Ancaman Serius Problem Sampah di Kota Probolinggo, Butuh Peran Masyarakat

Alvi Warda
Thursday, 12 Oct 2023 13:03 WIB

MENGGUNUNG: Kondisi gunungan sampah di TPA Bestari Kota Probolinggo. Volume sampah harian yang ditampung terus meningkat.
Sampah menjadi problem serius di perkotaan. Tanpa manajemen pengelolaan yang baik, sampah bakal menjadi ancaman bagi kesehatan, dan karenanya mengancam kehidupan. Di Kota Probolinggo, problem sampah juga sudah mengisyaratkan sinyal merah. Selain strategi penanganan oleh pemerintah, butuh peran nyata dari masyarakat dalam pengelolaan persampahan.
--------------------
KOTA Probolinggo, kota dengan penduduk sekitar 243 ribu jiwa lebih, menghasilkan sampah harian yang cukup mengejutkan. Berdasar data sampah masuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bestari pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Probolinggo, sejak lima tahun terakhir volume sampah meningkat, hingga 70 ton lebih dan berpotensi mencapai 80 ton.
Padahal, lima tahun sebelumnya, atau sekitar tahun 2018, produksi sampah harian masih berkisar 50 ton. Sampai 2023 ini, peningkatan volume sudah hampir dua kali lipat. Sampah-sampah itu diperkirakan tidak bisa dimuat lagi di TPA Bestari dua tahun ke depan. Ini bukan prestasi. Peningkatan ini perlu diperhatikan agar jumlah sampah berkurang.
Berbagai macam strategi penangangan sudah dijalankan Pemerintah Kota Probolinggo. Mulai dari edukasi masyarakat untuk mereduksi sampah, komposting, daur ulang, hingga yang terbaru, Pemkot Probolinggo bermitra dengan retail-retail besar untuk menghentikan penggunaan kantong plastik.
Namun, ancaman problem sampah masih tetap mengkhawatirkan. Untuk menelusuri sinyal merah problem sampah ini, tadatodays.com menjumpai sejumlah pihak.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Probolinggo Retno Wandansari ditemui tadatodays.com pada Senin (2/10/2023) di TPA Bestari. Menurutnya, penambahan volume sampah harian terhitung fluktuatif. "Bisa dihitung, sekitar 2 ton per hari," katanya.
Sampah yang masuk, diangkut oleh 11 armada atau truk sampah. Sampah-sampah itu berasal dari Tempat Pembuangan Sementara (TPS), kemudian ditimbang. DLH mencatatnya. Truk menuju sel atau tempat pembuangan sampah yang menjulang seperti gunung.
Sampah di sel itu kemudian ditimbun dengan tanah atau disebut dengan metode sanitary landfill. Namun kabar buruknya, tumpukan sampah itu disebut tidak lagi bisa tertampung di TPA Bestari alias overload sampai tahun 2024 mendatang. "Daya muat (TPA) sudah overload. Tetapi kita tetap berusaha agar sampah dari masyarakat bisa tertampung," ujar Retno.
DLH mengantisipasi penumpukan sampah yang melebihi muatan itu dengan membangun dua TPS. Lokasinya, berada di Jalan Progoh dan Jalan Kerinci. Pembangunan TPS itu dilakukan sejak 10 tahun terakhir.
Perbandingan volume sampah dengan lima tahun terakhir, menurut Retno, memang ada peningkatan. Pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk menjadi faktor utama peningkatan itu. Masyarakat perlu memiliki keasadaran dan mulai mengurangi sampah, terutama sampah organik. "Sampah organik mulai dilarang masuk melebihi sampah non organik, yang mencapai 60 persen" terang Retno.
DLH juga melakukan pengomposan dan mengurangi sampah organik. Menurut Retno, upaya itu efektif. "Ada 60 persen dari total sampah itu kan organik. Kalau masyarakat sadar, maka sampah organik bisa dikelola sendiri," katanya.
DIPILAH: Pemilahan sampah sebagai upaya mengurangi beban TPA Bestari.
STOP PENGGUNAAN KANTONG PLASTIK, EFEKTIF MENGURANGI SAMPAH
PEMERINTAH Kota Probolinggo bermitra dengan sejumlah swalayan untuk menghentikan penggunaan kantong plastik. Di antaranya ialah toserba KDS, GM, Indomaret, Alfamaret, Basmalah, dan Sinar Terang. Komitmen ini dijalankan sejak Agustus 2023 lalu.
Efektiftas dampaknya dirasakan oleh berbagai pihak. Manajer KDS Probolinggo Sri Lestari mengatakan, peralihan dari kantong plastik ke kantong ramah lingkungan ini butuh waktu. Yang terpenting menurut Sri Lestari, setidaknya di tumpukan sampah tidak ada kantong milik retail. “Sangat efektif dan kita benar-benar sudah tidak menggunakan lagi kantong plastik,” ucapnya.
Di KDS, memang terlihat masyarakat yang berbelanja tidak lagi menggunakan kantong plastik. Beberapa menggunakan kantong yang disediakan, beberapa lagi membawa dari rumah.
Bagi masyarakat, kebijakan ini perlu diacungi jempol. Namun terkadang, masyarakat lupa akan kebijakan itu. Sivia Resty, ibu satu anak asal Kelurahan Kademangan berbelanja di KDS. Ia lupa membawa kantong sendiri. “Tapi ini bagus ya, efektif dan signifikan mengurangi sampah. Mengingatkan kerjasamanya itu dengan toko-toko besar,” tuturnya saat diwawancara.
KOMPOSTING: Sampah organik diolah menjadi kompos di TPA Bestari.
EMPAT ALTERNATIF SOLUSI, APA KABARNYA?
KOTA Probolinggo pernah dikenal sebagai kota yang memiliki upaya mereduksi sampah dengan baik. Saat itu, Budi Krisyanto menjabat sebagai kepala DLH. Solusi-solusi yang sampai saat ini tidak tercapai, beberapa juga dicetuskan pada masa Budi Krisyanto menjabat Kepala DLH.
Saat diwawancarai pada Selasa (26/9/2023), Budi Krisyanto menyatakan bahwa TPA Bestari sudah diprediksi tidak bisa menampung sampah lebih banyak lagi sejak tahun 2019. "Karena sel sampahnya itu barangkali ada 2.000 meter persegi," kata pria yang purnatugas di tahun 2019.
Menurut Budi, setidaknya ada empat solusi yang pernah tergambar. Solusi pertama, perluasan TPA Bestari yang tidak kunjung dilakukan. Kendalanya sengketa tanah warga.
Solusi kedua, membuat TPA Regional oleh Pemprov Jatim untuk Probolinggo-Pasuruan yang dicanangkan berlokasi di Kecamatan Tongas. Solusi ketiga adalah pengadaan incinerator, atau pembakar sampah dengan daya besar. Keempat ialah mereduksi volume sampah.

Menurut Budi, semua itu sudah diupayakan, namun tidak maksimal. "Empat alternatif ini berjalan, tapi tidak signifikan," ujarnya.
Ia mencontohkan pembangunan TPA Regional. Pemerintah Kabupaten Probolinggo sudah merintis dengan Pemerintah Provinsi Jatim. Bahkan, Budi membeberkan, tahapan pembangunannya sudah sampai tahap penyusunan DED (Detail Engineering Design) atau rancangan bangun rinci. Namun tidak tuntas sampai pembangunan.
Catatan pentingnya, Pemerintah Kota dan Kabupaten Probolinggo hanya menyiapkan lahan untuk lokasi TPS. Pembangunan menjadi kewenangan Kementerian Pembangunan. "Sampai sekarang, progresnya belum seperti yang diharapkan. Ndak tahu kendalanya ada di mana," katanya.
Upaya perluasan TPA Bestari di zaman Budi Krisyanto menjabat, juga sudah pernah akan dilakukan. Pemerintah melakukan pendekatan dengan penduduk yang menggunakan lahan atau aset pemerintah kota itu. Namun, pendekatan tinggal pendekatan. Tidak ada solusinya. "Belum memberikan hasil yang signifikan juga," katanya.
Budi Kris juga mengaku melakukan pengadaan mesin-mesin yang menunjang reduksi sampah. Mesin pengolahan sampah menjadi briket, misalnya. Studi ke berbagai lokasi luar kota, juga pernah ia lakukan. "Sementara sampah terus bertambah. Ini perlu adanya akselerasi, perlu ada semacam upaya khusus," ujarnya.
Lemahnya upaya mereduksi sampah di kalangan masyarakat juga dirasakan oleh Budi Krisyanto. Ia menyampaikan, tanggung jawab mereduksi sampah tidak hanya dibebankan kepada pemerintah. Namun masyarakat harus turut menjalankan kampanye. Memebicarakan sampah bagi Budi Kris, ada dua pilar yang harus digunakan. Pengurangan sampah dan pengelolaannya.
Langkah awal pengurangan sampah, bisa dengan dikuatkannya atau digaungkannya tiga R, yaitu Reduce (mengurangi), Reuse (memakai ulang), dan Recycle (mendaur ulang). Namun, Budi Kris tidak mengelak, prinsip tiga R mulai melemah. “Dalam hal ini, perlu keikutsertaan masyarakat,” tuturnya.
Setiap sumber sampah, baik domestik, komersial, rumah tangga dan umum, seharusnya tidak diperbolehkan lagi memasuki TPA Bestari. Menurut Budi, harus ada pengurangan di luar TPA Bestari. “Peningkatannya bisa 10 ton perhari masuk TPA kalau diteruskan,” katanya.
Di zaman Budi Kris menjabat pun sudah pernah dilakukan instruksi tiga R ke tingkat kecamatan hingga kelurahan. Instruksi itu tercatat pada Perda Nomor 1 Tahun 2019 tentang Upaya Pengurangan Sampah. “Barangkali intruksi itu bisa dikencangkan lagi,” ucapnya.
Di Kota Probolinggo, masih ada masyarakat yang istikamah mereduksi sampah dengan menyulapnya menjadi produk ekonomis. Ada Kardi, yang memproduksi pelet ikan dan ayam dari sampah organik. Ia memproduksi dengan mengais sampah seperti bekas sayur-masyur di TPA Bestari. Setiap produksi ia membutuhkan sampah hingga 2,5 kwintal.
Ada 60 persen sampah yang masuk di TPA Bestari memang sampah organik. Sampah organik sangat berpotensi untuk menghasilkan produk yang ekonomis. Sampah plastik pun memiliki potensi yang sama. Budi Kris mengatakan, dulu bahkan terdapat bank sampah untuk daur ulang sampah plastik. Namun, lagi-lagi perkembangannya melemah.
Pemkot Probolinggo juga mulai mendaur ulang sampah plastik menjadi briket atau batako. Produksinya berada di Pusat Daur Ulang di Jalan Gubernur Suryo. Plastik-plastik dipisahkan dengan sampah yang bukan plastik. Kemudian proses demi proses dilakukan.
Siasat-siasat bisa dilakukan untuk kembali memulihkan gaung kampanye daur ulang dengan bank sampah. Bisa melalui kolaborasi dengan Badan Usaha Milik Daerah atau Milik Negara. Sangat mungkin menurut Budi Kris untuk menghidupkan lagi Bank Sampah.
“Jadi bank sampah bisa dan menampung sampah-samaph non organik di Masyarakat,” tuturnya. Sehingga, petugas DLH hanya akan mengangkut residu. Sampah yang benar-benar tidak dapat didaur ulang kembali.
Apabila penerapan pengurangan sampah dilakukan dengan efektif, maka sampah non organik dapat berkurang setidaknya hingga 10 persen. Sampah organik berkurang seutuhnya, hanya tersisa residu. Tentunya, Upaya ini tidak lepas dari sarana prasarana, regulasi dan kebiasaan. Ketiganya, menurut Budi harus dijalankan secara simultan atau dalam waktu yang bersamaan.
Pemerintah Kota Probolinggo wajib menyediakan sarana prasarana seperti TPS, atau apapun yang menjadi kewajiban pemerintah. Begitupun masyarakat, juga memiliki kewajiban atas kesadaran dengan peduli terhadap persoalan sampah. Yang paling sederhana adalah membuang sampah pada tempatnya.
Keduanya harus ditegakkan dalam regulasi yang tepat. Pemerintah Kota Probolinggo memiliki beberapa regulasi yang mengatur persoalan sampah. Ada Perda nomor 5 tahun 2010, Perwali nomor 3 tahun 2015, dan Perwali nomor 156 tahun 2018. Regulasi itu perlu penyegaran dan ditegakkan. Kota Probolinggo bisa bebas sampah jika ketiganya dilakukan bersamaan.
SARPRAS: Upaya minimal yang bisa dilakukan masyarakat, kurangi produksi sampah. Kalaupun akhirnya punya sampah, pilah dan kumpulkan di tempat seharusnya.
TEGAKKAN REGULASI DIDUKUNG KEBIASAAN
DI Kota Probolinggo ada organisasi-organisasi masyarakat yang menjadi mitra pemerintah dalam menangani persoalan sampah. Salah satunya adalah Papesa atau Paguyuban Peduli Sampah. Ketuanya, Syaifudin, ditemui tadatodays.com pada Rabu (26/9/2023).
Papesa dikenal dengan paguyuban yang gencar mengampanyekan reduksi sampah pada zamannya. Namun, belakangan ini kampanye reduksi sampah cenderung meredup.
Menurut Syaifudin, lemahnya kampanye reduksi sampah dikarenakan memudarnya pula kebiasaan. Penanganan sampah harus diawali dengan pembangunan budaya yang didukung penegakan regulasi. Regulasi yang dimaksud Syaifudin sebagaimana yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Probolinggo. “Menurut saya, regulasi ini perlu ditegakkan dulu,” ujarnya.
Dari kebiasaan dan penegakan regulasi, akan timbul aktifitas reduksi seperti daur ulang. Daur ulang sampah harus menjadi tanggung jawab tingkat rumah tangga, agar sampah bisa berkurang. “Ada Tiga R, yang paling efektif itu reduce. Seminim mungkin upaya kita bisa dengan mengurangi,” tuturnya.
Daur ulang sampah non organik menurut Syaifudin tidak begitu besar dampaknya. Sebab, selama ini pengolahan daur ulang oleh Masyarakat hanya terbatas untuk fashion dan pernak-pernik untuk estetika rumah. Seperti tempat tisu, tas belanja dan bingkai foto. “Kalau kita sudah punya, kan tidak mungkin kita buat lagi?” katanya.
Beda halnya jika daur ulang sampah organik yang consumable atau bahan habis pakai. Setiap hari dapat mereduksi sampah makanan, yang efektif jika terus dilakukan. Pekerjaan rumah (PR)-nya setidaknya harus ada Pak Kardi lain yang bisa istikamah mengolah sampah organik menjadi produk baru.
Selain aktifitas mereduksi dan penegakan regulasi, sarana dan prasarana (sarpras) harus diberikan agar masyarakat bisa peduli soal sampah. “Regulasi penting, sarpras juga penting, karena sosialisasi untuk membentuk budaya atau kebiasaan menciptakan lingkungan bersih itu tidak akan cukup,” ujar Syaifudin. (alv/why)

Share to
 (lp).jpg)