Kesaksian Penonton yang Selamat dari Tragedi Kanjuruhan; Theo: Nyawa Lebih Penting dari Sepak Bola

Iqbal Al Fardi
Iqbal Al Fardi

Monday, 03 Oct 2022 09:51 WIB

Kesaksian Penonton yang Selamat dari Tragedi Kanjuruhan; Theo: Nyawa Lebih Penting dari Sepak Bola

Theo Bhelva Dwinanda Putra

Kerusuhan pecah di Stadion Kanjuruhan, Malang, setelah laga derby Jawa Timur antara Arema FC lawan Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) malam. Gas air mata ditembakkan petugas untuk menghalau penonton. Tetapi yang terjadi kemudian adalah kepanikan, hingga berujung seratus nyawa lebih melayang. Di mata orang-orang yang berhasil selamat, tragedi ini sangat mengerikan. 

--------------------

JARUM jam menunjuk pukul 21.30. Lelaki bernama Theo Bhelva Dwinanda Putra turun dari sebuah mobil warna merah. Air mukanya masih terlihat lesu. Ia lalu melangkahkan kaki memasuki salah satu kafe di kota Jember yang malam itu sedang penuh sesak pelanggan. 

Saat di bar, lelaki yang mengenakan pakaian kasual itu memesan es teh lemon. “Dua orang yang mati (dalam tragedi Kanjuruhan, red) dari Jember ya…” ujar Theo sembari melempar pandangan ke taman kafe, Minggu (2/10/2022) malam itu.

Bola matanya masih terlihat merah, pertanda kurang tidur. Meski lelah, malam itu Theo meluangkan waktunya untuk berbagi kisah dengan tadatodays.com tentang pengalamannya terselamatkan dari tragedi.

Pria berumur seperempat abad itu kemudian bercerita sembari menikmati minumannya.   Dia bercerita bahwa dirinya tak ada niatan untuk menonton laga derby Arema vs Persebaya.  “Udah beli tiket konser jauh hari, tanggal 30 (September 2022, red) itu memang mau nonton konser di Preston Coffe Co,” tuturnya.

Seminggu sebelum pergi ke Malang, Theo paham bahwa pertandingan tersebut digelar pada Sabtu (1/10/2022). Karenanya, ia pergi ke Malang. Sekali dayung dua pulau terlampaui. “Mumpung Arema main. Sekalian ke Malang juga,” jelasnya.

Theo memesan tiket VIP untuk laga sepak bola tersebut. Ia  menyadari betul bahwa rivalitas kedua tim tersebut sangat tinggi. “Saya pesan tiket VIP. Rivalitas kedua tim tinggi soalnya,” ungkap pria yang bekerja di salah satu puskesmas di Jember ini.

Tak mudah baginya untuk mendapatkan tiket VIP pertandingan derby tersebut.  Ia harus ke Arema Store untuk mendapatkan tiket tersebut. Pada akhirnya, Theo mendapatkan tiket VVIP seharga Rp 250 ribu. “Malah dapat tiket VVIP,” ujarnya.

Usai mendapatkan tiket pada Sabtu pagi, dari Malang kota pukul 16.30 Theo berkendara menuju Stadion Kanjuruhan. Ia tiba di Stadion Kanjuruhan pukul 19.00 dan langsung menonton jalannya pertandingan. “Langsungnontonsepertibiasanya,” terangnya.

Theo sempat berpikir bahwa pertandingan akan berlangsung aman. Sebab, menurutnya, tidak ada supporter lawan yang hadir. Panitia pelaksana (panpel) tidak memberikan jatah tiket untuk Bonek Mania (julukan supporter Persebaya). “Saya pikir akan aman saja. Karena panpel tidak memberikan tiket ke Bonek Mania,” katanya.

Namun, pertandingan berakhir dengan kekalahan tuan rumah. Arema FC dipaksa tunduk dengan skor 2-3 oleh Persebaya. 

Theo bercerita bahwa mulanya ada dua orang supporter yang turun ke lapangan menemui pihak manajemen. Kapten Arema FC Johan Alfarizi tampak memeluk supporter tersebut. “Kalau tidak salah lihat, Kapten Alfarizi sempat memeluk supporter itu. Setelah itu, banyak supporter yang datang dan manajemen juga pemain masuk ke dalam,” ceritanya.

Tak lama kemudian, aparat datang yang menurut Theo mereke berniat  melakukan pengamanan.“Mungkin datang untuk pengamanan agar bubar,” ceritanya.

Sebelum terjadi penembakan gas air mata, Theo menjelaskan, aparat dan supporter sempat saling serang. Ia juga tidaktahupenyebabkericuhantersebut. Setelahkeduakelompoksalingserang, aparat pun melontarkan gas air mata. “Setelah saling serang, aparat menembakkan gas air mata,” jelasnya.

Awalnya, aparat menembakkan gas air mata ke lapangan. Selanjutnya, supporter tersebar. Namun, tetap ada yang berada di lapangan.“Setelah itu, masih ada supporter yang di lapangan,” ungkapnya.

Namun setelah itu, tiba-tiba tembakan gas air mata mengarah ke tribun. Supporter di tribun pun masih banyak dan terlihat kalang kabut menyelamatkan diri. “Tiba-tiba gas air mata ditembakkan ke tribun,” terangnya.

Tribun yang menjadi sasaran tembakan gas air mata, menurut penjelasan Theo, adalah tribun gate 2, 3, 13, 14, dan di bawah papan skor. “Kalau nggak salah ya…” tuturnya.

Seketika penonton semburat. Asap dari tembakan gas air mata langsung banyak. “Sayakan di (kursi, red) VVIP. Alhamdulillah nggak ditembakkan ke situ. Kan di atas VVIP ada tamu undangan,” kata Theo.

Namun, residu gas air mata tetap terbawa juga oleh angin kea rah tribun VVIP, tempat Theo menonton. Meskipun residu, Theo merasakan asap dari gas air mata itu menyiksa matanya.

 “Sediki tmemang, tapi perih. Pedes gitu rasanya, dan baunya itu loh kayak belerang. Gak enak! Wes, garai sesak emang. Padahal, saya jauh dari tribun ekonomi lho,” lanjut Theo yang juga punya pengalaman pertama kali masuk tribun stadion sepak bola saat masih anak-anak.

Di tribun VVIP, tambahnya, juga ada anak berusia sekitar lima tahun. Orang tuanya pun geram. “Ibunya itu sampai bilang ‘ikiloh, enek arek cilik. Kok sampek ditembakno gas air mata nang tribun.Yaopo karepe?. Anak kecilnya sampai ditutupi  itu matanya. Sampainangis-nangis,” tambah Theo sambil menirukan gesture ibu si anak kecil itu.

Di dalam stadion, Theo melihat penonton jatuh pingsan. “Saya mikirnya, ya mungkin pingsan. Kebanyakan yang saya lihat itu cewek,” kata Theo.

Tidak seperti di tribun ekonomi, Theo kemudian keluar stadion seperti biasa. Ia juga mendengar aparat menghimbau agar segera menjauhkan perempuan dan anak kecil dari stadion. 

Saat di luar stadion pun, Theo masih melihat gas air mata. Saat dirinya menuju parkiran mobil, lagi-lagi terkena gas air mata yang sedikit lebih parah. “Bedanya, kalau yang di luar kan bisa lari, sambil menutup mata. Tapi emang perih itu,” katanya  sembari menutup matanya dengan tangan.

Tak mau buang waktu, Theo pun langsung bertolak ke hotel tempatnya menginap. Sesampainya di hotel, Theo mendapat pesan singkat dari temannya.“Kan sempat buat story, teman saya chat karena khawatir. Teman yang lain juga mengabarkan kalau ada korban meninggal antara 47-50 orang,” katanya.

Saat dalam perjalanan pulang, Theo melihat beberapa Aremania memberi tanda untuk membuka jalan dengan berkata, ”Sik, iki nyowo. Nyowo iki. Tolong buka jalan.”

Minggu (2/10/2022) pagi, Theo memeriksa kembali jumlah korban meninggal dunia yang melebihi 100 orang. “Teman-teman banyak yang chat saya, tanya ‘yoopo, aman?’.” Selain itu, ibunya juga menelepon. “Sampai ibu telepon saya sambil marah-marah,” tuturnya.

Dalam perjalanan pulang ke Jember,  Theo sempat melihat keadaan RSUD Dr. Syaiful Anwar Malang yang dipenuhi keluarga korban dan Aremania. Theo juga melihat sejumlah Aremania menggalang dana.

Theo ingat, sewaktu masih SMP, ia pernah nonton sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang. Saat ada penonton berani turun ke lapangan, aparat melepaskan anjing untuk menghalau penonton.  “Pas itu ada supporter yang masuk ke lapangan, dilepaslah anjing itu,” ceritanya.

Setelah melihat tragedi di Stadion Kanjuruhan ini, Theo jadi enggan pergi nonton sepak bola, apapun pertandingan lainnya. Baginya, nyawa lebih penting daripada sepak bola. “Buat saya, nyawa itu lebih penting daripada sepak bola,” tutur Theo, kemudian pamit pulang. (iaf/why)


Share to