikut di Balung, serta 350 peserta di Ledokombo. “Untuk kegiatan perdana, hal itu awalan yang bagus. Warga Jember sudah mulai sadar dengan pentingnya jaga lingkungan,” imbunya.

WCDI sendiri merupakan gerakan tahunan yang diselenggarakan setiap tanggal 19 September. Berfokus tentang isu lingkungan, utamanya terkait bersih-bersih sampah. Selain itu, WCDI juga memberikan edukasi kepada masyarakat, lembaga sekolah serta komunitas tentang cara pemungutan sampah hingga pilah sampah yang baik dan benar, eco enzim, ecoprint. “Kalau cuma bersih-bersih kesannya cuman petugas kebersihan, untuk itu kami juga memberi edukasi hal lain tentang lingkungan yang bisa diterapkan di lingkungan sekitar,” lanjut Cak Muji.

Sampai hari ini, terdapat tujuh ribuan anggota WCDI Jember yang terus melakukan upaya-upaya pelestarian lingkungan. Cak Muji menyebut kegiatan ini tak hanya berhenti di tanggal 19 September saja. “Karena isu lingkungan tidak akan selesai hanya dalam satu hari, kami juga ada agenda persiapan sebelum acara puncak, bahkan setelahnya kami juga masih bergerak,” terangnya.

Adapun tantangan terberat WCDI sampai saat ini adalah masih datang dari masyarakat sendiri. Mereka itu, Cak Muji melanjutkan, terlalu mengandalkan event serta pegiat tanpa mau bergerak dulu, padahal, jika masyarakat bisa sadar dan lebih peduli tentu dampaknya akan mampu mereka rasakan sendiri. Sampai sekarang pun itu masih sering terjadi.

Bahkan, menurut pengakuan Cak Muji di beberapa event, masyarakat yang datang kebanyakan adalah anggota komunitas, tidak ada perseorangan yang datang karena inisiatif sendiri. “Kesadaran mereka inilah yang menjadi PR (Pekerjaan Rumah, red) kita bersama,” imbuhnya.

Hal menarik dari WCDI adalah fakta bahwa mereka tidak pernah memiliki uang kas atau bahkan anggaran tiap pelaksanaan kegiatan. Menyiasati hal ini, WCDI menjual cinderamata yang hasilnya kemudian dikumpulkan sebagai sumber dana kegiatan. “Kami jual kaos dan aksesoris, biasanya dinas lingkungan hidup (DLH) jadi langganan, satu kantor pasti beli semua,” ucapnya sambil terkekeh.

Sementara itu, menanggapi banyaknya sampah di Jember, Cak Muji hanya bisa mengupayakan pemaksimalan kinerja bank sampah yang tersebar di beberapa wilayah. Tetapi masyarakat hanya mampu sebatas mengumpulkan tanpa pemilahan. “Untuk sebatas pengumpulan, masyarakat masih bisa. Tetapi untuk memilah, mereka belum bisa. Yang mereka lihat selama ini masih tentang nominal. Karena murah, banyak dari mereka yang nggak mau nabung sampah lagi,” kata Cak Muji.

Selama empat tahun berjalan, Cak Muji dan timnya berupaya memberi edukasi terkait cara pemilahan sampah. Dampaknya terasa saat pandemi kemarin. Pihaknya hanya memberi arahan yang dimulai dengan pengumpulan sampah, kemudian menyortirnya menjadi dua bagian yakni sampah anorganik dan organik.

Pada sampah organik akan dikembalikan ke alam sementara kategori anorganik dipilah ulang dengan kategori residu dan recycle. “Yang recycle disumbangkan ke pemulung kemudian yang residu dibakar, mereka menerapkan itu. Dan hasilnya cuma perlu lima truk untuk mengangkut sampah padahal kami menyiapkan 30 armada saat itu,” timpal Cak Muji.

Untuk daerah penyumbang sampah terbanyak di Jember sampai saat ini masih dipegang wilayah perkotaan, seperti Kecamatan Sumbersari, Kecamatan Patrang, serta Kecamatan Kaliwates. Hal ini dikarenakan padatnya jumlah penduduk serta kesempatan membuang sampah yang tidak terkontrol apalagi di sepanjang aliran sungai bedadung, dirinya mengaku pernah mendapat tujuh ton sampah hanya di satu titik.

Muji menyebut, saat ini sekitar 30 persen warga Jember mulai sadar lingkungan dengan menggunakan tata kelola dan tata cara mereka sendiri misalnya dengan tidak membuang sampah di sungai dan di depan rumah. “Tapi penyumbang sampah juga ada di wilayah hilir seperti di Arjasa, Kalisat, Panti, dan Sukowono. Timbunan sampah yang diam itu memang nggak ada tapi dapat kiriman dari wilayah hulu mangkanya sering terjadi banjir di wilayah itu,” pungkas Cak Muji. (dsm/why)


Share to