Hari Kurniawan, Aktivis Agraria dan Disabilitas yang Kini Jadi Komisoner Komnas HAM RI
Dwi Sugesti Megamuslimah
Monday, 09 Oct 2023 17:13 WIB
Menjadi pejabat publik bukan cita-cita Hari Kurniawan. Namun, nasib berkata lain. Berkat komitmen dan konsistensinya pada bidang advokasi, aktivis yang akrab disapa “Cak Wawa” itu kini justru duduk sebagai komisioner Komnas HAM RI bidang pengaduan.
--------------------
SEORANG pejabat publik identik dengan hal formal. Tetapi, berbeda dengan Hari Kurniawan. Salah satu komisioner Komnas HAM (Hak Azasi Manusia) RI itu datang ke Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, pada Kamis (5/10/2023) lalu hanya dengan mengendarai sepeda motor kesayangannya. Ia pun bermotor sendirian.
Cak Wawa merupakan jebolan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang sekaligus penerima Australian Award Indonesia (AAI) program Human Right Science Cross & Development and Trainer program tahun 2021. Kamis itu Cak Wawa datang ke UIN KHAS Jember untuk mengisi seminar di aula Masjid Sunan Kalijaga.
INSPIRATIF: Salah satu hasil ketekunan dan komitmen Hari Kurniawan berhasil menjadi awarde Australia Award Indonesia (AAI) dalam Human Right Leadership Short Course Tahun 2021.
Selain gayanya yang nyentrik, Cak Wawa dikenal sebagai salah satu aktivis buruh yang fokus pada kasus agraria, serta isu seputar kesetaraan hak penyandang disabilitas.
Di tengah kesibukannya mengisi seminar di UIN KHAS, lelaki kelahiran Lumajang itu menyempatkan diri menemui tadatodays.com di kantin kampus. Sambil menikmati es teh tanpa gula pesanannya, Cak Wawa bercerita tentang perjalanan panjang nan terjal yang mengantarnya ke posisi strategis dalam ranah perjuangannya.
Sejak kecil, Cak Wawa dekat dengan agama. Maklum, ayahnya merupakan seorang pendiri panti asuhan putra Muhammadiyah di Lumajang.
Setelah menghabiskan 12 tahun pendidikan di Lumajang, Cak Wawa pada akhirnya memutuskan hijrah dan mengenyam bangku perguruan tinggi di Malang. Cak Wawa muda mulai menapaki jalan perjuangannya di sini.
Sungguh bukan perjalanan yang mudah. Cak Wawa memilih tidak tergabung dalam organisasi mahasiswa (ormas) manapun. Sebagai mahasiswa, Cak Wawa melihat adanya ketimpangan-ketimpangan dari teori marxsisme. Itu membuat dirinya berani berangkat ke Kota Tembakau, Jember untuk membantu penyelesaian masalah agraria.
Cak Wawa ikut turun lapangan membantu penyelesaian konflik buruh perkebunan di daerah Kecamatan Panti, konflik lahan di Jenggawah, dan Mumbulsari yang saat itu bersengketa pada tahun 1997.
"Yang mendasari saya turun lapangan waktu itu adalah kesadaran diri bahwa percuma terus belajar, tanpa bisa mengaplikasikan secara langsung. Apalagi, saya sudah aktif di gerakan buruh sejak di Malang. Juga penggiat forum-forum studi sosialis, tapi masih dalam lingkup Muhammadiyah dan aktif di perguruan Tapak Sucinya," tutur laki-laki 45 tahun itu.
Selain ikut terjun langsung dalam penyelesaian kasus agraria di Jember, Cak Wawa juga merupakan salah satu penggagas berdirinya organisasi Solidaritas Pemuda Jember (SPJ) di tahun 1999 yang merupakan pergerakan para pemuda sosialis. Lalu pada 2001, SPJ bertransformasi menjadi Pergerakan Sosialis Komite Kabupaten Jember, di mana nakhoda kepemimpinan pertama diserahkan pada Cak Wawa.
Meskipun telah bertransformasi, SPJ masih ada sebagai sayap pemuda bagi pergerakan sosialis Jember yang diinisiasi oleh mahasiswa dari berbagai kampus dan ormas. Mulai dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) gabungan dari Universitas Jember, Universitas Muhammadiyah Jember, dan Universitas Islam Negeri (UIN) Jember.
Pada awalnya mereka hanya sebatas ingin belajar soalsosialisme. Tetapi lama kelamaan mereka bergabung lantaran merasa memiliki pandangan yang sama. Terutama terkait ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di masyarakat.
Tak berhenti di situ, Cak Wawa menetap setidaknya dua tahun dan harus rela kuliahnya sedikit tersendat, lantaran fokus pada kasus agraria di Desa Lengkong, Kecamatan Mumbulsari, Jember.
Merasa terganggu, Cak Wawa akhirnya menutuskan kembali ke Malang untuk menyelesaikan studinya. Cawa Wawa kembali lagi ke Lengkong usai lulus dari UB di 2002 silam. Hingga 2005, Cak Wawa masih tercatat sebagai ketua Pemuda Sosialis Komite Jember.
Di tahun 2006, saat gempa mengguncang wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Cak Wawa merasa terpanggil dan bertolak ke Jawa Tengah. Maksudnya untuk mengabdikan diri menjadi relawan kebencanaan di isue-isue disabilitas.
Akan tetapi, di tengah carut-marut suasana bencana, Cak Wawa kembali melihat ketimpangan nasib para difabel yang sering dipandang sebelah mata. Dari situ, dirinya tergerak untuk menyelami isu-isu yang berkaitan dengan disabilitas lebih dalam.
"Berangkat dari keresahan saya pribadi, para disabilitas selalu ditinggalkan. Kalau ngomongin disabilitas kok selalu tentang belas kasihan, karena saya pribadi tidak suka dibelas-kasihani. Akhirnya berusaha merubah sistemnya, harus berbasis empowering," ucap Cak Wawa terdengar penuh dedikasi.
Perbincangan makin menarik saat Cak Wawa mengaku mulai menggarap isu disabilitas sejak 2003, saat masih aktif sebagai aktivis agraria di Jember. Ketajamannya membaca permasalahan memang di atas rata-rata. Alhasil, dirinya mampu menjalankan peran sebagai aktivis agrarian sekaligus aktivis difabel secara bersamaan.
Cak Wawa sudah mulai mengorganisir aktivis difabel dan membantu serta mendampingi pendirian organisasi difabel di Jember. “Karena saya bukan orang Jember, jadi Cuma damping saja,” katanya. Tak lama setelah itu kemudian terbentuklah Yayasan Perpenca.
Setelahnya, dirinya ditarik oleh Asosiasi Pekerja Sejahtera Malang (APSM) untuk membicarakan isu-isu terkait buruh dan tenaga kerja disabilitas. Itu membuat Cak Wawa mau tidak mau harus sering melakukan perjalanan bolak-balik Malang-Jember.
Terlepas dari hal tersebut, Cak Wawa fokus pada isu-isu terkait disabilitas, terhitung sejak 2006 pasca gempa Jogja sampai hari ini. Kendati demikian, Cak Wawa menekankan bahwa dirinya tidak akan meninggalkan isu Agraria.
Hal itu terbukti pada 2012, di mana Cak Wawa kembali mendampingi penyelesaian kasus sumber mata air Gemuluk di wilayah Batu, Malang. Sumber mata air tersebut dieksploitasi oleh sebuah resort ternama.
Tak berhenti di situ, selama 2012 dirinya terlibat dalam beberapa pendampingan terkait isu-isu lingkungan, sumberdaya alam, serta agraria di wilayah Malang selatan.
Kemudian di tahun 2014, Cak Wawa terpanggil untuk kembali ke tanah kelahirannya, Lumajang. Saat itu kasus Salim Kancil yang menolak adanya pertambangan pasir di wilayah Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian mencuat ke permukaan.
Di tahun yang sama, tepatnya 28 September 2014 Cak Wawa mendeklarasikan pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Disabilitas di Surabaya dengan lima advokad dan tiga paralegal di dalamnya.
Saat ditanya tentang kantor pusat LBH Disabilitas, Cak Wawa yang Cuma bermodal nekat itu melontarkan jawaban unik. Kantor pusat LBH Disabilitas itu menurutnya berada di dalam tas ransel yang selalu ia gendong di pundak.
“Waktu ditanya kantornya LBH Disabilitas di mana, ya saya jawab ada di tas saya. Karena memang waktu itu yang saya pikir adalah pendampingan-pendampingan tetap berjalan, gitu aja,” katanya sambil terkekeh.
Saat ini, LBH Disabilitas telah memiliki kantor induk di daerah Malang. Tak sedikit daerah yang berminat untuk mendirikan LBH Disabilitas di kota mereka. Tetapi Cak Wawa melihat belum ada kesiapan internal untuk melaunching program tersebut.
Terlepas dari perjalanan panjang tersebut, Cak Wawa berpesan kepada para pemuda organisasi maupun mereka yang tengah berkembang untuk selalu konsisten dan berkomitmen dalam setiap langkah yang diambil. Selalu menanamkan rasa rendah hati tanpa mengerdilkan pihak manapun juga menjadi hal yang sangat perlu dipelajari dan diterapkan.
Menurut Cak Wawa, mereka yang terpelajar harus lebih dekat merangkul dan berkolaborasi bersama masyarakat supaya tercipta masa depan yang bisa dinikmati dengan tenang oleh generasi mendatang.
"Kita ini bukan pendiri candi, tapi peletak batu pertama yang kemudian dibangun candi yang lebih besar. Candinya akan dinikmati anak cucu kita setelah kita susun batunya dengan cantik,” tutur Cak Wawa. (dsm/why)
Share to